RUU Kesehatan Mengancam Kemandirian BPJS

Alfian Dj
Staf Pengajar Muallimin Yogya Sekretaris Majelis Hukum HAM PP Muhamadiyah

Verba volant scripta manet
” Apa yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan menjadi abadi ”

Rapat paripurna tanggal 14 Februari 2023 telah menyetujui RUU kesehatan menjadi RUU inisiatif DPR, RUU ini menggunakan metode Omnibuslaw memuat 478 pasal dan terdiri dari XX Bab.

RUU Kesehatan tidak membahas ranah kesehatan semata, akan tetapi berarsiran lebih dari 13 undang undang yang telah ada sebelumnya. RUU Kesehatan sejak awal pembahasannya telah menuai banyak kritik dari berbagai kalangan baik ORMAS maupun dari asosiasi profesi bahkan juga dari BPJS.

Hal yang sama juga datang datang dari APINDO yang meminta pemerintah tidak mencampurkan prihal klaster jaminan sosial kedalam RUU kesehatan, terutama terkait dengan BPJS.

Salah satu organisasi kemasyarakatan yang paling keras dan tegas menolak RUU adalah persyarikatan Muhammadiyah, Muhammadiyah telah melakukan kajian mendalam terkait RUU Kesehatan dengan melibatkan banyak pihak serta menghimpun asosiasi profesi kesehatan serta berbagai elemen yang peduli terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam RUU Kesehatan.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama pengurus besar Ikatan dokter Indonesia, Pengurus besar persatuan dokter gigi Indonesia, Pengurus pusat ikatan bidan Indonesia, Dewan pengurus pusat persatuan perawat nasional Indonesia, Pengurus pusat ikatan apoteker Indonesia, Yayasan lembaga konsumen Indonesia, serta forum peduli kesehatan pada tanggal 7 Februari 2023 telah melakukan konfrensi press menyatakan secara tegas menolak RUU Kesehatan.

Konfrensi Pers yang digelar di kantor Pimpinan Pusat Muhamadiyah Jakarta menegaskan bahwa UU kesehatan menunjukkan arah pegaturan yang menempatkan pemerintah sebagai aktor utama dalam pengelolaan bidang kesehatan dengan melakukan pengaturan yang bersifat delegasi blangko, tidak kurang dari 56 aturan bersifat delegasi blangko, padahal hal tersebut dilarang penggunaannya dalam Undang undang.

Muhammadiyah menilai RUU Kesehatan dimunculkan ke publik sebagai RUU Inisiatif DPR padahal sejatinya banyak pihak yang meragukan dan menyangkal bahkan menyebutkan RUU Kesehatan murni inisiatif pemerintah yang kemudian dititipkan ke Dewan Perwakilan Rakyat, langkah ini dilakukan agar bila nanti disahkan tidak terjadi benturan antara pemerintah dan masyarakat.

Sejatinya arah utama yang ingin dicapai kementerian kesehatan adalah terkait kurangnya tenaga kesehatan dokter bahkan lebih khusus lagi kurangnya dokter spesialis di Indonesia, hal ini dibuktikan dengan masih minimnya keterpenuhan dokter dokter spesialis di rumah sakit rumah sakit milik pemerintah, terutama rumah sakit yang berada di pelosok negeri.

Persoalan kekurangan dokter ternyata hanya bagian kecil dari titik fokus RUU Kesehatan, akan tetapi lebih jauh lagi RUU ini menyasar banyak ranah yang sebelumnya telah berjalan serta diatur undang undang tersendiri.

Salah satu persoalan yang diatur dalam RUU ini adalah terkait dengan tata Kelola Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN ) yang sebelumnya telah diatur secara khusus dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan Sosial Nasional ( UU SJSN ) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( UU BPJS )

Pembahasan terkait ancaman kemandirian BPJS dapat dilihat dalam RUU Kesehatan pasal 423 sampai dengan pasal 425, pembahasan pada pasal pasal tersebut jelas mengubah subtstansi dari UU No.40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial dan juga UU No.24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial.

Pasal 423 RUU Kesehatan menyebutkan bahwa RUU Kesehatan mengubah, menghapus dan/atau menetapkan beberapa pengaturan baru yang diatur dalam UU SJSN Nomor 40/2004 dan UU BPJS Nomor 24/2011 yang dijelaskan dalam pasal 424 dan 425.

Pasal 7 ayat 2 UU BPJS mengamanatkan pertanggung jawaban BPJS langsung pada Presiden, akan tetapi dalam RUU kesehatan direduksi dengan menyebutkan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri kesehatan.

Sejatinya JKN merupakan amanat konstitusi, kemudian dikuatkan lagi dengan intruksi Presiden No 1 Tahun 2022 tentang optimalisasi pelaksanaan program JKN, Intruksi Presiden memposisiskan BPJS bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Pada pasal 13 ayat 2 huruf a RUU kesehatan menyebutkan BPJS melaksanakan penugasan dari kementerian Kesehatan, tidak hanya itu, RUU Kesehatan juga menurunkan kewenangan direksi serta dewan pengawas BPJS serta menghubungkan dan mengintekrasikan sistem informasi yang dikelolanya ke sistem terpadu yang dikelola pemerintah pusat.

Kekhawatiran lain terhadap RUU Kesehatan menyangkut intervensi menteri kesehatan terhadap kerja kerja BPJS, bahkan ada yang menyatakan bahwa bisa saja BPJS nantinya juga akan melaksanakan tugas kementerian kesehatan tentunya dengan menggunakan dana masyarakat yang telah dikumpulkan dari iuran JKN.

Catatan lain yang perlu dicermati terkait penegasan UU SJSN yang menyatakan BPJS kesehatan bekerja sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan ( Faskes ) dengan pendekatan sukarela, kesepakatan yang dibangun oleh kedua belah pihak dengan kesepakatan hak dan kewajiban dari masing masing pihak.

RUU kesehatan dalam pasal 23 menegaskan BPJS diwajibkan menerima kerjasama yang diajukan faskes, aturan baru dalam RUU kesehatan yang mewajibkan BPJS menerima kerjasama yang diajukan faskes jelas bertolak belakang dengan kemandirian BPJS. Apalagi kerjasama tersebut nantinya tidak mengharuskan adanya perjanjian kerjasama antara keduabelah pihak.

Melihat berbagai persoalan yang ada dalam RUU Kesehatan terutama menyangkut tata kelola yang mendowngrade kewenangan Presiden dalam mengawasi BPJS, serta mereduksi fungsi tugas serta wewenang BPJS, sudah selayaknya pembahasan RUU kesehatan dikeluarkan dari Badan Legeslasi ( Baleg) DPR untuk selanjutnya kembali dilakukan kajian mendalam dengan melibatkan berbagai pihak.

Sejatinya undang undang hadir untuk melindungi segenap kepentingan warga negara, sehingga tercipta ketertiban, keadilan serta keseimbangan dalam sendi kehidupan berbangsa dan berbegara, hukum harusnya merekatkan bukan meretakkan kehadirannya harus mendatangkan kegembiraan bukan kegaduhan apalagi saling curiga antar sesama anak negeri.

Segenap anak bangsa tetap menggantungkan asanya pada wakilnya di DPR untuk selalu berfikir jernih dengan mengedepankan nilai dasar yang diamanahkan Konstitusi. ” setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” yang tidak dikapitalisasi.

———— *** ————-

Tags: