SMP Swasta Belum Sepenuhnya Lakukan LOS

Foto: ilustrasi

Jumlah Siswa Turun, Jam Mengajar pun Berkurang
Surabaya, Bhirawa
Hari pertama Layanan Orientasi Sekolah (LOS), kemarin (16/7) belum sepenuhnya terlaksanakan di beberapa sekolah SMP swasta di Surabaya. Seperti yang terpantau di SMP 17 Agustus 1945 (SMP Tag) Surabaya, yang belum memulai LOS hari pertama sebagai pengenalan lingkungan sekolah kepada siswa didik baru.
Dijelaskan Kepala SMP Tag Wiwik Wahyuningsih jika belum terlaksananya LOS di hari pertama (Senin), merupakan imbas dari kebijakan pemerintah terkait penerimaan siswa SMP Negeri baik berasal dari mitra warga maupun regular yang melebihi kuota.
“Hari ini kami tidak ada LOS. Hari ini dan besok masih pra LOS. Rabu baru mulai kegiatan LOS untuk siswa baru. Sedangkan untuk kelas 8 dan 9 kami masih beri pengarahan. Sedangkan sekolah bau aktif Senin depan” ungkap Kepala SMP Tag Wiwik Wahyuningsih.
Lebih lanjut, dalam penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2017/2018 ini, diungkapkan Kepala sekolah yang karib disapa Wiwik ini sebanyak 60 siswa. “Tahun ini kami hanya buka dua kelas. Karena jumlah siswa baru kurang lebih 60 siswa. Tahun sebelumnya kami buka empat kelas, dengan jumlah siswa 120” tutur dia.
Diuakui Wiwik, imbas berkuranganya siswa hingga 50 persen dari sekolah nya berakibat pada penambahan pagu di SMP negeri.
“Silahkan pemerintah menambah kuota mitra warga, karena anak-anak tidak mampu memang harus di sekolahkan oleh negara. Tapi tolong, jalur regular dikurangi. Jangan sama-sama ditambah. Kalau gini kami yang resah” ujarnya mengeluh pada Bhirawa, kemarin (16/7).
Berkurangnya jumlah siswa, diungkapkan Wiwik juga berdampak pada pengurangan jam mengajar guru disekolahnya. Pasalnya. Banyak guru yang tidak memenuhi 24 jam mengajar dalam seminggu dengan minimnya penerimaan siswa SMP swasta.
“Minimnya jumlah siswa yang kami miliki juga berimbas pada pengurangan jam ajar guru bahkan hingga pemberhentian paksa. Di sekolah saya sudah ada satu guru tidak tetap yang harus berhentikan paksa. Sementara dua guru lagi harus berbagi jam, masing-masing 12 jam mengajar” Tutur Wiwik.
Jika dibilang standarisasi sekolah swasta di bawah sekolah negeri, lanjut dia, hal itu tidak tepat. Pasalnya, sebagian besar tenaga pendidik disekolahnya mengikuti organisasi Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang ditunjuk langsung oleh Kementerian untuk mengajar kompetensi guru lain. “Yang diajar nggak hanya guru swasta. Tapi juga guru negeri. Kita dulu mengisi PKB hampir 12 guru dari 30 sekolah negeri” imbuh dia.
Permasalahan ini, sambung Kepala SMP 17 Agustus 1945, merupakan dilematis bagi saya. Di mana, dalam mencari solusi ia menilai haruslah bersikap bijak dan adil. Diakuinya, pihaknya harus membuat instrument untuk kompetensi tenaga pendidiknya.
“Untuk ke depannya, sekolah swasta juga harus dipikirkan. pagu di sekolah negeri untuk mitra warga diambil semuanya silahkan. Untuk siswa regular ya kami diberi kesempatan untuk turut mencerdaskan anak bangsa juga. Kita dulu mitra pemerintah loh. Jangan mereka sudah mampu, siswa diambil semua” pungkas dia.
Salah satu guru SMP 17 Agustus 1945, Aditya Yoastara menuturkan jika mulai tahun jaran baru ini dirinya hanya mendapatkan 12 jam mengajar setiap minggunya. Padahal sebagai guru tetap, persyaratan utama dalam memperoleh TunjanganProfesi Pendidik (TPP) adalah pemenuhan mengajar 24 jam dalam seminggu. “Selama ini mengampu 24 jam, untuk guru bahasa inggris kelas 8 dan 9. Karena ada dua guru jadinya harus dibagi dan saya kebagian 12 jam” sahut bapak dua anak ini.
Diakui laki-laki yang berusia 35 tahun ini, gaji yang diperoleh sebagai guru yang baru diangkat tahun 2013 hanya sebesar Rp. 1.500.000 setiap bulannya. Sehinngga pencairan TPP sangat dibutuhkan untuk memenuhi kehidupan keluarganya. Sehingga ia menilai jika solusi alternative untuk pemenuhan jam mengajar hanya bisa dilakukan dengan mengajar di sekolah swasta lainnya. Saya yakin nggak cuma saya yang mengalami masalah ini. Sejak tahun lalu saat banyak sekolah baru dibuka, sudah banyak guru swasta yang diberhentikan” keluh dia.
Hal serupa juga diungkapkan Kepala SMP Muhammadiyah 17 Surabaya, Azzam Nuri. Menurutnya, pemerintah kota Surabaya dinilai melanggar peraturan Permendikbud no 22 tahun 2006 tentang Standart Proses Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai maksimal rombongan belajar yaitu 32 siswa.
“Kebijakan ini sangat merugikan bagi kami sekolah swasta. Tahun ini sekolah kami menerima 24 siswa. Berebeda dengan tahun lalu yang berjumlah 60 siswa. Pemerintah kota Surabaya harus konsisten dalam menjalankan Permendikbud nomor 22 tahun 2016. Jangan ada penambahan kelas atau sekolah. Lebih baik tingkatkan kualitas sekolah” tandas Kepala SMP Muhammadiyah 17 Surabaya, Azzam Nuri. [ina]

Tags: