Salam Pancasila Bisa Jadi Solusi

Dosen Filsafat Universitas Airlangga (Unair), Dr Listiyono Santoso

Tanggapi Polemik Pengucapan Salam Lintas Agama
Surabaya, Bhirawa
Beberapa waktu lalu Dewan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan imbauan terkait pengucapan salam lintas agama yang tidak perlu dilakukan para pejabat. Pernyataan ini tak sepenuhnya diterima kalangan masyrakat. Bahkan menuai pro dan kontra di lingkungan para pejabat negara. Tak sedikit politis pun mengutarakan pandangannya bahwa imbuan itu masih perlu dilakukan tinjauan ulang.
Menanggapi persoalan itu, Dosen Filsafat Universitas Airlangga (Unair), Dr Listiyono Santoso mengungkapkan pendapatnya. Ia menuturkan, jika sebagai sebuah imbauan tidak masalah, selama tidak menjadi fatwa yang sifatnya memaksa.
“Sebagai imbauan tidak masalah ketika MUI tidak menjadikannya fatwa yang melarang penggunaan salam semua agama, saya juga tidak mempersoalkan salam semua agama,” ungkapnya.
Lebih lanjut, penyampaian salam yang terlalu panjang yang merepresentasikan semua agama juga tidak selamanya harus dilakukan. Penggunaan salam masih bisa dengan cara lain yang sudah mewakili salam semua agama.
Ia menyebut di era Gus Dur, misalnya pernah mengusulkan kata selamat pagi atau selamat siang dan salam sejahtera untuk masyarakat yang menggunakan. Tujuannya agar tidak harus mengucapkan salam semua agama dengan efektifitas kata bahkan waktu. Usulan yang itupun juga mendapatkan pertentangan dan polemik.
Listiyono berpendapat, salam cukup yang bersifat publik. Hal ini karena makna salam selain doa juga sebagai ungkapan sapaan awal. ”Jika itu (salam lintas agama, Red) saja dibuat rumit dan ribet, ucapkan selamat pagi dan salam sejahtera kan juga tidak salah,” ujarnya.
Secara sosiologis, kata dia, masyarakat juga dapat menggunakan salam sesuai agama masing – masing. Setelah salam itu dapat diikuti dengan selamat pagi atau salam sejahtera bagi kita semua.
“Imbauan yang dikeluarkan MUI tidak mencoreng sikap toleransi antar agama. Selama ini masyarakat publik terbiasa menerima salam dalam bentuk apapun ketika dalam ruang publik,” jelas dia.
Hanya saja, imbuhnya, tujuan dibalik MUI mengeluarkan imbauan itu perlu ditanyakan dan kenapa tidak imbauan soal publik lain seperti wajib bayar BPJS, korupsi, atau hal lainnya. Terlebih, sikap toleransi di indonesia sudah lama terjaga, jika ada anasir-anasir yang mengganggu, menurutnya sudah biasa.
Bahkan ia menjamin imbauan MUI Jatim tidak akan memberikan dampak bagi toleransi antar umat beragama. Sebagai pemecahan masalah, Listiyono memberikan solusi penggunaan salam dengan Salam Pancasila dapat dilakukan. Salam itu sudah digaungkan pada masa Presiden Soekarno dengan mengangkat lima jari sampai bahu dekat kepala. [ina]

Rate this article!
Tags: