Status Hanya Bencana Provinsi dan Didukung Kesadaran Warga

Gubernur Jatim Dr H Soekarwo bersama Bupati Kediri dr Hj Haryanti Sutrisno melihat langsung perbaikan rumah warga korban erupsi Gunung Kelud yang dilakukan personel TNI dan Polri di Desa Kebon Rejo, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri.

Gubernur Jatim Dr H Soekarwo bersama Bupati Kediri dr Hj Haryanti Sutrisno melihat langsung perbaikan rumah warga korban erupsi Gunung Kelud yang dilakukan personel TNI dan Polri di Desa Kebon Rejo, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri.

Belajar dari Kesuksesan Penanganan Erupsi Kelud (bagian – 1 )

Jutaan masyarakat Indonesia tak sadar, jika mereka hidup penuh dengan ‘bahaya’. Dikelilingi 127 gunung api aktif yang sambung-menyambung seantero Nusantara menjadi penyebabnya. Memang benar, banyaknya gunung api artinya kekayaan alam Indonesia melimpah. Namun sedikit lengah, bahaya erupsinya bisa menjadi malapetaka. Salah satunya erupsi Gunung Kelud.

Zainal Ibad, Harian Bhirawa

Secara geografis, Indonesia didominasi gunung api yang terbentuk akibat zona subduksi antara lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia. Beberapa gunung api terkenal karena letusannya misalnya Krakatau, yang letusannya berdampak secara global pada 1883. Letusan supervulkan Danau Toba yang diperkirakan terjadi 74.000 tahun lalu yang menyebabkan terjadinya musim dingin vulkan selama enam tahun, dan Gunung Tambora dengan letusan paling hebat yang pernah tercatat dalam sejarah pada 1815.
Sejak 26 Desember 2004, pasca gempa besar dan tsunami terjadi di Aceh, semua pola letusan gunung berapi berubah. Seperti Gunung Sinabung, yang terakhir kali meletus pada 1600-an, tiba-tiba aktif kembali pada 2010 dan meletus pada 2013. Hingga kini, tanda-tanda ‘padamnya’ gunung yang terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara itu belum tampak. Bahkan pasca erupsi 2013 Sinabung terus meluncurkan awan panas hingga kini. Akibatnya, ribuan warga yang tinggal kawasan Gunung Sinabung tak bisa kembali dan harus direlokasi.
Di Provinsi Jawa Timur juga terdapat 16 gunung, tujuh diantaranya adalah gunung api yang sewaktu-waktu bisa meletus. Ketujuh gunung api itu yakni; Gunung Arjuno-Welirang, Gunung Bromo, Gunung Lamongan, Gunung Ijen, Gunung Raung, Gunung Semeru dan Gunung Kelud.
Dari tujuh gunung api itu, salah satu yang paling aktif adalah Gunung Kelud. Sejak 1000 masehi lalu, Kelud telah meletus lebih dari 30 kali dengan letusan terbesar berkekuatan 5 Volcanic Explosivity Index (VEI) pada letusan 1919. Letusan terakhir Gunung Kelud terjadi pada 13 Februari 2014, yang sebaran abu vulkaniknya hingga Jawa Barat.
Gunung Kelud termasuk dalam tipe stratovulkan dengan karakteristik letusan eksplosif. Seperti banyak gunung api lainnya di Pulau Jawa, Gunung Kelud terbentuk akibat proses subduksi lempeng benua Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Sejak sekitar 1300 masehi, gunung ini tercatat aktif meletus dengan rentang jarak waktu yang relatif pendek yakni antara 9-25 tahun, hingga menjadikannya sebagai gunung api yang berbahaya bagi manusia.
Kekhasan gunung api ini adalah adanya danau kawah. Jika erupsi akan menghasilkan aliran lahar dalam jumlah besar. Kondisi ini menyebabkan Kelud sangat berbahaya saat meletus. Untuk meminimalisir aliran lahar itu, pada awal abad 19 Kolonial Belanda membangun terowongan yang berfungsi mengurangi debit air di kawah. Catatan sejarah menunjukkan, jika korban jiwa letusan Kelud berbanding lurus dengan volume air kawah. Semakin tinggi volume air danau kawah, kian berbahaya bagi warga yang tinggal di sekitar lereng Kelud dan aliran jalur lahar.
Letusan 1919 menjadi contoh nyata. Ketika volume air danau kawah mencapai 40 juta meter kubik, jarak luncur lahar mencapai 37,5 km yang mengakibatkan 5.110 jiwa melayang. Dengan pengurangan volume air kawah hingga 2,5 juta meter kubik, jarak luncur lahar hanya 5 km. Itu terjadi pada letusan 1990 dengan hanya memakan korban jiwa 31 orang. Itupun bukan karena tertimpa material lahar, tapi tertimpa reruntuhan bangunan.
Dampak mengerikan air kawah yang melimpah ini sejatinya sudah disadari orang-orang kuno. Prasasti Harinjing mencatat, pada 804 masehi, warga telah membangun bendungan dan saluran yang mengalirkan air danau kawah Kelud di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri. Lantas ide membangun terowongan untuk menormalisasi datang dari Pemerintah Belanda. Tujuh terowongan dibangun kolonial di sekitar danau kawah pada 1907 dan 1923.
Namun, terowongan itu rusak oleh letusan 1951. Pembangunan terowongan ini dilanjutkan pemerintah Indonesia pada 1967. Kemudian terowongan tersebut diberinama Terowongan Ampera yang berfungsi mempertahankan volume air kawah pada kisaran 2,5 juta meter kubik. Namun terowongan itu lagi-lagi rusak pasca erupsi 13 Februari 2014 lalu. Sekarang perbaikan terowongan kembali dilakukan pemerintah.
Ajak Warga Simulasi
Berbicara erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014, mengundang decak kagum banyak orang mengenai penanganannya. Disebut erupsi terdahsyat Kelud di era kekinian, bahkan lebih dahsyat dibanding erupsi 1990, namun erupsi Kelud bisa di tangani dalam hitungan minggu dan tidak memakan korban jiwa secara langsung.
Peningkatan aktivitas Gunung Kelud sudah dideteksi di akhir 2013. Namun, situasi kembali tenang. Dimasa-masa tenang inilah pemerintah daerah, baik Pemprov Jatim maupun Pemkab Kediri dan daerah lain di sekitar Kelud, seperti Malang dan Blitar aktif melakukan penanggulangan erupsi Kelud. Seperti simulasi penanganan erupsi yang melibatkan warga, TNI dan Polri, relawan dan petugas dari Pemkab Kediri serta BPBD (Badan Penanggulangan Bencada Daerah) Provinsi Jatim.
Tak hanya itu, Pemprov Jatim dan Pemkab Kediri juga gencar melakukan sosialisasi dan pemasangan rambu-rambu peringatan yang harus ditaati warga. “Soal kesadaran warga untuk mematuhi rambu-rambu peringatan, seperti dilarang mendekati puncak Kelud dalam radius tiga kilometer dan saat status Awas diradius 10 kilometer dipatuhi warga dengan baik. Tanpa kesadaran warga mau mematuhi rambu-rambu peringatan yang telah kita tetapkan, pasti korban berjumlah banyak,” kata Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Jatim, Drs Sudarmawan MM.
Menurut dia, proses terjadinya erupsi Kelud begitu sangat cepat. Setelah statusnya dinaikkan dari Normal menjadi Waspada pada 2 Februari, Kelud terus bergemuruh hingga pada 10 Februari statusnya kembali dinaikkan menjadi Siaga. Lantas pada 13 Februari pukul 21.15 WIB diumumkan status bahaya tertinggi yakni Awas. Sehingga radius 10 kilometer dari puncak harus dikosongkan dari manusia.
Selang waktu dua jam setelah status Awas, tepatnya pukul 22.50 erupsi Kelud ini pun terjadi dengan tipe ledakan (eksplosif). Erupsi tipe eksplosif sama seperti pada 1990 ini menyebabkan hujan kerikil yang cukup lebat dirasakan warga di wilayah Kecamatan Ngancar hingga Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Bahkan suara ledakan dilaporkan terdengar hingga Kota Solo dan Yogyakarta yang berjarak 200 kilometer dari pusat letusan.
Dampak abu vulkanik mengarah ke arah barat hingga Kabupaten Ciamis dan Bandung, Jawa Barat. Di daerah Madiun dan Magetan jarak pandang untuk pengendara kendaraan bermotor atau mobil hanya sekitar 3-5 meter. Aktivitas penerbangan ditujuh bandara ditutup. Ada yang menyebut, separuh aktivitas di Pulau Jawa lumpuh. Akibat erupsi itu pula, belasan ribu rumah rusak, ribuan hektare lahan pertanian gagal panen dan berhentinya perekonomian warga sekitar.
Berdasarkan data BPBD Provinsi Jatim, awalnya jumlah rumah warga korban erupsi Gunung Kelud yang akan diperbaiki mencapai 8.595 rumah. Diantaranya 2.207 rusak ringan, 2.093 rusak sedang dan 4.295 rusak berat. Namun jumlah itu terus bertambah hingga mencapai 14 ribu lebih rumah yang harus diperbaiki.
Sementara untuk bidang pertanian, ribuan hektare tanaman holtikultura dan palawija rusak ditutup debu vulkanik. Tercatat kerugian mencapai Rp136 miliar dan lahan yang mengalami kerusakan mencapai 18.502,6 hektare. Jika dirinci, tanaman cabai seluas 8.088 hektare, tebu 3.298 hektare, kopi 490 hektare, kakao 268,5 hektare, cengkeh 854,1 hektare, padi 4.010 hektare dan jagung mencapai 1.494 hektare.
Status Bencana Provinsi
Meski memakan banyak kerugian, namun erupsi Kelud 2014 sama sekali tidak menelan korban jiwa secara langsung. Total ada empat orang yang meninggal. Seperti terkena sesak nafas dan tertimpa tembok saat menunggu kendaraan evakuasi. Keempat korban itu pun usianya sudah di atas 60 tahun.
“Tidak adanya korban jiwa akibat terkena langsung material erupsi inilah yang menjadikan penanganan erupsi Gunung Kelud mendapat pujian banyak pihak, termasuk dari Jepang yang terkenal memiliki penanganan bencana terbaik di dunia. Kesadaran warga mengikuti perintah evakuasi dan sinergi antara pemerintah, TNI dan Polri, relawan dan pihak lain menjadi kuncinya,” ungkap Sudarmawan.
Selain kesadaran tingkat tinggi warga, kesiapan dan kematangan penanganan erupsi gunung yang memiliki ketinggiam 1.731 mdpl juga diperlihatkan Pemprov Jatim. Keberanian memutuskan status erupsi Kelud hanya bencana provinsi bukan bencana nasional juga mendapat acungan jempol. Sebab dengan status hanya bencana provinsi, praktis semua penanganan dampak Kelud sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemprov Jatim.
Status bencana provinsi itu disampaikan langsung Gubernur Jawa Timur Dr H Soekarwo esok paginya, saat memantau langsung Posko Utama Simpang Lima Gumul, Kabupaten Kediri. “Apapun yang diminta daerah akan kami beri. Sekarang semua kebutuhan masih terus didata. Tapi yang menjadi prioritas adalah persediaan air bersih dan MCK (mandi, cuci dan kakus). Bencana ini ditangani provinsi. Pemda dan provinsi akan membenahi semuanya,” tegas Gubernur Soekarwo, kala itu.
Secara regulasi, aturan spesifik yang mengatur status bencana di Indonesia, apakah menjadi status bencana nasional atau bencana daerah belum ada. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 7 ayat (1) huruf c disebutkan, wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah.
Kemudian pada Ayat (2) dijelaskan, penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat indikator yang meliputi jumlah korban; kerugian harta benda; kerusakan sarana dan prasarana; cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Sedangkan di ayat (3) disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan presiden (PP). Nah, hingga sampai saat ini PP yang mengatur ketentuan penetapan status bencana ini belum ada. Oleh karena itu, keberanian Pakde Karwo menetapkan erupsi Kelud sebagai bencana provinsi merupakan kebijakan langka yang cerdas untuk melindungi masyarakat.
Kebijakan ini pun dirasa mampu menenangkan kepanikan dan kerisauan warga yang terdampak erupsi Kelud, karena ada jaminan dari pemerintah. Mantan Sekdaprov Jatim ini mengatakan, jika pengungsi yang pertaniannya rusak dibantu Pemprov Jatim. Masyarakat juga tidak perlu khawatir jika rumah mereka rusak. Karena Pemprov bekerja sama dengan kabupaten/kota akan mengganti rugi segala kerusakan.
Dalam menangani erupsi Gunung Kelud ini, Pemprov Jatim tidak berjalan sendirian. Tapi menggandeng TNI dan Polri serta dibantu warga untuk bekerjasama merehabilitasi bangunan rumah bagi korban erupsi Gunung Kelud. Kuatnya sinergi inilah yang menjadikan rehabilitasi bisa selesai dalam kurun waktu dua minggu pasca erupsi.
Total rumah yang harus direhabilitasi ada di tiga kabupaten dan satu kota yang terkena dampak erupsi gunung kelud. Yakni Kabupaten Kediri, Kabupataen Blitar, Kabupaten Malang dan Kota Batu. “Total personel TNI dan Polri yang membantu rehabilitasi sebanyak 5.987 personel yang terbagi TNI AD, AL, AU sejumlah 4.000 personel dan polisi sebanyak 1.987 personel,” kata Pakde Karwo, sapaan akrab Gubernur Soekarwo.
Sementara itu, agar penyaluran bantuan untuk korban erupsi Kelud bisa berjalan dengan baik, pemprov menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit. Pemprov sengaja mengandeng BPKP sebagai bentuk keseriusan agar bantuan yang diberikan bisa diaudit langsung dan tidak diselewengkan.
Kerja keras Pemprov Jatim itu pun dirasakan manfaatnya warga Kelud. Salah satu warga Dusun Bales, Desa Pandansari, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang bernama Slamet. Menurut dia, rumahnya rusak berat akibat muntahan abu vulkanik Gunung Kelud.
“Awalnya, saya bingung bagaimana cara memperbaiki rumah yang gentengnya porak-poranda. Apalagi saya tak memiliki biaya untuk beli genteng dan kebutuhan lainnya. Namun kegelisahan itu seketika sirna setelah mengetahui rumah saya diperbaiki Pemprov Jatim melalui kerjasama personil TNI dan Polisi serta relawan,” katanya.
Berkat kesuksesan penanggulangan erupsi Kelud ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tak ragu untuk memberikan penghargaan khusus kepada Pakde Karwo. Jatim dinilai sebagai wilayah yang memiliki inisiatif dan bergerak cepat dalam menangani berbagai bencana. Tidak hanya pemerintah yang pro aktif, masyarakat dengan penuh kesadaran juga ikut membantu penanganan bencana. Untuk itu Jatim dapat dijadikan contoh yang baik dalam proses penanganan bencana.
Deputi Bidang Rehabilitasi dan  Rekonstruksi BNPB, B Wisnu Widjaja, saat penyerahaan penghargaan menyebut, fenomena yang terjadi ketika terjadi bencana di daerah biasanya pemerintah daerah setempat tidak melakukan penanganan yang maksimal. Bahkan terkesan penanganan bencana seolah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Namun hal itu tidak terjadi di Jatim. (bersambung).

                                                                                                       ———– *** ———–

Tags: