Serangan “Orang Gila”

Foto Ilustrasi

Penyerangan beberapa tokoh masyarakat (agama), dan tempat ibadah, pesantren, kini menjadi isu sosial. Ironisnya, penyerangan dilakukan oleh orang gila. Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM, mencatat sebanyak 22 kasus penyerangan dilakukan oleh orang gila. Aparat pemerintah daerah (propinsi, serta kabupaten dan kota) seyogianya segera bertindak cepat. Kinerja Kepolisian, diharapkan bisa “menjinakkan” isu orang gila.
Banyak yang meng-analisa, serangan orang gila, sebagai pertanda dimulainya “tahun politik.” Seharusnya, isu orang gila diurus oleh Kementerian Koordinator bidang PMK (Pembangunan Manusia dan Kesejahteraan). Urusan orang gila, menjadi tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Kementerian Kesehatan. Maka seyogianya, Dinas Kesehatan, dan Dinas Sosial di daerah (bersama Polres) segera melakukan razia orang gila. Juga gelandangan yang berkeliaran di jalan.
Penyerangan oleh orang gila, dilakukan secara acakterhadap pemuka berbagai agama. Menyerang masjid, gereja, menganiaya ustadz, dan pendeta.Misalnya, yang terjadi pada pimpinan pesantren Al Hidayah, KH Umar Basri bin Sukrowi, di Cicalengka, Bandung(Jawa Barat). Saat tengah berzikir, seorang pria masuk masjid dan langsung menganiaya pimpinan pesantren(27 Januari 2018).
Hal yang sama terjadi pada gereja Santa Lidwina, Sleman (DI Yogya) pada saat misa hari Mingu. Penyerangan yang tiba-tiba, “orang gila” menerobos melukai beberapa anggota jemaat jamaah dan RomoKarl Edmund Prier.Di Jawa Timur Serangan orang gila, juga terjadi di Lamongan pada pesantren (kampung basis Muhammadiyah). Orang gila, juga masuk ke pesantren di Jombang (basis NU), serta masuk ke rumah Ketua MUI Madiun.
Uniknya, beberapa orang gila berpenampilan “waras,” dengan pakaian bersih dan rapi. Menandakan kehidupannya cukup terurus. Hampir seluruh peristiwa terjadi berentetan, dan dilakukan dengan modus yang sama (orang gila). Sehingga wajar muncul dugaan, bahwa serangan orang gila, dilakukan secara sistemik, bagai terorganisir.Wajar pula diduga setiap isu-su sosial, selalu diorganisir, menggunakan jasa “even organizer.” Tujuannya huru-hara sosial.
Beberapa isu yang mudah menarik perhatian masyarakat, biasanya juga memancing institusi vital kenegaraan. Diantaranya melalui komisi-komisi di DPR-RI, kinerja BIN (Badan Intelijen Negara), Kepolisian, serta akses hubungan internasional. Masyarakat mesti waspada, karena sebenarnya isu yang dihembuskan tergolong “gertakan sosial.” Boleh jadi, konter isu digunakan sebagai pintu masuk persaingan politik menjelang pemilu legislatif dan pilpres.
Namun analisa isu yang disertai faktateror, wajib segera dituntaskan oleh pemerintah. Konstitusi meng-amanatkan perlindungan rakyat. Bahkan dalam pembukaan UUD alenia keempat, dinyatakan, “…membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesiayang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia danuntuk memajukan kesejahteraan umum, ….”
Walau tidak dapat dianggap enteng, menghentikan serangan orang gila, tidak sulit benar. Misalnya, dengan merehabilitas pelaku (orang gila). Dalam beberapa hari, pelaku akan berangsur “sembuh.” Bisa mulai diperiksa, terutama asal usul, dan riwayat kesehatannya. Berbagai metode penyidikan memiliki cara yang cukup untuk menelusuri asal usul setiap orang. Selain itu, BIN juga memiliki metode “benang merah,”berbagai peristiwa.
Berbagai isu sejenis (penyerangan terhadap tokoh agama Islam), dulu pernah terjadi. Khususnya menyasar ustadz dan kyai, di kampung basis nahdliyin (NU). Serangan “ninja” yang nampak sangat terlatih. Korban (jiwa) tidak sedikit, sehingga aparat keamanan dan polisi, perlu membentuk tim gabungan pencari fakta. Termasuk melibatkan GP Ansor (pemuda NU).
Isu “ninja”reda seiring kesiapan sosial. Anehnya, yang ditangkap masyarakat (karena dicurigai) ternyata orang gila. Boleh jadi, serangan orang gila akan mereda, manakala masyarakat siaga menangkap orang gila.

——— 000 ———

Rate this article!
Serangan “Orang Gila”,5 / 5 ( 1votes )
Tags: