Tiga Guru Besar Beri Masukan Seputar Revolusi Ekonomi Global

Prof Badri Munir Sukoco dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair memberi ulasan seputar revolusi ekonomi global di era kekinian.

Indonesia Butuh Lebih Banyak Start Up
Unair, Bhirawa
Revolusi industri tahap empat sudah menjalar ke Indonesia. Revolusi ini menghubungkan berbagai hal melalui sistem internet dan membentuk dunia digital. Dibutuhkan cara menghadapi revolusi ekonomi global dari berbagai sudut pandang.
Dalam gelar inovasi guru besar yang diselenggarakan Universitas Airlangga (Unair), Kamis (2/11), tiga profesor dari disiplin ilmu berbeda dihadirkan untuk membincang seputar “Formula Menghadapi Revolusi Ekonomi Global di Era Kekinian”.
Tiga guru besar itu adalah Prof. Bagong Suyanto (FISIP), Prof. Suyanto (Fakultas Psikologi), dan Prof. Badri Munir Sukoco (FEB). Acara dimoderatori Ketua Pusat Informasi dan Humas (PIH) Unair Dr Suko Widodo.
Menurut Prof Badri, pemerintah perlu membina start up sebanyak-banyaknya untuk menghadapi revolusi ekonomi global. Dan pemerintah harus memahami bahwa membangun start up itu tidak bisa semalam. “Kayak Israel itu membangun mulai tahun 1985,” katanya.
Dia mengungkapkan, posisi ekonomi kreatif Indonesia saat ini baru 7,9 persen. Dari angka itu, start up jumlahnya minim. “Start up baru di angka nol koma nol sekian persen,” jelasnya. Idealnya, tahun 2030 mendatang jumlah ekonomi kreatif mencapai angka 20 persen dengan start up di angka 1-2 persen.
Dalam membina start up, lanjut Badri, pemerintah perlu memiliki semangat nilai toleransi. Artinya, tidak dengan memberi uang kemudian start up jadi. Misalkan, pemerintah membina 100 start up. Kemudian yang gagal mencapai angka 80 persen.
“Angka itu di tahun pertama pembinaan start up harus dianggap wajar,” tuturnya. Pemerintah harus menyadari itu. Jangan sampai malah menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Bisa repot itu,” imbuhnya.
Sementara Prof. Bagong mempunyai pendapat berbeda. Revolusi dunia keempat belum bisa dirasakan semua masyarakat. Masih ada kesenjangan digital yang lebar antara masyarakat mampu dengan yang miskin. “Makanya, untuk melawan globalisasi itu muncul istilah glokalisasi, mengangkat kearifan lokal ke kancah global,” jelasnya.
Menurut dia, orang miskin yang belum paham digital jangan dipaksa paham. Mereka juga jangan dibesarkan ke atas, melainkan ke samping. Artinya, ukuran kesejahteraan rakyat miskin itu sederhana. “Jangan sampai malah membuat orang miskin masuk pusaran kemajuan,” ungkapnya.
Prof. Suryanto menambahkan, untuk menapaki globalisasi, modal sosial sangat dibutuhkan. “Karena bagaimanapun yang terjadi dalam dunia ekonomi politik dan konspirasi, modal sosial butuh kerja sama, saling percaya, dan organisasi saling melindunggi,” terangnya.
Suko Widodo mengatakan, Gelar Inovasi Guru Besar merupakan gebrakan Unair untuk menggelorakan pemikiran guru besar yang dimiliki. Dengan menggelar acara tersebut, dia berharap pemikiran-pemikiran yang dimiliki guru besar Unair mampu memecahkan berbagai persoalan. Utamanya, permasalahan yang terkait dengan isu-isu terkini. “Ini upaya kami untuk menghadirkan pemikiran guru besar sebagai salah satu solusi permasalahan yang ada di masyarakat,” tandasnya. [tam]

Tags: