Teror dan Kekuatan Media Sosial

Najamuddin KhairurrijalOleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Teror Thamrin atau Teror Sarinah, begitu media banyak menyebut, yang terjadi pada 14 Januari 2016 lalu menarik perhatian kita semua. Teror tersebut tidak hanya menyisakan duka tetapi juga suka, tidak hanya menciptakan ketakutan tetapi juga keberanian. Hastag #IndonesiaBerani atau #KamiTidakTakut di jagat maya menjadi cerita tersendiri. Aneka gambar dan kata lucu tercipta, mulai dari polisi ganteng hingga tukang sate, mulai pakaian trendy polisi hingga berfoto selfie menjadi catatan tersendiri.
Alhasil, aksi terorisme yang sejatinya bertujuan untuk menciptakan teror dan efek psikologis nyaris tertutup oleh cerita-cerita yang sangat kontras dari tujuan teror itu sendiri. Hal ini berbeda dari peristiwa-peristiwa teror yang beberapa waktu lalu marak terjadi di tanah air dan di negara lain. Kita lalu menyebut bahwa aksi teroris tersebut gagal, karena #KamiTidakTakut. Alih-alih menciptakan ketakutan, yang ada malah lokasi meledaknya bom dan jatuhnya korban jiwa sesaat kemudian menjadi “wisata” yang diserbu pasukan selfie.
Satu hal yang patut dicatat dari fakta di atas adalah adanya kekuatan jaringan internet dan media sosial. Perkembangan globalisasi yang melahirkan internet dengan aneka fiturnya rupanya memiliki kekuatan untuk mengubah tragedi teror tersebut menjadi cerita menarik yang jauh dari kesan rasa takut. Kekuatan internet lewat media sosial menjadikan kita sebagai click activism.
Click activism dapat dimaknai sebagai “aktivis” yang diam-diam terlibat dan menjadi bagian dari sebuah gerakan melawan terorisme dengan cara sederhana tanpa harus terlibat fisik secara langsung, melainkan hanya dengan “click”. Click dimaksudkan dengan menekan tombol-tombol untuk berbagi informasi, berkomentar, atau sekadar memberi jempol (Like) dan segala macamnya di jagat dunia maya sehingga mampu menjangkau dan menjadi perhatian banyak orang. Salah satu contohnya adalah postingan status di Facebook. Betapa media sosial yang lahir dari perkembangan internet punya kekuatan dahsyat untuk menyatukan kita dalam satu pandangan dan perasaan simpati dan empati yang sama.
Namun demikian, berjalin berkelindan dengan itu, di sisi lain kekuatan internet dan media sosial itu juga dapat digunakan untuk hal-hal dan tindakan destruktif. Aksi teroris masa kini adalah salah contoh konkrit. Satu hal yang menarik dari Teror Thamrin adalah tentang bagaimana aksi itu dikontrol melalui kekuatan internet dan media sosial. Jamak diberitakan bahwa otak dari peledakan bom di kawasan Sarinah Thamrin adalah Bachrun Naim, seorang buron teroris. Meski tercatat posisi Bachrun Naim berada di Suriah, namun ia disebut-sebut menjadi otak aksi teroris yang terjadi Jakarta. Ia menjalin komunikasi dengan para eksekutor yang tewas dalam ledakan bom dan baku tembak dengan aparat melalui media sosial, salah satunya Whatsapp.
Sampai di sini, kita kemudian dapat berkesimpulan bahwa teknologi informasi berbasis internet dan media sosial selalu punya dua wajah (two faces), punya dua sisi paradoksal. Satu sisi memberikan sesuatu yang positif (happy face), namun di lain sisi sekaligus memfasilitasi kelompok-kelompok ekstremis dan radikalis untuk menunjukkan eksistensinya, melakukan propaganda, menyebarkan ideologinya, dan juga dimanfaatkan oleh para teroris untuk berkomunikasi dalam melancarkan rencana aksinya.
Tidak sampai di situ, penyebaran paham-paham radikal yang didasarkan pada doktrin agama dan argumen kitab suci yang dilakukan oleh para ekstremis atau kelompok terorisme agama tidak terlepas dari peran penting internet dan media sosial. Hal itu dapat ditemukan, misalnya, pada propaganda-propaganda jihad ala Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang disebut-sebut menjadi dalang di balik peristiwa 14 Januari tersebut. Hasilnya, ISIS melalui propagandanya dapat mempengaruhi banyak orang di berbagai negara untuk bergabung mendukung ideologi dan tujuan perjuangannya atas nama narasi “jihad”.
Kata Bungin (2006), hal di atas diistilahkan dengan theater of mind, bahwa sistem teknologi informasi dapat menguasai jalan pikiran masyarakat yang secara tidak sengaja akan mempengaruhi tindakan seseorang, tindakan seseorang untuk menjadi bagian dari teroris salah satu contohnya. Selain itu, menurut Chandler dan Gunaratna (2007), perangkat-perangkat komunikasi modern telah menjadi komponen yang sangat diperlukan dan sangat penting bagi kelompok teroris. Bahkan sekalipun kelompok teroris itu memiliki ideologi puritan, mereka tetap menggunakan instrumen-instrumen modern dari fitur-fitur internet untuk mengembangkan dan mencapai misinya. Hal itu karena “communication is the heart of terrorism.”
Kenyataan tentang perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih seiring kehadiran jaringan internet dengan berbagai fiturnya, secara nyata telah mengubah lanskap terorisme. Teroris dan terorisme tidak lagi semata-mata dapat dipandang sebagai ancaman fisik, tetapi juga ancaman ideologis yang sifatnya tidak kasat mata. Oleh karena itu, upaya counter-terrorism perlu direspons secara komprehensif dengan mengintegrasikan berbagai pendekatan. Menghadapi dan mencegah perkembangan jaringan tidak lagi semata-mata bisa dilakukan melalui kekuatan aparat keamanan (hard power), tetapi juga melalui upaya-upaya persuasif.
Dalam konteks Indonesia, karena lanskap terorisme telah berubah, yang lebih penting adalah upaya preventif. Menghadapi terorisme dengan pengerahan kekuatan senjata (security approach) hanya akan menciptakan lingkaran kekerasan, sementara benih dan jaringan terorisme terus tumbuh berkembang. Karena sifatnya ancaman ideologis, maka pemahaman masyarakat menjadi penting agar tidak keliru dan terjebak pada dogma otoritas kitab suci yang sering kali disempitkan dan disalahmaknai oleh kelompok ekstremis dan teroris.
Menutup situs-situs yang bermuatan radikal dan berisi ujaran kebencian tidaklah cukup. Pasalnya, media sosial punya kekuatan sendiri yang lebih bersifat dialogis dibandingkan situs. Apalagi akses terhadap jaringan internet dan fitur-fiturnya tidak dapat dihentikan karena kita sudah “kecanduan virus-virus” internet.
Salah satu solusinya adalah berbagai stakeholders perlu berjalan sinergis untuk memberikan bekal pemahaman secara persuasi kepada masyarakat melalui pendidikan formal dan informal tentang ajaran-ajaran agama, Pancasila, kebhinnekaan, dan sebagainya. Hasilnya mungkin tidak instan, tetapi efeknya jangka panjang yang diharapkan dapat memutus perkembangan jaringan terorisme jika masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh propaganda-propaganda dengan labelisasi narasi agama yang dangkal dan sempit. Semoga.

                                                                                                             ———– *** ———–

Rate this article!
Tags: