Stop Konflik KPK dan Polri

Yeny OktarinaOleh :
Yeny Oktarina
Pengajar FKIP Civic Hukum ( PPKn)
Universitas Muhammadiyah Malang

Perseteruan antara Polri dan KPK harus segera diakhiri. Sebab, bila kisruh antar dua lembaga penegak hukum itu terus dibiarkan berlarut-larut, masa depan bangsa ini akan menjadi taruhannya. Melihat perseteruan ke dua lembaga ini, betapa rakyat sudah begitu muak dengan gonjang-ganjing antar dua lembaga ini. Mulai di media sosial dan di setiap obrolan, rakyat merasa jengah melihat situasi  saat ini. Kepada siapa mereka harus percaya jika dua lembaga penegak hukum malah terlibat konflik?
Perseteruan ini telah menciptakan ketidakpastian hukum. Hal tersebut tentu sangat berbahaya, sebab dampaknya bisa merembet pada iklim investasi di Tanah Air. Upaya pemerintah untuk  meningkatkan pertumbuhan ekonomi bisa terganjal karena investor bisa kabur dari Indonesia jika konflik antara KPK dan Polri terus berlanjut, sehingga saatnya prahara perpolitikan Indonesia terkini dapat dihipotesiskan bermula dari ketidaktegasan Presiden Jokowi. Bola liar kasus Budi Gunawan yang kini memasuki fase pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah terbilang mengkhawatirkan. Jika lembaga KPK yang menjadi harapan terakhir rakyat menjadi tak berkutik, Indonesia akan jatuh ke dalam genggaman para oligarki politik, sebuah kondisi berbahaya bagi negeri.
Pertanyaannya, bagaimanakah solusi politik terbaik agar hipotesis di atas tidak terjadi? Kuncinya ada di kepemimpinan dan ketegasan Jokowi, baik selaku presiden maupun pelaku utama perpolitikan elite. Dan ketegasan ini tengah diuji, khususnya oleh para elite politik maupun rakyat selaku pemberi amanah.
Ketegasan Jokowi
Bisa terbilang bola liar kasus Budi Gunawan yang bergulir cepat dan kini bertransformasi pada fase pelemahan KPK, sikap tegas Jokowi seakan menguap. Anis Hidayah dari Migrant Care bahkan menyindir sikap Jokowi tidak lebih tegas dari seorang ketua RT. Sarkastis memang, namun Jokowi harus membuktikan bahwa ia memang layak menjadi presiden rakyat Indonesia. Ada beberapa asumsi bahwa prahara terkini perpolitikan Indonesia bermula dari ketidaktegasan Jokowi.
Asumsi pertama, Jokowi tidak tegas dalam mencoret nama Budi Gunawan sebagai calon kapolri. Padahal, Jokowi sudah pernah melihat catatan merah KPK dan PPATK terhadap perwira polisi pemilik rekening gendut tersebut. Publik mahfum bahwa pihak yang sangat menginginkan Budi Gunawan sebagai kapolri adalah Megawati Soekarnoputri dan PDIP. Hal ini semakin disulut oleh tekanan Partai Nasdem. Tentu wajar jika publik membaca ada kepentingan politis yang kuat dari dua partai pendukung Jokowi ini. Namun, publik tidak gentar. Perlawanan terhadap Budi dilakukan dengan berbagai cara.
Sayangnya, Jokowi tidak tegas atau bahkan minim keberanian menolak tekanan Megawati cs. Bola semakin liar karena Sidang Paripurna DPR secara cepat menyetujui Budi Gunawan, padahal dua hari sebelumnya ia baru dinyatakan KPK sebagai tersangka. Hal ini memang aneh sekaligus lucu, bahwa DPR sebagai representasi suara rakyat justru hampir secara bulat mendukung dan bahkan memuji-muji Budi Gunawan. Seorang pengamat menyebutkan, memang demikianlah kualitas sebagian besar wakil rakyat kita.
Setidaknya dalam kondisi “lampu kuning” negara, rakyat sedikit lega ketika Jokowi memutuskan menunda pelantikan Budi Gunawan. Kekhawatiran akan sebuah prahara dapat diredam. Tentu saja para elite politik di sekeliling Jokowi tidak langsung menyerah. Mereka selanjutnya secara brutal menyerang KPK. Para pimpinan KPK diserang secara politik dan kriminalisasi. Indonesia kini berada dalam situasi “lampu merah”. Ketegasan Jokowi kembali diuji.
Asumsi kedua, ketidaktegasan Jokowi terlihat dari sikap normatifnya dalam menghadapi perseteruan KPK-Polri (baca: pelemahan KPK), dan hal ini amat patut disesalkan. Seorang pemimpin memang harus adil. Namun, sikap adilnya harus dilandasi pada kebenaran dan bukan semata akomodatif berusaha menyenangkan pihak-pihak berseteru.
Solusi bagi Jokowi sejatinya sangatlah sederhana. Ia hanya perlu bersikap tegas dengan berpihak kepada suara rakyat. Pertanyaannya, suara rakyat yang mana? Ini pun mudah dijawab. Logika sederhana menunjukkan bahwa suara yang menginginkan Budi Gunawan sangat sarat kepentingan politik, baik tersembunyi maupun kasat mata. Sementara suara rakyat sangat jelas, mereka menolak Budi karena menginginkan pemberantasan korupsi, sebuah penyakit kronis bangsa ini. Jika memihak kepada suara rakyat, sebagian pihak akan berkilah bahwa Jokowi memerlukan dukungan politik, khususnya dari Megawati dan parpol koalisi pendukung pemerintahan. Ini pun logis. Namun, sekiranya sikap dan suara para elite politik sudah jelas-jelas melawan suara rakyat, pilihan Jokowi hanya satu, yaitu rakyat.
Intinya, Jokowi hanya perlu berpaling dan bersikap tegas dengan mengatakan “tidak” kepada para elite politik yang memiliki kepentingan menjerumuskan. Jokowi pun harus yakin bahwa sikap ini tidak akan membahayakannya karena ada rakyat yang akan selalu mendukung. Ia cukup meminjam adagium “suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Sekalipun misalnya ketegasan Jokowi menolak tekanan akan berisiko ia dipaksa mundur oleh para oligark politik, hal ini lebih baik daripada berkhianat kepada rakyat. Karena, sejarah akan mengenang nama baik seorang pemimpin yang memperjuangkan kemaslahatan umat, bukan sebaliknya.
Saatnya berdamai
Sudah saatnya para petinggi Polri dan KPK segera duduk bersama untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Polri dan KPK sudah seharusnya bergandeng tangan dan saling memperkuat satu sama lain untuk membebaskan negeri ini dari jeratan korupsi. Bukan malah terkesan saling sandera dan melemahkan. Tak seharusnya ada kesan merasa paling hebat. Ingatlah bahwa negeri ini belum bebas dari cengkeraman korupsi.
Hubungan yang retak antara KPK dan Polri akan sangat menguntungkan bagi para penjarah uang rakyat alias koruptor. Situasi yang tak pasti ini bisa dimanfaatkan para koruptor untuk membobol uang rakyat. Bahkan, situasi ini juga rawan dimanfaatkan para koruptor untuk melemahkan lembaga penegak hukum, seperti KPK dan Polri.
Kondisi darurat ini harus segera dicarikan jalannya keluarnya. Kita masih ingat janji Presiden Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu yang bertekad memberantas korupsi. Dalam visi-misi kampanyenya, Jokowi berjanji akan melakukan reformasi sistem dan penegak hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Jokowi pun berikrar akan memprioritaskan pemberantasan korupsi dengan konsisten dan terpercaya.
Reformasi sistem dan penegak hukum bebas korupsi yang dijanjikan Presiden Jokowi hanya akan tercapai ketika figur yang dipilih Presiden untuk memimpin lembaga penegak hukum bebas dari indikasi korupsi. Inilah yang dipertanyakan publik saat Presiden Jokowi menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri.
Presiden memiliki hak prerogatif untuk memilih pucuk pimpinan lembaga penegak hukum. Ada ratusan juta penduduk di negeri ini. Presiden sudah seharusnya memilih putra-putri terbaik bangsa untuk memimpin lembaga yang menjadi ujung tombak penegakan hukum. Baik dan buruknya suatu bangsa akan sangat tergantung pada penegak hukumnya.
Besar harapan rakyat terhadap Presiden Jokowi yang begitu tinggi harus segera dijawab dengan langkah cepat, tepat, dan tegas untuk mengakhiri konflik antara KPK dan Polri.  Kita  berharap Presiden Jokowi segera menemukan solusi untuk mengakhiri situasi darurat  ini. Sudah saatnya para petinggi Polri dan KPK segera duduk bersama untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Publik sangat mendambakan Polri dan KPK menjadi lembaga yang bersih dan kuat untuk memberantas berbagai tindak kejahatan yang mengancam masa depan bangsa.

                                                                             ———————— *** ———————–

Rate this article!
Tags: