Surabaya Tahan Pencairan Bopda SMA/SMK Triwulan IV

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Tunggu Kejelasan Hukum Mencairkan APBD
Pemkot Surabaya, Bhirawa
Proses alih kelola pendidikan menengah SMA/SMK dari kabupaten/kota ke provinsi secara resmi telah dilakukan per 30 September lalu. Namun, kejelasan seputar anggaran hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Khususnya terkait anggaran yang bersumber dari APBD kabupaten/kota.
Ketua Komisi D DPRD Surabaya Agustin Poliana mengatakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah mengatur proses pelimpahan Personel, Sarana Prasarana dan Dokumentasi (P2D) maksimal awal Oktober ini. Namun, terkait pembiayaan baru terjadi pelimpahan wewenang pada 1 Januari 2017 mendatang. Sayangnya, hal tersebut hanya diatur dalam Surat Edaran (SE) Mendagri.
“SE itu kadang menjebak. Kekuatan hukumnya tidak pasti. Karena itu, kita akan melakukan kajian bersama apakah diperbolehkan Pemkot Surabaya mengeluarkan anggaran untuk SMA/SMK pada triwulan IV ini,” tutur Agustin dikonfirmasi, Rabu (5/10).
Selama belum ada payung hukum yang jelas dan kuat, pihaknya meminta Pemkot Surabaya menahan sementara anggaran yang dialokasikan untuk SMA/SMK. Termasuk di antaranya ialah Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (Bopda).
Lebih lanjut Agustin menerangkan, untuk mengetahui kejelasan tersebut DPRD akan melakukan kajian bersama Bapeko Surabaya, Asisten IV, Dinas Pendidikan, Kejaksaan dan aparat hukum lainnya. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir risiko di kemudian hari. Sebab, secara faktual pengelolaan pendidikan menengah sejatinya telah menjadi urusan wajib pemerintah provinsi.
“Situasinya memang sekarang masih stagnan. Tapi kita terus berusaha agar nasib pendidikan menengah ini jelas dan tidak terganggu sambil menunggu hasil dari keputusan MK (Mahkamah Konstitusi),” terang Agustin.
Langkah ini, kata dia, diharapkan bisa segera menemukan kepastian dalam waktu dekat. Sebab tidak hanya Bopda, nasib Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) di sekolah yang selama ini digaji menggunakan APBD Surabaya juga akan dilakukan kajian. “Mudah-mudahan dua hari ini sudah ada keputusan terkait itu,” kata dia.
Kepala Dindik Surabaya Ikhsan menambahkan anggaran yang berasal dari APBD untuk penyelenggaraan pendidikan SMA/SMK tidak hanya Bopda. Melainkan juga gaji GTT-PTT di sekolah, tunjangan kinerja guru PNS dan transpor guru swasta non PNS. Dalam hitungan sederhana, pengeluaran APBD untuk gaji GTT-PTT Surabaya yang mencapai 1.000 orang bisa mencapai Rp 3 miliar per bulan. Otomatis untuk triwulan IV ini membutuhkan sekitar Rp 9 miliar untuk gaji GTT-PTT saja. “Itu jika dihitung per bulannya Rp 3 juta. Padahal kalau melihat ukuran gaji GTT-PTT kita mengikuti UMK bisa lebih dari itu,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman menuturkan kejelasan terkait pelimpahan wewenang telah diatur oleh Kemendagri. Pada masa transisi di triwulan IV ini, Saiful mengaku belum terjadi pelimpahan secara keseluruhan. “Yang dilimpahkan baru P2D. Pembiayaan baru Januari dan itu sudah jelas. Sekarang kita baru mengelola aset dan SDM-nya, belum terkait anggaran,”kata Saiful.
Terkait hal ini, Saiful berharap daerah tidak perlu khawatir terkait aturan yang sebenarnya sudah jelas. Dengan demikian, pembiayaan selama tiga bulan terakhir tetap menggunakan anggaran dari APBD kabupaten/kota. “Baru nanti setelah 1 Januari provinsi yang akan membiayai,” katanya.

Penanganan Sosial Anak
Pelimpahan wewenang pendidikan menengah tidak hanya memberi dampak seputar anggaran. Pakar pendidikan menilai hal yang lebih substansial ialah seputar penanganan sosial terhadap anak. Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi mengatakan, sejak serah terima resmi ditandatangani,  kabupaten/kota tidak lagi berwenang menangani SMA/SMK dan PK. Hal ini cukup merepotkan jika anak didik mengalami permasalahan sosial.
Dia mencontohkan, perilaku bolos sekolah atau bentuk-bentuk kenakalan remaja yang kerap melibatkan aparat penegak hukum di kabupaten/kota. Apakah hal ini tetap menjadi tanggung jawab provinsi sebagai pengelola pendidikan menengah? “Sederhana saja, kalau ada anak tertangkap Satpol PP atau terjerat kasus hukum siapa yang akan mendampingi? Anak putus sekolah yang selama ini ada kerjasama dengan Dinas Sosial, Bapemas dan instansi lain apakah provinsi sudah mempersiapkan hal ini,” terang Martadi.
Dia mengakui, penanganan sosial ini jauh lebih substansial dari hanya seputar anggaran. Sayang, hal ini justru terkesan dilupakan. “Pendidikan bukan cuma soal anggaran. Bagaimana penanganan anak jauh lebih penting,” kata dia.
Terkait hal ini, Martadi berharap agar kabupaten/kota dan provinsi untuk duduk bersama. Utamanya dalam membagi peran bersama. Bagaimana tindakan kabupaten/kota untuk mengatasi kenakalan remaja pada anak SMA/SMK?. “Apa bisa ditindak langsung atau dibiarkan provinsi yang menangkap. Ini harus dibicarakan untuk pembagian peran,” tuturnya.
Saat ini, lanjut Martadi, pengelolaan telah berada di tangan provinsi, maka provinsi harus aktif berkomunikasi dengan kabupaten/kota. Sehingga pengelolaan pendidikan tidak hanya diurusi satu pihak. Menurut dia, komunikasi ini cukup penting. Sebab, kabupaten/kota dan provinsi adalah pelaksana undang-undang dan tidak bisa mengubah undang-undang.
Kepala Dindik Surabaya Ikhsan menjelaskan, penanganan masalah sosial terhadap anak memang dalam posisi dilematis. Selama ini, masalah sosial tersebut ditangani oleh banyak pihak sekaligus. Selain Dindik ada Bapemas dan KB Surabaya, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, bahkan Wali Kota Surabaya sendiri sudah terbiasa terjun langsung ke lapangan ikut terlibat dalam mengatasi masalah ini. “Setelah ini kalau ada siswa SMA/SMK tersandung masalah, kami tidak bisa berbuat banyak. Pengelolaannya sudah beralih ke provinsi,” pungkasnya. [tam]

Tags: