Suka Dunia Sastra, Dedikasikan Perjuangan dari Senjata ke Tulisan

Almarhum Hario Kecik, pendiri PTKR (Polisi Tentara Keamanan Rakyat) yang menjadi cikal bakal polisi militer saat disemayamkan di Tugu Pahlawan Surabaya sebelum dikebumikan di TMP Mayjend Sungkono, Rabu (20/8).

Almarhum Hario Kecik, pendiri PTKR (Polisi Tentara Keamanan Rakyat) yang menjadi cikal bakal polisi militer saat disemayamkan di Tugu Pahlawan Surabaya sebelum dikebumikan di TMP Mayjend Sungkono, Rabu (20/8).

Kota Surabaya, bhirawa
Dua hari setelah kemerdekaan RI yang ke-69 tahun, bangsa Indonesia berduka telah kehilangan salah satu pejuang yang ikut mengantarkan Indonesia meraih kemerdekaan. Raden Suhario Padmodiwirio bin Raden Kusnendar Padmodiwirio atau yang kerap disapa Hario Kecik menghembuskan nafas terakhirnya pada Selasa (19/8) di Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi dalam usia 93 tahun.
Rabu (20/8) tepat pukul 09.45, jenazah Hario Kecik yang juga mantan Pangdam IX/Mulawarman tiba di Tugu Pahlawan Surabaya.   Almarhum disemayamkan untuk upacara penghormatan militer. Mengapa disemayamkan di Tugu Pahlawan? Sebab Tugu Pahlawan merupakan saksi bisu heroiknya perjuangan arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecil dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.  Selanjutnya jenazah menuju Taman Makam Pahlawan (TMP) Mayjend Sungkono untuk dikebumikan. Keluarga, saudara, teman dan banyak pejabat ikut mengantarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Hario Kecik meninggal dunia karena sakit di RS Mitra Keluarga Bekasi Selasa (19/8) sekitar pukul 13.45. Dia adalah salah satu pejuang yang turut serta dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan merupakan sosok dibalik pendirian PTKR (Polisi Tentara Keamanan Rakyat).  Pria kelahiran 12 Mei 1921 pun terlibat dalam peperangan mengusir Belanda dan Inggris di daerah Surabaya dan Jatim.
Selain itu, dia juga pernah dipercaya sebagai Komandan Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT) hingga perang kemerdekaan berakhir.   Nino Pradipto, keponakan almarhum mengatakan Hario Kecik selama hidupnya juga aktif dalam dunia sastra. “Almarhum suka menulis,” katanya.
Sahabat Hario Kecik yang bernama Primanto mengungkapkan dia telah bersahabat dengan Hario Kecik selama tiga tahun terakhir. Persahabatan itu terjalin saat Primanto terlibat dalam pembuatan buku memorabilia tentang pejuang yang memiliki pangkat terakhir sebagai Mayor Jenderal. Dan salah satu nara sumbernya adalah Hario Kecik.
” Selama 3 tahun, saya senang sekali menyimak cerita Pak Hario Kecik. Beliau jika menceritakan pengalaman perang melawan Belanda dan Inggris berapi-api dengan logat Surabaya yang sangat kental. Bahkan Presiden RI pertama Soekarno menyebut dia sebagai panglima militernya yang paling kurang ajar dengan gaya khasnya seperti itu. Sehingga antara Soekarno dan Hario Kecik memiliki hubungan yang sangat dekat,” jelasnya saat ditemui di Tugu Pahlawan, Rabu (20/8).
Bagi dia, Hario Kecik merupakan pejuang yang sangat rendah hati, dan sangat menghormati orang lain khususnya yang lebih muda. Masukan kepada generasi muda selalu ia tanamkan melalui tulisan yang dibuatnya. “Pernah beliau menyampaikan jika perjuangannya sekarang adalah dengan tulisan dan berbeda ketika zaman penjajahan dulu yang harus memanggul senjata. Beliau memang memiliki bakat tulis yang luar biasa,” katanya.
Hario Kecil  adalah alumni sekolah Kedokteran Prapatan 10 Jakarta. Karya-karyanya di antaranya  “Tangan-tangan Kotor” yang menceritakan tentang keadaan transmigran di Kalimantan Timur dan diganjar dengan penghargaan internasional. Dia juga dikenal dengan penulis naskah film, pelukis. “Satu lagi yang tak banyak orang tahu, Hario Kecik adalah prajurit cemerlang yang menguasai lebih dari 5 bahasa. Dia menjadi prajurit kesayangan Presiden Soekarno,” ujarnya.
Hario Kecik sendiri tidak hanya berhenti pada perang yang ada di Surabaya, namun daerah perangnya meluas menjadi perang gerilya di daerah Kawi, Malang Selatan dimana saat itu Hario menjadi Komandan CMDT ( Corps Mahasiswa Djawa Timur).
Sejumlah pendidikan militer pun pernah diikutinya. Sejarah mencatat, dia sempat dikirim ke sekolah militer di Fort Benning Amerika dan menjadi lulusan terbaik sekaligus penembak termahir di Fort Benning, Georgia, AS, pada 1956. “Hario juga menjadi satu-satunya perwira militer dari Indonesia yang memiliki pengalaman pendidikan di College Suvorov Moskow pada 1965,” katanya.
Karir militer Hario pun melesat sampai dia berhasil meraih pangkat Mayor Jenderal dengan jabatan terakhir Pangdam IX/Mulawarman di Kalimantan pada 1959-1965. Sayang, kecemerlangan Hario tersebut lenyap begitu saja ketika dia dituduh rezim Soeharto terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu.
Dia  pernah menjadi tahanan politik dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto. Penahanan dilakukan sesaat setelah Hario pulang dari pendidikan di Moskow. Penahanan tanpa ada proses  peradilan terlebih dahulu. “Karena dianggap Pro Soekarno, Pak Hario sempat ditahan oleh Soeharto sebagai tahanan politik tanpa adanya proses pengadilan.  Pak Hario ditahan selama 4 tahun, dan kemudian dibebaskan,” katanya.
Hak-haknya sebagai prajurit pun hilang begitu saja. Termasuk uang pensiun yang mestinya dia dapat. Namun Hario mencoba sabar dan menerima semua garis hidup yang harus dilalui.  “Biarlah, saya tak mau berkubang dengan dendam. Yang pasti ideologi hanya satu, yakni melaksanakan etik Angkatan 45 dan tak pernah mengkhianati Bung Karno selaku simbol republik,” tulis Hario dalam buku memoarnya, Hario Kecik, Otobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit terbitan Yayasan Obor, cetakan I 1995. [wil]

Tags: