Sering Terjadi Perundungan di Dunia Pendidikan

Psikolog sosial Untag Dr Dyan Evita Santi

Bedakan Karakter Agresif dan Pendisiplinan
Surabaya, Bhirawa
Kasus perundungan atau bullying di dunia pendidikan masih banyak ditemui. Terbaru, kegiatan Ospek yang menunjukkan beberapa senior sedang membentak Mahasiswa Baru melalui Aplikasi Zoom karena tak memakai sabuk, memantik perhatian banyak pihak yang konsen dengan dunia pendidikan. Sebab hal ini dinilai sebagai kasus bullying dengan kekerasan secara verbal.
Terkait hal ini, Psikologi Sosial Universitas 17 Agustus 1945 (Untag 45) Surabaya, Dr Dyan Evita Santin SPsi MPsi menuturkan, pada dasarnya perundungan merupakan perilaku agresif, hal ini tak lepas dari karakter yang sifatnya bawaan dari seseorang. Dosen Untag ini berpendapat jika tegas dalam pendisiplinan dan agresi adalah dua hal yang berbeda.
“Kita harus tahu konteks tidak semua orang tahu ini. Kalau misalnya Maba orang sudah berbikir pasti pelonco. Ketika perilaku sedikit menyimpang maka orang cenderung melihat bully. Dan itu harus hati – hati karena orang melihatnya dari konteks,” jelas Dr Dyan.
Dosen Psikologi Untag ini juga berpendapat, perilaku agresi akan membuat pola yang berulang. Seperti saat seseorang mendapatkan sesuatu dengan menggunakan cara kekerasan maka hal itu akan diulang. Apalagi jika hal itu mendatangkan ‘hadiah’ kesenangan, maka tak menutup kemungkinan hal yang sama akan terjadi lagi.
“Pada mereka yang pelaku kita harus tahu, akar persoalan mereka melakukan itu apa. Bisa jadi mempunyai pengalaman masa lalu. Karena pola (mendidik) orang tua rentan melakukan perundungan kepada anak. Sadar atau tidak disadari orang tua sering menekan atau mengintimidasi, yang kemudian membuat pola pikir anak kalau cara itu bisa membangun relasi,” kata Dr Dyan.
Jika ini menjadi sesuatu yang menyenangkan, kata Dr Dyan, maka ketika dewasa dia menggunakan cara ini untuk melakukan perundungan kepada orang lain yang lebih lemah. Karena perundungan ini ada dominasi dan kekuatan.
“Ketika anak memperoleh contoh dari keluarga. Begitu dewasa ia juga mencontohkan hal yang sama kepada anak – anaknya atau keluarganya. Sehingga dia juga akan menghasilkan generasi – generasi yang berlaku demikian. Ini yang kemudian akan menjadi berulang. Jika kita tidak menyadari dari struktur terkecil yakni kelurga ini akan sulit untuk diputus (perilaku perundungan),” jelasnya.
Dalam kasus ini, Dyan menjelaskan, jika hal utama yang harus diperhatikan adalah speak up. Hal itu menurutnya merupakan salah satu cara dalam memutus kasus perundungan yang berulang.
“Yang selama ini kurang, adalah korban dan saksi kurang speak up. Korban ada ketakutan dan tidak mampu bersuara. Yang lebih penting peran dari saksi karena mereka menganggapnya bukan urusannya. Ketika kita melihat di lingkungannya seperti itu, dia harus mau berbicara dan memberikan kesaksian yang memihak korban,” urai dia.
Selain itu, keberanian dari instansi jika terjadi di sekolah ataupun kampus, harus juga terbuka. Untuk melakukan edukasi dan memberikan jaminam tidak akan ada lagi kasus perundungan di kemudian hari. Dr Dyan menambahkan, kasus perundungan yang diselesaikan secara kekeluargaan juga tak serta merta membebaskan pelaku. Menurutnya, hal itu harus diselidiki dan perlu dicari apa yang membuat dia seperti itu.
“Kalau ditegakkan betul sistem akan berjalan. Masyakarat harus diberi kepastian bahwa system yang ada (seperti UU) harus dijalankan secara maksimal,” tandasnya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya), Dr Hwian Christianto SH MH berpendapat dalam hukum kasus perundungan bisa dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP tentang penghinaan, karena termasuk kriminal. Jika penghinaam dilkaukan secara verbal pada korban melalui media sosial maka pelaku bisa terjerat UU ITE pasal 27 ayat 3.
“Dalam hukum yang dilindungi adalah kehormatan atau nama baik korban. Bagaimama kondisi korban. Bukan hanya penghinaan secara verbal tapi juga kekerasan fisik atau sistemnya mengkondisikan korban dalam keadaan yang menekan dan membuat korban kehilangan eksistensi diri dalam masyarakat,” ujar dia. [ina]

Tags: