SMK Mini Antar Hudiyono Raih Gelar Doktor

Kabid Pendidikan Menengah Kejuruan Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Dr Hudiyono MSi menerima piagamdoktoral dari ketua dewan penguji Prof Agus Sukristyanto. [adit hananta utama/bhirawa]

Kabid Pendidikan Menengah Kejuruan Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Dr Hudiyono MSi menerima piagamdoktoral dari ketua dewan penguji Prof Agus Sukristyanto. [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Gaung SMK Mini di Jatim terus terdengar di dua tahun terakhir ini. Bukan semata karena menjadi program prioritas Gubernur Jatim, melainkan juga karena besarnya atensi dari kalangan masyarakat bawah.
Alasan ini pula yang membuat Kabid Pendidikan Menengah Dindik Jatim, Hudiyono terpikat untuk menganalisisnya dengan menggunakan sudut pandang akademik. Analisis SMK Mini ini mengfantarkan Hudiyyono memperoleh gelar Doktor di Universitas 17 Agustus Surabaya.
Tak kurang dari dua jam Hudiyono membeberkan satu per satu pandangannya terkait pelaksanaan SMK Mini di Jatim. Berbagai pertanyaan terus bergulir dari sejumlah professor Universias 17 Agustus (Untag) Surabaya yang dipimpin Prof Agus Sukristyanto.
Sampai di penghujung pertemuan itu, disematkanlah gelar doctoral untuk Hudiyono. PNS yang kini duduk sebagai Kepala Bidang Pendidikan Menengah Kejuruan Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim.
“Kami mencoba melihat pelaksanaan SMK Mini dengan teori kebijakan publik yang dikemukakan Marilee S Grindle. Ternyata ada ketidaksesuaian antara teori yang dikemukakan dengan praktik di lapangan,” tutur Hudiyono dalam penjelasan disertasinya di meeting room Graha Wiayata Untag Surabaya, Senin (25/1).
Pria yang kini berdomisili di Tanggulangin, Sidoarjo itu menjelaskan, pengembangan Grindle berangkat dari asumsi bahwa kebijakan publik mudah diimplementasikan apabila punya kekuatan hukum. Artinya, kebijakan itu diatur dalam aturan atau perundang-undangan yang berlaku.
Kenyataannya, lanjut dia, pendekatan ini kurang efektif untuk mencapai tujuan utama SMK Mini. Karena itu, pihaknya membuat rekonstruksi kebijakan yang dibuatnya berdasar asumsi Grindle.
“Grindle berasumsi bahwa kebijakan itu efektif jika berlangsung secara top down.Namun, SMK Mini menggunakan dua pendekatan. Yani top down dan button up,” tutur pria yang menyelesaikan program magister psikometrinya di Universitas Gajah Mada (UGM) itu.
Botton up, kata Hudiyono, adalah kebijakan yang sangat peduli terhadap variabel sosial, politik dan budaya. Jelasnya, SMK Mini dilaksanaan menggunakan metode partisipasif dari masyarakat.
Di samping secara top down, SMK Mini juga dilindungi regulasi berupa Perda Nomor 9 tahun 2014 tentang penyelenggaraan pendidikan. Khususnya yang tertuang dalam pasal 41 tentang fungsi balai latihan kerja dan SMK Mini.
Kendati dalam pelaksanaannya, masih ada poin yang kurang menurut Hudiyono. Yakni terkait keseimbangan sasaran dengan tujuan SMK Mini melahirkan tenaga terampil di Jatim. “Jika kita melihat, setiap tahun lulusan SMK di Jatim mencapai 200 ribu siswa. Namun, rod map dari kebijakan ini hanya mampu mengkaver sebanyak 80 ribu siswa hingga 2017 mendatang,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, turut hadir Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman. Pihaknya mengapresiasi upaya pengembangan diri mitra kerjanya dengan terus belajar hingga ke jenjang tertinggi.
“Penelitian SMK Mini ini baru pertama kali. Kami berharap, teman-teman yang lain juga mau melakukan penelitian seputar pendidikan. Baik formal, non formal maupun pendidikan khusus dan layanan khsusu,” kata dia.
Prof Joko Widodo sebagai promotor Hudiyono dalam kesempatan itu mengingatkan, agar promovendus tidak berhenti melakukan aktifitas ilmiah. Sebab, dengan gelar yang disandang itu tanggung jawab intelektual yang diemban semakin besar. [tam]

Tags: