‘Seni’ Berpolitik Secara Holistik

Dr Lia Istifhama, M.E.I

Oleh:
Dr Lia Istifhama, M.E.I, Dosen STAI Taruna Surabaya
Politik Secara Holistik, hal tersebut pernah saya ulas sebelumnya sebagai upaya pembentukan framing bahwa politik harus dipandang secara utuh, secara holistik. Saya kira ini menarik untuk menjadi sebuah framing, sebuah pemikiran, bahkan sebuah analisa tajam bagi siapapun yang mencoba atau sedang berada dalam wadah-wadah perpolitikan. Pandangan saya tentang politik secara holistik setidaknya merupakan buah dari membaca kritis pemikiran Otto von Bismarck (1815-1898) tentang: ‘Politics is the art of the possible.’
Berbicara politik sebagai seni, tentunya harus memandang politik secara holistik, secara menyeluruh, tidak secara parsial hanya menilai politik sebagai alat meraih kepentingan (kekuasaan). Ibarat seorang seniman yang menggoreskan setiap goresan secara detail setiap bagian hingga menjadi sebuah keseluruhan lukisan yang penuh makna. Memandang secara holistik dalam sebuah politik, maka tidak cukup jika merasa memiliki sense of politics tapi tidak tahu apa sebenarnya visi dari sebuah bangunan politik.
Melalui penajaman kontekstual bangunan politik yang menyajikan ragam peristiwa, perbedaan kepentingan, perselisihan, bahkan ‘pertarungan’, akhirnya saya kemudian tergelitik menjadikan Politik sebagai ‘SENI’, yaitu Strategy, Equity, Nation, Integrity.
Berbicara strategi, dapat mengutip pemikiran Harry Yarger, seorang konsultan Consultant National Security USA yang menjelaskan bahwa ‘Strategy is viewed as both and art of science’. Strategi juga dijelaskan sebagai “how to think” about strategy, not “what to think “for a strategy. Maka dapat ditarik benang merah bahwa politik seharusnya menjadi strategi, yaitu bagaimana rencana atau misi mewujudkan, bukan mengutamakan apa yang menjadi ambisi atau obsesi yang ingin diraih.
Apalagi, Yarger menajamkan bahwa sesungguhnya Power is a means, not an end. Maka sebuah kekuasaan yang diraih dalam sebuah proses politik, seyogyanya hanyalah sarana, bukanlah akhir. Ketika politikus hanya terhenti untuk mendapatkan sebuah jabatan, namun tidak berpikir jabatan tersebut untuk apa saja dan bagaimana mendatangkan manfaat, maka one hundred persen, jabatan dalam politik seseorang itu, tidak akan menjadikan dirinya dicintai publik.
Politik juga terkait sebuah ‘equity’. Equity adalah sebuah keadilan. Dalam konteks politik, maka equity menjadi landasan bagaimana sebuah politik yang tentunya berkaitan dengan pemerintahan memiliki sentuhan ‘keadilan’. Keadilan disini adalah bagaimana kebijakan di dalam sebuah pemerintahan, senantiasa mempertimbangkan rasa adil bagi rakyatnya.
Politik juga berbicara tentang nation, bangsa. Dalam hal ini, politics is for people, politik adalah untuk rakyat. Suara rakyat menjadi penentu arah politik sebuah bangsa dan suara rakyat-lah yang menjadi penentu siapa yang menjadi pemerintah di dalam negara demokrasi.
Politik merupakan integrity, yaitu sebuah konsistensi. Sebagai contoh, konsisten dalam menilainya sebagai sarana perjuangan. Maka dalam hal ini, misi harus konsisten terjaga. Namun visi masih bisa memiliki dinamika, yaitu fleksibel dan beradaptasi dengan perkembangan situasi. Oleh sebab itu, sebuah integritas dan konsistensi harus membuang ‘batasan-batasan’ arogansi dalam sikap politik dan kekakuan politik ideologi yang berpotensi chauvinisme. Jika tidak ada sebuah fleksibilitas maupun kemampuan beradaptasi, maka integritas dalam perjuangan bisa menjadi keniscayaan.
Jika digabungkan semua unsur, maka politik merupakan strategi untuk berbuat adil bagi rakyat dan konsisten mendatangkan kemasalahatan, kebaikan. Dalam Islam, politik disebut dengan siyasah, yaitu mengatur segenap urusan umat (rakyat) dan Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu terhadap urusan umat. Jika kemudian siyasah diartikan sebagai orientasi kekuasaan, maka sesungguhnya Islam memandang kekuasaan hanya sebagai sarana menyempurnakan pengabdian kepada Allah. Dengan begitu, politik dalam Islam merupakan penghambaan diri, wasilah pada Allah SWT, yang mana kekuasaan yang ingin diraih adalah untuk mewujudkan kemaslahatan.
Integritas atau konsistensi berbuat adil untuk rakyat, ini yang mungkin kemudian menjadi alasan seorang filsuf politik Sunni, Maududi (Pakistan), membuat sebuah konsep Teodemokrasi, yaitu sistem demokrasi dengan naungan ketentuan Tuhan (agama). Secara singkat, prinsip ‘Teodemokrasi’ menurutnya, bahwa ruh kebaikan melalui pemerintahan, dapat dibentuk jika ada spirit berbuat kemaslahatan sesuai yang diajarkan oleh agama.
Kembali pada politik secara holistik, bahwa untuk mencapai keberhasilan mewujudkan kemaslahatan, adalah keniscayaan jika dilakukan dalam sebuah lingkup (wadah) yang kecil dan sendiri, melainkan harus terwadahi dalam lingkup yang besar. Bisa jadi, wadah besar merupakan unity, integrasi dari partikel wadah-wadah kecil. Inti dari misi politik tersebut akhirnya bagaimana kemaslahatan dan kebaikan dapat diwujudkan, sekalipun visi bisa dilakukan dengan beragam cara. Spirit utama adalah melakukan kebaikan yang mungkin, hanya sedikit yang mampu melakukannya, sesuai hadis Nabi Muhammad SAW:
“Kebaikan itu banyak, dan sedikit orang yang mengerjakannya.” (HR. Khatib dari Ibnu ‘Amr, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 4154)
Pada akhirnya, pandanglah politik secara utuh seutuh-utuhnya. Hindari kemudlaratan dan dekatkan kemaslahatan. Seperti halnya spirit Islam, bahwa maslahat (manfaat, keberkahan) harus selalu diutamakan daripada unsur kemudlaratan (kesia-siaan). Sebagai contoh, jika tidak ingin terjebak dalam kesia-siaan menilai pilihan politik orang lain, maka hargailah pilihan politik orang lain. Politik memang cenderung membangun pikiran pragmatisme seseorang, yaitu sarana bagi partisan untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan. Namun, bukan berarti seorang partisan dalam politik ‘layak menyandang’ predikat ambisius meraih jabatan. Bukan mustahil, seorang partisan menjadikan politik sebagai alat meraih kebaikan, kemaslahatan. Dan visi dalam politik adalah memandang politik secara utuh dari perpaduan ‘SENI’, Strategy, Equity, Nation, Integrity. [*]

Rate this article!
Tags: