Sekolah Alam yang Semakin Diminati

Oleh :
Ahmad Muhli Junaidi
Guru SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Sekolah alam, dalam bentuknya yang saat ini sedang marak, adalah gagasan Lendo Novo (LN). Dia merasakan keprihatinan mendalam terkait pendidikan formal yang makin lama semakin mahal saja, dan ingin mendobrak bahwa sekolah bermutu itu tidak harus mahal agar semua peserta didik merasakan dan menikmati pembelajaran bermutu. Dari keprihatinan itu dibentuklah Sekolah Alam (SA) dalam format yang berkembang saat ini.

Pada hakikatnya, LN hendak mencungkirbalikkan anggapan umum (yang menjadi stigma), selama ini kadung melekat di benak masyarakat bahwa sekolah bermutu dan baik itu harus mahal. LN merancang konsep SA yang merupakan ide brilian dalam cita-citahidupnya; sesungguhnya bersekolah dengan baik, atau bersekolah di sekolah yang unggul tak hanya diandalkan dari besarnya biaya yang harus dibayar oleh peserta didik.

LN membulatkan tekad membuat SA sebab alasan filosofi-kudrati, yaitu 90% dari perwujudan keunggulan pendidikan itu ditentukan oleh guru yang berkualitas, metode pembelajaran yang tepat, dan buku-buku sebagai pendamping peserta didik. Dan hanya 10% saja infrastruktur berupa daya dukung di sekolah tersebut yang bisa membantu keunggulan atau kebermutuan sekolahitu (Wikipedia).

LN memandangbahwa ke-90% variable keunggulan sekolah itu tidak membikin sekolah yang bersangkutan menjadi mahal dengan syarat tenaga guru di dalamnya mempunyai idealisme dalam memajukan sekolahnya. Tiga bagian penting yang membingkai ke-90% itu memang bertumpu kepada seorang guru yang berkualitas. Kualitas guru dapat dipantau dengan jelas dari idealisme yang terintegratif, selalu tersimbol dalam segenap aktivitasnya dalam dunia pendidikan. Idealisme inilah kelak, yang akan menjadi simpul terbit fajar SA yang kini tersebar dari Aceh hingga Papua (Wikipedia).

Landasan Sekolah Alam

Pemikiran LN memang sangat bermanfaat dalam pemerataan pendidikan di Indonesia yang sejak republik ini berdiri, tak kunjung merata. Stigma yang melekat bahwa sekolah unggulan itu harus mahal, didobrak oleh LN dengan menghadirkan SA yang tak kalah unggul, baik dalam tataran akademik, ataupun psiko-afektika lainnya. SA yang dalam tahap awal berkembang di tahun 1998 dulu dicibir, saat ini mulai diapresiasi kehadirannya. SA kini mumpuni dalam mencetak insan kamil sebagaiamana ajaran Islam yang rahmatallil’alamin. SA kini menjadi ikon baru dalam dunia pendidikan Indonesia yang tidak hanya terampil dalam skill individu, namun juga kukuh dalam mencetak manusia unggul dalam akhlakulkarimah.

Kehebatan SA yang melejit ini, tentu bukan barang instan yang hanya terjadi dalam sulapan setahun dua tahun. SA dalam rintisan LN dulu, harus berhadapan dengan sekolah mahal bermodal besar yang didirikan para konglomerat. LN dan SA-nya, harus menghadapi cibiran masyarakat sekitar yang termakan stigma bahwa sekolah unggulya, harus mahal. LNdan SA-nya juga berhadapan dengan calon peserta didik yang tergerus moral dan agamanya sehingga SA tahap awal benar-benar ‘bertempur’ dengan berbagai kendala yang sangat luar biasa menyayat. Namun, semua tantangan hanya ibarat penyepuh pisau, di mana hasil sepuhan adalah proses penajam si pisau itu sendiri (tirto.id).

Demikian pula yang dialami LN, semuanya merupakan cobaan yang harus dihadapi dengan jantan, serius dan gahar, sambil munajah doa pada sang Ilahi. Tahun-tahun berlalu, SA rintisan LN itu, menjadi rujukan sekolah bermodal uang besar terkait lulusan yang senan tiasa bersinar di seluruh Nusantara. Padaakhirnya, suratan dunia menjadi pemenangnya, yaitu usaha, perjuangan, dan kesungguhan plus doa.

Konten Sekolah Alam

Sejatinya, kita musti terusik; mengapa SA sebegitu hebat dan keluar sebagai pemanang? Mari kita telisik muatan konten SA. Dalam laman Wikipedia, sebagaimana menjadi rujukan penulis, SA mempunyai kurikulum sebagai berikut: 1. Pengembangan akhlak, dengan metode ‘teladan’, 2. Pengembangan logika, dengan metode action learning ‘belajar bersama alam’, 3. Pengembangan sifat kepemimpinan, dengan metode ‘outbound training’, 4. Pengembangan mental bisnis, dengan metode magang dan ‘belajar dari ahlinya’ (learn from maestro).

Dari keempat pokok kurikulum tersebut SA berpijak. Sederhana tapi sangat monumental. Mudah diakses namun sulit diejawantahkan, lebih-lebih jika model role-nya, yakni guru, sudah tak ada idealisme lagi. Bayangkan saja; bagaimana hendak mengejawantahkan kurikulum pertama, misalnya, jika si pendidiknya sendiri tak mencerminkan akhlak mulia. Bagaimana hendak mencurahkan pemikiran jernih dengan logika runtut dan runut, misalnya, jika sang digugu tak sanggup berpikir logis. Bagaimana mau mewujudkan kepemimpinan yang berkharismatik, misalnya, jika sang pendidik sendiri tak dihormati peserta didik. Dan bagaimana hendak mengaplikasikan jiwa interpreneur dalam bisnis, misalnya, jika sang pendidiknya sendiri malas berbisnis. Sungguh, semua itu butuh idealisme tinggi.

Hasil Adanya Sekolah Alam

Hebatnya, SA dikembangkan oleh LN melalui model belajar yang tak akan ditemukan di sekolah-sekolah formal biasa. Yaitu belajar dan menimba ilmu bersatu dengan alam sekitar. Hanya di SA sajalah seorang peserta didik ditemani dedaunan di ranting pohon bergoyang, disapa angin sepoi-sepoi yang menyegarkan, dan disuguhi kicau burung di dahan alam bebas. Sungguh, nikmat Tuhan yang mana lagi hendak kita dustakan.

Maka, sungguh gembira apabila penulis di waktu senggang pulang ke rumah asal di desa Montorna, Pasongsongan, Sumenep. Di tengah alam sejuk desa Prancak, ada hutan dan kebun binaan Pondok Pesantren Annuqayah bernama ”Kebun Assalam”. Di kebun inilah, BPM (Biro Pengabdian Masyarakat) PP Annuqayah mendirikan SA. Para peserta didik di SA ini berasal dari desa-desa sekitar Kebun Assalam berada. Kadang juga, para santri di PP Annuqayah menjadi pesertanya. Walau konsep pendidikan SA BPM PP Annuqayah berbeda dengan SA-nya LN, namun muatan dan konten kurikulumnya masih satu ide, yakni belajar bersama alam semesta.

Harapan penulis, semoga SA-nya BPM PP Annuqayah ini semakin banyak melahirkan peserta didik yang konsekuen dalam memelihara lingkungan hidup kita.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: