Soroti Kualitas Guru, Akhirnya Pahami Keputusan Pemerintah Hapus RSBI

Ardo Sahak Raih Gelar Doktor  dari Unair
Kota Surabaya, Bhirawa
Satu lagi pejabat di lingkungan Pemprov Jatim meraih gelar doktor setelah menyelesaikan studi S3nya di Program Studi  Pengembangan SDM Program Pasca Sarjana Unair, Jumat (14/2) lalu. Dia adalah Dr H Ardo Sahak SE, MM yang meraih doktor dengan predikat sangat memuaskan.
Butuh waktu 4 tahun 1 bulan, bagi Ardo Sahak untuk meraih gelar doktor dari Unair. Dalam rentang waktu itu,dia menempati berbagai posisi baru di lingkungan Setdaprov Jatim. Saat memutuskan mengambil S3, Ardo masih menjadi Kepala Bidang Pendidikan Menengah (Dikmen) Dinas Pendidikan Provinsi Jatim. Selanjutnya dia sempat menempati pos baru sebagai Sekretaris DPW Korpri Jatim, Kepala Biro Organisasi Setdaprov Jatim hingga tugas baru sebagai staf ahli sejak Januari 2014 lalu.
Karena itulah, objek penelitian  dia untuk meraih gelar doktor tak jauh dari dunia pendidikan. “Saat meneruskan program doktor empat tahun lalu saya bertugas di Dinas Pendidikan, bahan penelitian saya juga  tak jauh dari dunia pendidikan,” katanya kepada Bhirawa, Minggu (16/2).
Dan yang menarik, hasil penelitiannya pada akhirnya sama dengan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus RSBI.   Bukan bermaksud latah, namun Ardo menilai banyak hal yang perlu dibenahi dalam RSBI khususnya terkait kualitas tenaga pengajar. Jika kualitas guru tak dibenahi, sulit menghasilkan murid yang berkualitas.  “Dengan penelitian yang saya lakukan, saya akhirnya memahami dan setuju dengan upaya pemerintah untuk menghapus RSBI,”kata Ardo yang memilih meneruskan studi di Unair karena salah satu pertimbangannya kedekatan dengan tempat kerja dan keluarga sehingga dia bisa lebih fokus belajar di tengah kesibukannya bekerja.   
Untuk diketahui MK menghapuskan RSBI yang berada di sekolah-sekolah pemerintah sejak Januari 2013. MK memutuskan RSBI bertentangan dengan UUD 1945 dan bentuk liberalisasi pendidikan.                      
Ardo menceritakan pada 2009 lalu, dunia pendidikan banyak menyorot soal rendahnya kinerja guru RSBI di Jatim. Banyak orangtua kecewa karena output anak didik gemblengan RSBI tak seperti yang diharapkan. Padahal orangtua sudah membayar mahal untuk biaya pendidikan anaknya. Yang terjadi malah sebaliknya, acap output RSBI kalah dengan sekolah regular, alias tanpa embel-embel RSBI. Pro kontra masyarakat akan keberadaan RSBI terus bergulir saat itu.  “Saya melihat urgen untuk meneliti upaya peningkatan kinerja guru sehingga guru diharapkan lebih andal dalam menjalankan tugas dan fungsi profesinya sesuai dengan visi misi SBI (Sekolah Bertaraf Internasional),” katanya.
Untuk bahan penelitian, secara spesifik dia mengerucutkan untuk meneliti kualitas guru SMPN RSBI di Jatim. Total jumlah guru SMPN RSBI di Jatim saat itu ada 1.280 orang, namun yang dijadikan sampel penelitian sebanyak 296 orang. Sebaran guru yang dijadikan sampel berdasarkan Bakorwil.  Penelitian bertujuan untuk menganalisa pengaruh kompetensi, kecerdasan emosi, profesionalisme guru terhadap motivasi dan kinerja guru SMPN RSBI di Jatim.
Dari penelitian itulah dia menemukan fakta-fakta menarik. Di antaranya kompetensi tidak berpengaruh signifikan terhadap motivasi guru. Namun kecerdasan emosi berpengaruh langsung  dan signifikan  terhadap motivasi. Profesionalisme guru berpengaruh secara langsung dan prosifif, signifikan terhadap motivasi. Yang terakhir motivasi berpengaruh secara langsung, positif dan signifikan terhadap kinerja.
“Kesimpulannya kinerja ditentukan oleh profesionalisme guru dan motivasi, sedangkan motivasi ditentukan oleh kecerdasan emosi dan profesionalisme guru,” katanya.
Ardo menuturkan penyebab rendahnya kompetensi guru SMPN RSBI di Jatim ada beberapa faktor.  Mayoritas responden yang dijadikan sampel penelitian berusia  40-60 tahun yang secara karakteristik adalah usia jenuh untuk meningkatkan pengetahuan. Selain itu dominasi responden wanita yang cenderung memilih pekerjaan dan jadwal yang tidak penuh satu hari juga berpengaruh terhadap kompetensi guru. Masa kerja kerja responden rata-rata di atas 20 tahun juga  berdampak pada kejenuhan bekerja. Selain itu mayoritas responden  rata-rata berpendidikan S1,biasanya  memiliki kecenderungan emosi yang belum stabil jika dibandingkan responden yang berpendidikan S2.
“Mayoritas usia guru SMPN RSBI di Jatim saat saya melakukan penelitian memang banyak di usia jenuh untuk meningkatkan pengetahuan. Selain itu mayoritas guru adalah wanita juga jadi penyebab menurunnya kompetensi karena orientasi kerja wanita dan pria cenderung beda. Guru wanita banyak yang memilih bekerja tidak dalam waktu full, biasanya karena alasan keluarga. Bahkan ada yang rela berhenti bekerja karena juga alasan keluarga. Guru pria biasanya lebih fokus dalam bekerja karena tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga,” katanya.
Kekurangmampuan guru SMPN RSBI di Jatim untuk meningkatkan kompetensi terlihat masih bayak guru yang aktif mengikuti perkembangan pembelajaran karena diajak oleh teman sejawat dan bukan berasal dari dalam diri sendiri. Tipe-tipe seperti ini cenderung memiliki wawasan yang stagnan atau kurang berkembang dalam penguasaan konsep-konsep baru serta kurang menyadari pentingnya penciptaan inovasi pembelajaran.
Selain itu dengan mayoritas guru berusia jenuh, kecerdasan emosi guru lebih fokus pada peningkatan keahlian persuasif tanpa diimbangi secara optimal dengan upaya pemahaman diri sendiri, melakukan motivasi diri sendiri, memberikan perhatian pada orang lain serta peningkatan kecakapan sosial.
Untuk menyelesaikan program doktornya, Ardo di bawah bimbingan Dosen Pasca Sarjana Unair Prof Dr Suryanto Drs, MSi selaku promotor dan Prof Dr Jusuf Irianto Drs, MCom selaku Ko-Promotor.
Dihubungi terpisah, Prof Dr Suryanto Drs, MSi mengatakan penelitian yang dilakukan oleh Ardo Sahak diharapkan menjadi koreksi terhadap Dinas Pendidikan Jatim ke depan.  Penyelenggaraan RSBI tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai sarana dan prasarana harus disiapkan. Kualitas guru juga harus dibenahi.
“Terlebih dalam era globalisasi seperti ini. Penyiapan harus dilakukan secara luar biasa. Tidak sekadar meningkatkan gaji dan tunjangan guru, kompetensi guru harus diukur dengan transparan dan berkelanjutan. Kalau guru kompetensinya tak memenuhi, lembaga terkait harus berani mencoret,” katanya. [***]