Syaiful Maarif dan Amirul Faqih Amza, Kakak Beradik Lulus Doktor Bersamaan

Syaiful Maarif dan Amirul Faqih Amza, dua kakak beradik yang berhasil menyelesaikan program doktoralnya secara berurutan di FH Unair. [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa.
Seperti pinang dibelah dua. Itulah gambaran yang pas untuk kakak beradik Syaiful Ma’arif dan Amirul Faqih Amza. Keduanya memiliki kemiripan, bukan dari wajahnya. Melainkan pada hobi dan pekerjaan di satu bidang yang serumpun.
Sang kakak menjadi advokat dan adik menjadi hakim. Selasa kemarin (21/2), keduanya yang mengaku hobi kuliah itu juga berhasil menuntaskan jenjang pendidikan tertingginya pada saat yang bersamaan. Syaiful Ma’arif tercatat sebagai doktor ke-317 dan Faqih menjadi doktor ke-316 Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
“Kebetulan saya dan adik punya profesi berbeda, tapi punya hobi kuliah,” kata Syaiful saat ditemui usai ujian di Ruang Boedi Soesetyo, FH Unair. Syaiful mengakui, saking hobinya kuliah itu namanya sempat teregister hingga lima kali di Unair sejak dia menjalani program S1.
Dalam disertasinya, Syaiful mengupas seputar kewenangan Mahkamah Agung dalam upaya hukum kasasi atas putusan bebas perkara pidana. “Judul ini saya pilih karena sesuai pengalaman dalam proses perkara pidana yang pernah saya tangani di pengadilan,” terang Syaiful.
Menurut dia, pasal 244 KUHAP yang menurut UU 881 jaksa tidak memiliki kewenangan mengajukan kasasi, ternyata masih diajukan. “Hasil dari ketidakwenangan inilah yang saya analisa dalam disertasi ini,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, putusan yang dibuat Mahkamah Agung (MA) tidak memiliki dasar hukum. Dasar yang digunakan jaksa untuk mengajukan kasasi itu berdasar Keputusan Menteri Kehakiman.
Padahal, lanjut dia, Keputusan Menteri Kehakiman itu di bawah UU 881. Seharusnya, keputusan Menteri Kehakiman tunduk pada KUHAP. Bukan malah bertentangan dengan KUHAP. “Inilah kemudian yang saya pilih karena terlalu banyak ‘korban’ dari pasal 244 ini,” ungkapnya.
Setelah Syaiful menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi (MK), ternyata terbukti bahwa jaksa menurut ketentuan pasal 244 KUHAP tidak punya kewenangan untuk mengajukan kasasi. Karena jaksa tidak punya kewenangan untuk mengajukan kasasi, jaksa juga tidak punya alasan untuk mengajukan memori kasasi.
“Demikian juga pada MA. MA tidak memiliki dasar untuk memutus, apalagi putusannya mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU),” terangnya.
Hanya saja, keputusan MK justru memperuncing persoalan penegakan hukum di Indonesia. “Kenapa saya berbicara begitu? Ada konflik norma di MA, UU MA, antara pasal 30 yang bertentangan dengan pasal 52 ayat 1 dan pasal 52 yang tidak terselesaikan,” kata Syaiful.
Untuk itu dia berharap pasal 244 dengan fase bebas agar dimunculkan kembali. Bagaimana caranya? Menurutnya, dimasukan konsep RUU KUHAP. Apalagi saat ini RUU KUHAP masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
“Itu juga sudah diusulkan, pasal 244 tetap harus ada dengan fase bebas. Tujuannya untuk melindungi hak asasi manusia. Jaksa yang tidak punya hak kasasi tidak boleh kasasi lagi, dan terdakwa yang seharusnya bebas harus bebas,” tandasnya.
Sementara itu, Amirul Faqih Amzah yang berprofesi sebagi hakim di pengadilan negeri (PN) Takalar, Sulawesi Selatan menambahkan, semula tidak ada rencana untuk lulus program doktor secara bersamaan. Tapi, karena tahapan-tahapan yang dilalui hampir bersamaan, dan orang tua berkeinginan melihat anaknya lulus bersamaan, maka koordinasi terus dilakukan. “Apalagi sudah memasuki tahun-tahun studi terakhir,” tuturnya.
Rencana untuk lulus bersama ini sempat menemui kendala. Bila tidak ditemukan solusinya, lulus bersama sulit terealisasi. “Saat-saat terakhir, ada berbagai perbaikan-perbaikan. Dan kami hampir tidak lulus bersamaan,” pungkas pria asli Pamekasan ini. [tam]

Tags: