Rumah Hujan

Oleh :

Cerpen Alim Musthafa

“Berdoalah saat hujan turun. Apa pun keinginanmu pasti akan dikabulkan Tuhan.”
Kau hanya menoleh, dan menatap sayu wajah temanmu. Kau biarkan hatinya bergejolak menyaksikan sekolompok orang yang serakah berkeliaran di sekitar gubukmu yang sudah jadi abu.
“Tidak. Aku tidak ingin menzalimi orang lain dengan doaku. Apa pun alasannya.”
Tetes-tetes hujan dari langit mengucur kian deras, menguyupkan tubuhmu dan tubuh temanmu meski sudah berteduh di bawah pohon rindang lereng bukit.
“Kalau begitu, kita pulang saja. Apa gunanya di sini kalau hanya mau diam. Apalagi hujan turun kian tak terbendung.”
Kau menoleh lagi pada wajah temanmu. Kali ini, kau coba mengerti. Ada perasaan tak enak yang kemudian memaksa kakimu beranjak pelan-pelan, diikuti temanmu yang tampak masih kesal.
Di seberang belukar, pohon-pohon sudah banyak yang tumbang, mesin gergaji tak berhenti meraung-raung, gelak tawa timbul tenggelam di antara suara hujan yang menimpa daun-daun.
Kau tak peduli lagi. Kau bahkan semakin mempercepat langkah saat alam mulai dirasa tak bersahabat: angin berembus kencang, petir menyambar-nyambar, dan hujan seperti ribuan anak anak panah yang dilesatkan dari langit muram.
——— *** ———

Sejak gubukmu lumat oleh kobaran api, kau numpang tinggal di rumah temanmu di perbatasan kampung sambil menyesali diri sendiri karena telah gagal menjaga hutan. Kau sebenarnya enggan untuk menerima permintaan tinggal karena merasa sudah terbiasa hidup sendirian. Tapi kau tak punya pilihan lain. Hutan sedang gawat-gawatnya dilalap kobaran api dan kau tahu itu adalah ancaman yang tak bisa kau anggap enteng.
Kau tak bisa berbuat banyak saat hutan di sisi gubukmu itu terbakar. Semak-semak belukar, pohon-pohon besar, juga beberapa binatang, kau saksikan satu per satu habis menjadi korban. Sempat kau pergi ke tengah kampung untuk minta bantuan, tapi orang-orang kampung malah ikut bingung karena mereka memang tak memiliki alat pemadam yang bisa diandalkan. Sementara akses untuk menuju balai desa atau polsek terdekat begitu sulit, terlebih dahulu harus menempuh jalan berbatu, bergelombang, juga tanjakan terjal. Maklum, kampung memang berada di pelosok pedalaman dan jalan yang menghubungkannya tak juga diaspal meski kepala desa telah berganti dua kali dan dana desa tak pernah absen mengucur tiap tahun.
Kau semakin cemas karena kebakaran hutan semakin merambah luas dan menjadi-jadi dari hari ke hari. Sebelumnya, kau telah meminta kesediaan salah seorang penduduk kampung untuk mendatangi balai desa dan melapor mengenai peristiwa kebakaran itu. Kau menunggu, tapi bantuan yang diharapkan itu tak kunjung tiba. Kau pikir, kebakaran tak akan pernah selesai jika hanya tinggal diam sambil menunggu dan menyaksikan kebakaran menjalar. Karena itulah kau bergerak sendiri —kadang-kadang bersama penduduk kampung— untuk memamdamkan kebakaran hutan sebisanya. Meski tampak tak ada hasil karena sudah terlanjur membesar dan meluas ke mana-mana.
Kau sungguh sangat kecewa karena bantuan pemadam kebakaran baru datang sehari setelah gubukmu yang memang terletak di pinggir hutan sudah rata jadi abu. Waktu itu, kau sedang tertidur lelap di dalam gubukmu setelah siangnya kau bersama penduduk kampung berusaha mati-matian memadamkan kobaran api yang nyaris menghabiskan separuh hutan. Untung kau bangun dan cepat-cepat keluar sebelum gubuk itu roboh dan menimpa apa saja yang ada di bawahnya. Kau berkali-kali mengusap dada sambil berucap syukur pada Tuhan karena tubuhmu tidak ikut terpanggang seperti beberapa binatang peliharaanmu yang kau tambat di dalam kandang.
Kau tak tahu apa salahmu hingga hutan harus terbakar, gubukmu harus roboh jadi arang, juga binatang peliharaanmu harus mati terpanggang mengenaskan. Kau menyesali semua itu seolah telah melakukan dosa besar. Kau akui semua itu sebagai kesalahanmu meski kau tahu hutan tak mungkin terbakar tanpa ada sebab yang menguatkan. Dan kau mulai meraba-raba ingatan. Menyeret memori ke masa sebelum terjadi kebakaran.
Adalah beberapa lelaki paruh baya yang menjadi objek kecurigaanmu atas peristiwa kebakaran yang menimpa hutan. Kau memang tak terlalu yakin, tapi sesaat sebelum terjadi kebakaran kau melihat orang-orang tak dikenal itu mendekati hutan dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Mereka datang dengan penutup kepala dan tidak membawa apa-apa selain beberapa derijen kecil entah berisi apa. Tak sebagaimana anak-anak muda dengan senapan angin di tangan yang kau tahu selalu minta izin terlebih dahulu untuk memburu burung-burung di tengah hutan, atau para penebang kayu liar yang tak pernah mengindahkan laranganmu, tapi kau yakin mereka tak mungkin membakar hutan karena itu tentu merugikan usaha mereka: kehilangan pasokan kayu berkualitas yang didapat dengan cuma-cuma.
Berbarengan dengan itu, berbagai kerusuhan memang sedang terjadi di luar sana. Dan kau mulai curiga bahwa kebakaran hutan itu juga dibuat dengan tujuan yang sama, yaitu untuk memperkeruh suasana. Kebetulan semua kejadian itu berlangsung menjelang pelantikan capres dan cawapres terpilih setelah sebelumnya melalui proses pemilihan dan sengketa di Mahkamah Agung karena sang rival tak terima dengan hasil akhir yang ditetapkan. Dan mungkin mereka berharap, dengan keadaan genting seperti itu, capres dan cawapres terpilih akan gagal dilantik hingga sang rival memiliki kesempatan untuk maju sebagai pemenang.
Namun, apa pun alasan mereka, kau tetap tak habis mengerti, kenapa harus hutan yang jadi korban? Bukankah di sana ada banyak kehidupan yang perlu dilestarikan? Apakah mereka tak pernah berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu kesalahan besar? Kesalahan yang bisa menarik bencana-bencana lain?
———– *** ———-

Bersama temanmu yang sudah sama-sama renta, kau berkali-kali mendatangi pinggiran hutan, menyaksikan pohon-pohon yang kau tanam di ladang dan di kebun satu per satu roboh di tangan para penebang liar. Kau sebanarnya tak rela, tapi kau sadar tidak bisa berbuat banyak. Kau masih ingat, pernah suatu hari, sebelum terjadi kebakaran, kau terang-terangan melarang mereka menebang pohon-pohon di tengah hutan. Kau pikir mereka akan berhenti dan mau pergi. Tapi mereka tak peduli. Bahkan justru mengolok-olokmu dan menertawakanmu sejadi-jadinya.
Sebelumnya, kau tak pernah mengira mereka juga akan menggunduli lahan-lahan setelah hutan habis terbakar. Kau pikir mereka tak akan datang lagi setelah tahu pohon-pohon di hutan jadi arang. Tapi ternyata mereka memang gerombolan orang-orang yang serakah. Bahkan mereka semakin menjadi-jadi sebab tokoh dan aparat setempat tidak terlalu peduli meski sudah beberapa kali diberitahu. Dan kini, kau merasa sudah tidak punya harapan lagi. Setiap kali mereka datang, kau dan temanmu hanya mengintip dari rerimbun belukar dan membiarkan hatimu bergejolak membayangakan bencana apa lagi yang akan menimpa alam sekitar setelah semuanya dibuat gundul.
“Kita tak boleh membiarkan mereka menghabisi pohon-pohon! Kita harus mencegah. Semampu kita.” Temanmu tak tahan saat melihat pohon-pohon banyak bertumbangan.
“Apa yang bisa kita lakukan sebagai lelaki yang sudah uzur? Sedang kita tahu jumlah mereka tidaklah sedikit, apalagi mereka bukan orang yang lemah seperti kita.”
Memasuki musim penghujan, rintik-rintik air dari langit memang kerap turun menggguyur bumi. Dan kau tahu hutan dan pohon-pohon besar adalah rumah yang aman bagi hujan. Tapi sayangnya, mereka tak menyadari itu, hingga tetap merusak hutan dn menebang pohon-pohon secara liar.
“Bagaimanapun caranya dan apa pun resikonya, kita harus mencegah. Jika tidak, alam bisa murka, dan itu tentu lebih besar resikonya.”
Tak disangka, setelah cukup lama terdiam, kau tiba-tiba beranjak dan nekat menampakkan diri di hadapan para penebang liar itu. Temanmu juga tak ketinggalan. Dia sudah berdiri di sisimu, berjaga-jaga agar tidak terjadi apa-apa padamu.
“Lihat, tua bangka itu ternyata masih punya nyali datang ke sini!” teriak salah sorang dari mereka ketika melihatmu. Tawa mereka pun pecah.
“Apa sebenarnya maumu, Pak Tua?” teriak yang lain kemudian.
“Kami ingin kalian berhenti menebang pohon-pohon sembarangan. Sebelum terlambat. Kalau tidak, bahaya akan mengancam kalian.” Temanmu tiba-tiba mendahului. Dia pikir kau tak akan berani berkata tegas.
“Apa kalian ngancam kami, Pak Tua?” Oloknya diikuti tawa-tawa meremehkan.
“Tidak, kami hanya memberitahu.” Kau menyela cepat. Takut jawaban temanmu malah memancing emosi mereka.
“Kalau begitu, pergilah sebelum kesabaran kami habis.” Mereka kembali tertawa berderai-derai.
Kau dan temanmu masih berdiri tenang. Di sekitarmu, angin mulai berembus kencang, mendung bergulung-gulung, sesekali petir menyambar-nyambar.
“Apa kalian kira kami bergurau, ha!” bentak salah satu mereka tiba-tiba, mengagetkanmu.
Kau menyadari mereka mulai tersulut amarah. Sebelum terjadi hal-hal yang tak diinginkan, kau buru-buru membalik tubuh, lalu menyeret temanmu untuk menjauh. Sementara itu, mereka tertawa-tawa girang karena merasa sudah menang.
“Tampaknya hujan akan turun lebat. Sebaiknya kita naik bukit saja,” ajak temanmu. Ia melangkah dengan langkah terhuyung-huyung.
Kau sebenarnya tak ingin mengikuti ajakan temanmu. Kau merasa sudah tak kuat lagi berjalan. Tapi, saat memalingkan wajahmu ke langit hutan, kau terkejut. Di sana kau saksikan hujan-hujan seperti menggumpal, lalu pecah menciptakan guyuran yang begitu lebat dan menghanyutkan.
Sementara itu, kau dan temanmu hanya terdiam menahan gigil, selebihnya kalian pasrah meski dari bawah sana terdengar teriakan-teriakan orang yang minta tolong.
Karduluk, 2019-2020
*Alim Musthafa, lahir dan tinggal di Sumenep Madura. Alumnus PBA di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk. Selain mengajar, ia menulis fiksi dan menerjemah karya-karya berbahasa Arab. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media nasional dan lokal, seperti Media Indonesia, Republika, Solopos, Rakyat Sultra, Banjarmasin Post, Denpost, Analisa, dan Radar Malang.

————-** ————-

Rate this article!
Rumah Hujan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: