Sifat Tamak dan Rakus, Ki Suryo: Hancurkan Bangsa Akibat Ulah Pelaku Korupsi

Ilustrasi pelaku tindak pidana korupsi

Kab Malang, Bhirawa.
Viral diberbagai media terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan beberapa oknum pegawai pemerintah dan oknum artis Indonesia, yang mana hal itu telah menciderai rakyat Indonesia. Karena uang negara yang digunakan dan disalahgunakan nilanya tidak hanya miliaran rupiah, namun sudah mencapai angka triliunan rupiah. Sehingga semua masyarakat kini saling mengguncingkan masalah TPPU yang dilakukan oleh orang-orang mencari keuntungan untuk memperkaya diri.

Penyebab terjadinya korupsi, kata salah satu Tokoh Budaya Malang Sentot, yang biasa di panggil Ki Suryo, Senin (3/4), kepada wartawan, ada beberapa aspek individu pelaku tindakan korupsi yang paling besar dan menonjol adalah sifat tamak manusia. Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena miskin atau penghasilan tidak cukup. Namun juga kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar memperkaya diri. “Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus,” ujarnya.

Seorang yang moralnya tidak kuat, masih dia katakan, cenderung mudah tergoda melakukan korupsi. Sedangkan godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Dan kaktor selanjutnya adalah alasan penghasilan yang kurang mencukupi. Seperti penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Jika hal itu tidak terjadi, seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Namun, bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam itu yang akan memberi peluang besar melakukan tindak korupsi.

“Baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran, dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaannya. Sehingga tindakan korupsi itu, apapun alasannya tidak bisa dibenarkan dari sisi manapun, termasuk dari sisi perspektif budaya,” tegas Sentot.

Dikutip dari laman Indonesia Corruption Watch (ICW), Salahuddin Wahid atau biasa dipanggil Gus Sholah, yang juga adik kandung Presiden RI Ke 4 KH Abdurachman Wahid (Gus Dur) dalam acara pekan ceramah dengan tema, Membangun Budaya Pemerintah Yang Bersih dan Bebas KKN di Jakarta, pada beberapa tahun lalu menyampaikan, sebagian besar orang Indonesia menjalankan agama hanya secara teoretis atau secara ritual saja. Dicontohkan, pada malam hari di bulan Ramadan, masjid tampak ramai, hampir semua pemeluk agama Islam menjalankan ibadah puasa. Setiap tahun ratusan ribu warga negara Indonesia menjalankan ibadah haji. Dan jumlah gereja pun juga cukup banyak yang hampir semuanya ramai dikunjungi umat Kristiani, dan kehidupan agama resmi lain juga tidak kurang semaraknya.

“Tapi ternyata, semua itu terkesan munafik. Betapa tidak, korupsi telah menjadi bagian utama dari kehidupan orang Indonesia. Dan siapa pun bisa melihat budaya korupsi atau budaya penyalahgunaan wewenang telah menjadi realitas kehidupan orang Indonesia,” kata dia.

Hal seperti di atas, masih dikatakan Gus Sholah, merupakan paradoks dalam kehidupan bangsa Indonesia. Itulah satu dari sekian banyak paradoks di dalam kehidupan bangsa kita. Kenyataan paradoks tersebut menunjukkan ibadah ritual tidak selalu mempunyai hubungan positif dengan ibadah sosial. Mungkin lebih tepat dikatakan, ibadah ritual yang tidak bermutu tidak akan berdampak positif pada perilaku. Sementara, banyak orang yang tidak menjalankan ibadah ritual atau bahkan mungkin yang ateis, tetapi perilaku sosialnya baik.

Jadi, dia menegaskan, yang menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan adalah tingkat religiusitas (keberagamaan) yang dimilikinya. Religiusitas adalah penghayatan terhadap nilai-nilai yang disampaikan agama dan sekaligus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.”Kita menjadi saksi, kehancuran bangsa kita saat ini diakibatkan oleh korupsi, sebagai akibat ulah banyak pemimpin kita yang cerdas, profesional, tetapi tidak dapat dipercaya dan tidak jujur,” paparnya. (cyn.hel).

Tags: