Stunting dan Fenomena Salah Gizi

Oleh :
Sutawi
Dosen Fakultas Pertanian Peternakan UMM

Stunting (balita kerdil) merupakan salah satu pekerjaan rumah besar bagi bangsa Indonesia saat ini. Stunting didefinisikan sebagai kondisi anak usia 0-59 bulan, di mana tinggi badan menurut umur berada di bawah minus 2 Standar Deviasi dari standar median Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

BKKBN menyebutkan sebanyak 1,2 juta (24%) di antara 5 juta kelahiran setiap tahun dalam kondisi stunting yang diukur melalui ukuran panjang tubuh tidak sampai 48 sentimeter dan berat badan tidak sampai 2,5 kilogram. Jumlah prevalensi stunting di Indonesia tahun 2019 mencapai 27,67 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan WHO yaitu kurang dari 20 persen jumlah balita.

Persentase stunting Indonesia lebih tinggi dibanding sejumlah negara Asia Tenggara seperti Vietnam (23), Filipina (20), Malaysia (17), dan Thailand (16). WHO menempatkan status Indonesia berada di urutan keempat dunia dan urutan kedua di Asia Tenggara terkait jumlah balita stunting.

Stunting adalah masalah kurang gizi yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam rentang waktu yang lama yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik anak sehingga tinggi badannya lebih pendek dari standar usianya. Stunting akan berdampak dan dikaitkan dengan proses kembang otak yang terganggu, di mana dalam jangka pendek berpengaruh pada kemampuan kognitif. Jangka panjang mengurangi kapasitas untuk berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan untuk peluang kerja dengan pendapatan lebih baik.

Anak stunting yang berhasil mempertahankan hidupnya, pada usia dewasa cenderung akan menjadi gemuk (obese), dan berpeluang menderita penyakit tidak menular (PTM), seperti hipertensi, diabetes, kanker, dan lain-lain. Stunting juga diyakini akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan.

Akar masalah stunting adalah kemiskinan yang kemudian berdampak negatif terhadap pendidikan dan kesehatan. Kasus stunting banyak ditemukan di daerah dengan kemiskinan tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah.

Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi stunting Jatim saat ini tidak terpaut jauh dari angka nasional, yaitu mencapai 26,91 persen. Ada 16 (42%) kabupaten/kota di Jatim yang termasuk zona merah stunting, yaitu Kabupaten Lamongan, Nganjuk, Trenggalek, Kabupaten dan Kota Kediri, Kota Batu, Kabupaten dan Kota Malang, Kabupaten dan Kota Probolinggo, Kabupaten Jember, Bondowoso, dan empat kabupaten di Madura yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Tujuh di antara 16 kabupaten/kota tersebut merupakan kabupaten termiskin di Jawa Timur. BPS Jatim (2019) mencatat persentase kemiskinan di 10 kabupaten termiskin masing-masing Sampang 20,71%, Sumenep 19,8%, Bangkalan 18,9%, Probolinggo 17,76%, Tuban 14,58%, Ngawi 14,39%, Pamekasan 13,95%, Pacitan 13,67%, Bondowoso 13,33%, dan Lamongan 13,21%. Suatu daerah yang banyak penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, bisa dipastikan kualitas pendidikan dan kesehatan di wilayah tersebut kurang baik.

Hasil penelitian Rosha dkk. (2012) menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu memengaruhi kejadian stunting anak. Pendidikan ibu memengaruhi pengetahuan mengenai praktik kesehatan dan gizi anak sehingga anak berada dalam keadaan status gizi yang baik. Judith dan Stand (1996) dalam penelitiannya di Filipina menunjukkan bahwa pendidikan ibu memengaruhi kejadian wasting (kurus) dan stunting. Semba dkk. (2008) juga menegaskan bahwa pendidikan ibu merupakan penentu kejadian stunting di Indonesia. Ibu dengan tingkat pendidikan SD memiliki peluang 1,56 kali memiliki anak dengan status stunting dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan SMP ke atas. Ibu yang memiliki pendidikan SMP ke atas cenderung lebih baik dalam pola asuh anak serta lebih baik dalam pemilihan jenis makanan anak. Hal ini dikarenakan ibu dengan pendidikan SMP ke atas memiliki peluang lebih besar dalam mengakses informasi mengenai status gizi dan kesehatan anak sehingga pengetahuannya meningkat. Informasi tersebut kemudian dipraktikkan dalam proses perawatan anak yang berimbas pada status gizi dan kesehatan anak yang lebih baik.

Selain faktor kemiskinan dan pendidikan, stunting juga diperparah oleh fenomena salah gizi (misnutrisi) penduduk Indonesia. BPS (2020) mencatat pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp 572.551. Pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli rokok Rp 70.537 (12,32%), mengalahkan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan pangan seperti beras Rp 64.961 (11,35%), ikan Rp 45.304 (7,91%), telur dan susu Rp 32.435 (5,67%), dan daging Rp 24.783 (4,33%). Survei terbaru dari Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada Juli 2021 menyebutkan pengeluaran untuk konsumsi rokok keluarga miskin bahkan mencapai Rp 364.000 per bulan. Rokok telah menjadi kebutuhan dasar setara dengan kebutuhan pangan. Pengeluaran rokok keluarga miskin setara dengan sepertiga pengeluaran untuk makan sehari-hari dan 2,5 kali lebih besar dari tagihan listrik. Sebanyak 77,1 persen keluarga miskin menyatakan tidak menurunkan konsumsi rokoknya selama pandemi Covid-19, bahkan cenderung meningkat. Fakta tersebut membuktikan bahwa penduduk Indonesia, terutama keluarga miskin, lebih mengutamakan racun nikotin rokok penyebab penyakit jantung, paru-paru, kanker, dan gangguan kehamilan dan janin itu daripada protein hewani yang menyehatkan badan dan mencerdaskan otak anggota keluarganya.

Riskesdas (2018) melaporkan 33,8% (89,570 juta) penduduk Indonesia (62,9% laki-laki dan 4,8% perempuan) adalah perokok. Angka tersebut menjadikan Indonesia negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di dunia setelah Cina dan India, dan terbanyak pertama di Asean, jauh melebihi Philipina (16,62%), Vietnam (14,11%), Myanmar (8,73), Thailand (7,74), Malaysia (2,90%), Kamboja (2,07%), Laos (1,23%), Singapura (0,39%), dan Brunei (0,04%). Kemenkeu mencatat konsumsi rokok tahunan meningkat dari 320,4 miliar batang tahun 2016 menjadi 334 miliar batang tahun 2017, dan mencapai 339,5 miliar batang tahun 2018. Jika dibagi jumlah perokok 89,570 juta, berarti perokok Indonesia rata-rata menghisap rokok 10,38 batang/orang/hari. Jika satu batang rokok berharga Rp 1.000, maka uang yang dibakar perokok Indonesia mencapai Rp 339,5 triliun per tahun atau Rp 930,137 miliar sehari. Konsumsi rokok sebanyak itu telah menyumbang lebih dari 230.000 kematian setiap tahun.

Pembelian rokok oleh kepala rumah tangga berdampak terhadap berkurangnya pengeluaran rumah tangga untuk makanan, pendidikan, dan kesehatan. Dengan pendapatan per kapita tahun 2020 hanya sebesar US$ 3.870 (Rp 4,5 juta/bulan), seharusnya kepala rumah tangga lebih memilih menambah konsumsi protein hewani daripada nikotin rokok.

Konsumsi protein penduduk Indonesia sebesar 62,19 g/orang/hari, terdiri protein nabati 46,41 g (74,63%) dan hewani 15,78 g (25,37%) yang berasal dari ikan 8,23 g, daging 4,2 g, dan telur dan susu 3,35 g. Konsumsi protein hewani tersebut masih tergolong rendah dan berada di bawah konsumi protein hewani Thailand dan Filipina antara 40-50 g, dan Malaysia dan Brunei Darusalam sekitar 50-60 g. Rendahnya konsumsi protein hewani merupakan salah satu faktor pemacu tingginya angka prevalensi stunting di Indonesia.

—— *** ——–

Rate this article!
Tags: