Revitalisasi Nilai Keindonesiaan Pascamudik

Oleh:
Susanto, MPd
Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 3 Bojonegoro

Umat muslim telah merayakan idul fitri tahun ini dengan suka cita tanpa perbedaan pelaksanaan hari raya seperti beberapa tahun lalu. Mereka saling bermaafan dan silaturrahmi satu sama lain. Harapannya satu memfitrahkan hati nurani untuk menjalin persatuan tanpa pamrih.
Fenomena itu dilakukan dengan berbagai cara salah satunya mudik. Mudik ke kampung halaman rela mempertaruhkan jiwa dan raga. Rela berdesak-desakan yang terkadang nyawa menjadi taruhannya. Dan tak jarang pula, ngebut di jalan raya dengan motor agar cepat sampai di rumah untuk ketemu dengan keluarga di kampung halaman.
Pertanyaannya adakah nilai-nilai yang dilkukan pascamudik bagi membangun persatuan bangsa di tengah menguatnya sikap intoleransi dan teroris pada akhir-akhir ini?
Ngugemi Nilai
Mudik kekampung halaman adalah bagain terpenting dalam kehidupan.  Mudik adalah mentradisikan nilai-nilai secara kultural. Artinya apa yang dilakukan oleh orang kota kepada orang desa (kampung halaman) bahwa sesuangguhnya bahwa orang desa masih memegang teguh prinsip dan juga lebih menghargai hakiki kehidupan. Meski mereka merantau ke kota masih tetap ngugemi. Tak lapuk oleh globalisasi kehidupan. Mereka masih tidak pudar atau kehilangan apa yang menjadi “darah’ dalam kehidupan yang telah diwariskan oleh para orang tua dulu. Mudik sesungguhnya adalah kuatnya ikatan batin  yang terpatri dalam kehidupan yang sarat nilai-nilai kehidupan sosial religus.
Sejatinya esensi mudik merupakan sikap  untuk tetap mentradisikan dan selalu menjunjung harkat dan sisi humanisme kepada orang tua, kerabat, dan juga kampung halaman. Memang dengan mudik terjadi semacam polarisai nilai-nilai kehidupan. Adanya perbedaan nilai yang menonjol antara desa sebagai simbol kampung halaman dan kota sebagai simbol modernisasi terletak pada intensitas respon manusiawi secara alami tanpa dibuat buat. Nah, Adanya mudik tentunya orang perantauan akan meresa lega (tenteram) dan sehat kembali. Hal ini dapat bermakna bahwa selama di kota nilai-nilai yang didapatkan kadang tidak sesuai dengan kondisi riil masa lalu atau  dengan nilai-nilai kehidupan yang mereka anut atau dapatkan saat di kampung halaman mereka dahulu.
Meminimalkan Intoleransi
Mudik sebagai sebuah realitas sosial budaya dalam masyarakat tentunya bukanlah sesuatu yang tanda dasar. Artinya, fenomena mudik adalah sebuah potret budaya yang perlu disikapi secara jernih. Paling tidak ada beberapa hal yang patut direnungkan Pertama, mudik bukan semata-mata karena momentum perayaan Idul Fitri atau hari lebaran semata. Hari Raya Idul Fitri adalah medium untuk mempertemukan kembali “kefitrahan’ atau kesucian diantara manusia. Sebagai sebuah medium yang memungkinkan proses mudik terjadi. Karena pulang ke kampung halaman di luar Idul Fitri, meski banyak ditempuh oleh komunitas perantauan. Inilah letak keunikan kultur atau budaya mudik. Mudik yang terjadi pada saat menjelang lebaran idul fitri memberikan relevansi bahwa ada dorongan kuat untuk merefleksi dan “memuqasabah” diri dengan sungkem bersama keluarga. Dengan demikian, mudik dapat memiliki makna merajut semangat persatuan antar elemen masyarakat tanpa adanya rasa curiga dann kebencian.
Kedua, tradisi mudik menggambarkan masih kuatnya ikatan primordial masyarakat. Dan, sayangnya, ikatan-ikatan primordial itu justru tumbuh pada mereka yang telah tinggal di kota, yang nilai-nilainya seharusnya lebih berwatak mondial. Mengingat kondisi yang demikian, tentunya kemudikan seorang individu dari rantauan tidaklah salah. Pada dasarnya, mereka begitu karena ada identitas diri yang melekat pada harkat kemanusiaannya. Mereka bangga bila keakuan merasa terhargai.  Sah-sah saja bila momen mudik dijadikan mengingat daerah kelahiran. Intinya dengan mudik, momen untuk bisa menjalin tali persaudaraan antar keluarga pada khususnya dan antarwarga masyarakat pada umumnya. Fenomena mudik dapat dimaknai sebagai media membangun semangat persatuan tanpa ada rasa permusuhan akan tetapi salingn tegur sapa bergandengan demi keutuhan bersama. Paling tidak, pascamudik ini bisa meminimalkan rasa intoleransi dan selalu menjunjung sikap toleransi kepada siapapun tanpa batas.
Para perantauan yang mudik pada umumnya justru menjadi “sinterklas” atau memberikan manfaat bagi keluarga, tetangga, dan juga kampung halamannya. Jarang sekali para perantau yang mudik menjadi “virus”, akan tetapi justru mereka memberikan warna baru baik yang yang menyangkut modernisasi kota dan kesuksesan selama dirantau. Selama mudik bukanlah seberapa banyak uang yang mereka dapatkan atau seberapa mewah mobil yang dinaiki. Akan tetapi spirit mereka untuk sukses itu bagaimana. Dengan bahasa yang sederhana, perantau atau pemudik yang baik bukan bercerita tentang harta mereka yang dibawa pulang dan yang telah mereka miliki akan tetapi lebih bercerita bagaimana bekerja keras, ulet, dan jujur dalam menjalani kehidupan selama dirantau adalah yang esensi kehidupan bagi mudik.
Tradisi mudik tentunya dapat memberikan implikasi yang positif terhadap peradaban masyarakat desa terlebih pada pola pikir, perilaku, dan juga kepribadian. Kehidupan kota yang dibawa oleh para pemudik dapat memberikan inspirasi untuk membangun desa yang lebih bermartabat, memberikan manfaat bagi orang lain.
Nah, sebab bagaimanapun juga sebaik-baik umat adalah orang yang memberikan kebermanfaatan bagi orang lain dan sekelilingnya. Nilai-nilai pascamudik harus bisa dijadikan momentum introspeksi diri (muqasabah) secara sosial. Kebencian atau sikap intoleransi bisa diminimalisasi dan memaksimalkan menjaga kebhinekaan. Dengan demikian, meneguhkan NKRI adalah kewajiban seluruh warga negara Indonesia hari ini, esok, dan masa mendatang.

                                                                                                                            ———– *** ————

Tags: