Separuh Waktu

Oleh :
Alfath am

Di tengah terik raja siang itu seakan memanggang kulit yang sedang menantangnya. Pria yang semakin rimpuh tampak jalan melenggang dengan gerobak yang sedang didorong maju menuju setumpuk sampah tak jauh dari hadapan nya hanya demi mencari yang masih layak untuk dijual. Tidak peduli seberapa jauh dan lama, hujan panas menerpa tetap tak membuatnya untuk menghentikan niat nya. Rutinitas setiap hari nya hanya dengan memulung demi sesuap nasi dan untuk pengobatan istri yang sedang sakit-sakitan. Namun hasil setiap hari yang dia dapatkan hanya bisa mencukupi makan sehari, bahkan pernah tidak sama sekali. Cinta membuatnya selalu bersyukur meski hidup kekurangan dan belum juga mendapatkan seorang anak di usianya yang sekarang ini.

Rinai sore membasahi tempat Bapak tua berpijak saat itu, sehingga dia hampir saja tergelincir jatuh tersungkur di parit yang saat itu dia lewati. Belum sedikit pun menemukan barang rongsokan untuk di jual hari ini. Namun tiba-tiba Bapak mendengar suara tangisan bayi. Dia mencari sumber suara itu di mana berasal. Lemas membiru di kerumuni banyak semut dengan bersimbah darah bersama tali pusar yang masih utuh. Tampak nya bayi ini baru saja dilahirkan dan ditinggal begitu saja oleh Ibu nya dalam kardus. Begitu malang keadaan nya ketika si Bapak menemukan nya.

“Buk, Buk, lihat siapa yang Bapak bawa?” teriak semangat ketika sampai rumah.

Dengan jalan tergopoh Ibu keluar dengan penasaran apa yang membuat Bapak kegirangan. “Ada apa Pak? Maa syaa Allah. Anak siapa ini Pak?” seru Ibu setengah tidak percaya apa yang sudah dia lihat saat itu.

“Ini anak kita Buk.”

“Anak bagaimana Pak?” mengerutkan kening. “Bapak selingkuh ya?” sergah nya.

“Bukan Buk. Ayo kita masuk dulu, nanti Bapak jelaskan.”

“Jadi ini anak siapa Pak?” tanya ibu sudah tidak sabar.

“Anak ini titipan Allah Buk, supaya kita merawat seperti anak sendiri. Bapak temukan waktu cari barang rongsokan tadi,” jelas Bapak

“Alhamdulillah ya Allah, Alhamdulillah, Alhamdulillah,” tak henti-hentinya Ibu mengucapkan syukur.

Kini gubuk yang di huni Bapak dan ibu sudah tidak sepi lagi dengan hadirnya Jihan dihidup mereka. Selayaknya anak sendiri, itulah perlakuan mereka dengan penuh kasih sayang. Ketika umur sepuluh tahun, Jihan menjadi anak yang pintar disekolah nya. Namun hinaan teman-temannya setiap hari dilayangkan terhadap nya termasuk Aldi anak orang kaya di desa itu. Kondisi yang miskin dan wajah Jihan hitam karena paparan matahari juga penuh koreng yang membuat di kucilkan temannya. Tapi tidak membuatnya untuk berkecil hati.

“Pak, Jihan sudah pulang. Boleh ya Jihan ikut Bapak lagi?” tanya Jihan penuh harap agar di perbolehkan. Kebiasaan Jihan sepulang sekolah pasti merayu Bapak nya untuk ikut memulung.

“Tidak nak, kamu dirumah saja sama Ibu. Ibu kan sedang sakit.”

Keadaan Ibu semakin parah. Itulah alasan nya mengapa Jihan ingin membantu Bapak nya agar dapat uang lebih banyak untuk pengobatan Ibu.

“Tidak apa-apa Ibu di tinggal sendiri Pak. Anak ini tidak bisa di cegah jika sudah kemauan nya,” sahut Ibu dengan senyum yang terlihat lemas itu.

“Yakin Buk. Tapi kan?”

“Ayo Pak,” potong Jihan.

Seperti biasa di bawah terik Bagaskara yang menyengat dan membuat kulit Jihan menjadi gelap, tapi Jihan dengan antusias ikut serta membantu Bapak nya.

“Pak, Jihan nanti kalau sudah besar mau jadi dokter loh.”

“Ah yang benar, masa sih anak Bapak yang cantik ini mau jadi dokter?” godanya.

“Hehehe, iya dong. Biar bisa sembuhkan ibu nanti.”

“Uh, anak Bapak memang pintar dan cantik sedunia. Belajar yang rajin ya nak?” mengelus bangga kepala Jihan.

“Pak, ayo ke sana. Kelihatannya banyak tumpukan sampah yang bisa di ambil!” seraya menunjuk tempat yang di maksud. Berlari cepat tanpa melihat jalan yang di lalui nya. Tiba-tiba….

“Auuuuuuuuuu…!!!” teriak Jihan yang kaki nya saat itu tanpa menggunakan alas kaki menginjak beling. Bapak segera membawa pulang Jihan dengan dinaikkan gerobak dorong nya. Segera cepat Bapak menuju apotek terdekat untuk membeli obat Jihan, lalu pulang.

“Buk, kaki Jihan terluka dalam!” Terang Bapak dengan napas tersengal-sengal. Namun tak ada sahutan dari Ibu dari kamar nya. Setelah diperiksa, Bapak mendapatkan Ibu yang sudah tidak bernyawa.

“Bukkkk.. Ibukkk.. Bangun, jangan tinggalkan Bapak dan Jihan,” suara pecah tangisan Bapak mengundang tetangga sekitar dan Jihan yang masih di atas gerobak karena tidak kuat jalan saat itu. Begitu singkat Jihan merasakan kasih sayang Ibu nya. Takdir sudah menjalankan tugas nya. Kini Jihan dan Bapak tinggal berdua, berjuang menentang keras kehidupan yang sedang dihadapi.

Jihan beranjak dewasa dan sudah duduk di bangku perkuliahan Fakultas Kedokteran seperti yang di cita-citakan dengan beasiswa yang di dapatkan nya. Belum sempat dia membahagiakan kedua orang nya, kini Bapak juga sudah menyusul Ibu sejak Jihan SMA. Hidup sebatang kara membuat nya harus lebih berjuang demi diri sendiri dan masa depan. Waktu sudah mengubah semua nya, sehingga harus bisa mengatur jadwal saat belajar dan bekerja. Dia saat ini bekerja di Apotek langganan nya dulu.

“Hi… Cantik. Kenapa melamun terus sih?” tepuk pundak Jihan yang saat itu duduk di taman sendirian. Dewi adalah sahabat nya sejak SMA yang selalu ada dan bantu Jihan.

Seketika lamunan Jihan buyar mengingat kedua orang tuanya. “Aduh.. kebiasaan deh kamu, selalu kageti,” gerutu nya dengan cemberut.

“Hehehe, maaf tua putri,” meringis.

“Kok tua sih,” Jihan mulai marah.

“Eh, tuan putri maksud nya, jangan marah dong. Nanti hilang loh cantik nya. Sudah lama ya menunggu? Yuk berangkat,” ajak nya. Jihan yang cuma terdiam segera berdiri dan beranjak untuk pergi ke suatu tempat bersama sahabat nya itu. Dewi memang hanya diminta menemani Jihan, untuk interview dengan Dokter terkenal di klinik nya yang tempo lalu baru kirim surat lamaran nya. Begitu cepat dia mendapatkan panggilan karena syarat nya memenuhi kriteria penilaian nya. Dengan penampilan Jihan saat itu terlihat cantik, bersih, dan menarik. Membuatnya langsung diterima, karena tidak diragukan lagi dengan nilai yang memuaskan. Lain dengan yang dulu, terlihat kotor dan dijauhi temannya. Namun sekarang sebaliknya, begitu banyak teman dan juga pria yang mengejarnya. Tapi tak sedikit pun Jihan memikirkan tentang pasangan.

Bulan berganti tahun, Jihan dari Program Studi Kedokteran Universitas berhasil menjadi wisudawati terbaik dengan IPK 3,98. Prestasi ini merupakan buah yang ia petik dari upaya terbaik yang ia lakukan selama ini, dan cinta nasehat dari kedua orang tuanya sewaktu kecil yang membuat nya jadi seperti sekarang ini . Sehingga Jihan sekarang bertugas di salah satu Rumah Sakit terbesar di Kota. Kesuksesan nya sekarang memang bertambah, tapi dia kembali sedih ketika menikmati semua itu tanpa orang tuanya lagi.

“Dokter.. Dokter..!” panggil anak kecil yang berlari menuju Jihan dan menarik ujung baju, sontak memecahkan lamunan nya.

“Iya dek, ada apa.”

“Tolong mama Dok, mama lagi sakit keras,” pinta nya merengek. Tak lama datang menyusul Bapak-bapak tak lain papa nya si adik yang merengek.

“Tolong istri saya Dok” dengan menggendong istrinya.

Lalu segera dibawa ke ruangan untuk di periksa. Kondisi kritis membuatnya harus dirawat beberapa hari di Rumah sakit.

“Terima kasih ya nak, sudah tolong Ibu” sembari tersenyum melihat Jihan yang sedang mengecek kesehatan nya.

Jihan membalas senyum nya dengan tulus. “Sudah menjadi kewajiban saya buk,” jawab nya dengan ramah.

“Andaikan Dokter ini menjadi istri anakku, pasti aku bahagia tanpa harus meminta nya untuk menikah terus menerus” lirih nya.

“Ibu ngomong sesuatu ya?” tanya Jihan yang sekilas mendengar pasien bicara.

“Oh tidak kok nak.”

“Ma…!” tiba-tiba pintu terbuka, masuk seorang pria tampan. “Maaf ya Ma, baru sempat jenguk Mama. Di kantor tadi ada meeting mendadak. Adek sama Papa di mana? Tanya nya.

“Lagi keluar cari makanan, tidak apa-apa pekerjaan mu ditinggal Al?”

“Gak apa-apa Ma, untuk Mama tercinta apa sih yang enggak.”

“Hmm. Mulai ya kamu. Al, coba lihat dokter cantik itu. Cantik kan? Dekati ya demi Mama. Entah kenapa Mama merasa cocok kalau dia jadi menantu Mama,” bisik nya. Yang sejak tadi Jihan tidak tahu kedatangan Aldi dan sibuk dengan peralatan nya. Dia tahu kalau yang datang seorang pria, namun dia tak mau melihat dan tidak peduli dengan pria mana pun.

“Nak, kemari sebentar,” panggil nya.

Lalu Jihan menoleh di tengah kesibukan nya, “Iya buk, apa ada yang sakit?”

“Tidak, Ibu hanya ingin bertanya. Apa kamu sudah menikah?”

Jihan menggeleng bingung. “Belum buk,”

“Pacar?” tanya nya lagi. Jihan hanya menggeleng.

“Kebetulan, menikahlah dengan anakku ya?” pintanya lagi yang sekarang lebih mengejutkan.

Yang saat itu Aldi belum melihat Jihan, langsung kaget dengan permintaan Mama nya dan menatap Jihan. Bukan main bertambah kaget ketika saling melihat.

“Kamu,” serentak mereka bareng ucapan kata itu.

“Loh, kalian sudah saling mengenal?” Ujar mama. “Syukurlah jika kalian sudah saling mengenal, Mama tidak perlu repot lagi urus semua nya.”

Jihan dan Aldi hanya tertegun diam melihat kejadian dan mendengar keinginan orang tua nya. Tidak mau sakit mama nya kumat lagi, akhir nya mereka spontan hanya jawab iya. Saat itu ternyata papa dan adik mendengar sudah sejak tadi pun ikut bahagia. Aldi adalah anak laki-laki yang dulu kecil suka hina dan ejek Jihan, terdiam ketika melihat banyak perubahan pada Jihan yang sangat berbeda. Mereka memang sudah lama tidak ketemu, terakhir satu sekolah waktu di SMP. Lalu Aldi pindah sekolah, tapi tidak membuat mereka saling melupakan. Jihan kini juga tidak terlalu peduli dengan apa yang sudah terjadi padanya dulu. Dengan mudah nya Jihan memaafkan kesalahan Aldi, yang memang kebetulan mereka sudah saling menyukai sejak SMP.

Waktu memang terkadang tidak memberi kesempatan apa yang kita inginkan, tapi waktu tahu kapan dia harus di tempatkan pada waktu yang tepat.

Tentang Penulis : Alfath am. Adalah nama pena dari Ayu Duwiani, bisa panggil saja Ayu. Lahir di Desa Ulak buntar Palembang, 11 Juni 1995. Alamat sekarang di provinsi Riau. Pekerjaan sebagai Ibu rumah tangga (IRT) sejak usia 25 tahun. Selain hobby memasak, menggambar, berjualan juga ingin mengembangkan imajinasi tulisan lewat karya-karya yang di adakan. Mempunyai sosial media Facebook “Ayu Duwiani” dan Instagram “@Ayu_Nurfath” Email: Ayudwiani@gmail.com

———– *** ———-

Rate this article!
Separuh Waktu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: