Tiga Tahun Berturut-turut, Kasus Pernikahan Anak di Jatim Turun

Andriyanto.

Surabaya, Bhirawa
Prestasi membanggakan diraih Jatim dalam bidang penurunan jumlah pernikahan dini. Sejak 2017 hingga 2019, kasus pernikahan dini turun signifikan. Meski begitu, Pemprov Jatim melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jatim akan berusaha terus menekannya, karena jumlah pernikahan dini tersebut masih di atas rata-rata nasional.

Kepala DP3AK Provinsi Jatim, Andriyanto menuturkan, kasus pernikahan dini di Jatim relatif rendah tidak menduduki 10 besar di Indonesia. Yakni berada di angka 11,11 persen. Sedangkan rata-rata nasional berada di angka 10,82 persen.

Secara nasional, provinsi paling banyak kasus pernikahan dini ada di Kalimantan Selatan dengan jumlah 21,2 persen, Kalimantan Tengah 20,2 persen, Sulawesi Barat 19,2 persen, Kalimantan Barat 17,9 persen dan Sulawesi Tenggara 16,6 persen. Kemudian Sulawesi Tengah 16,3 persen, NTB 16,1 persen, Bangka Belitung 15,5 persen, Jambi 14,8 persen dan Maluku Utara 14,4 persen.

Sejak 2017, jelas Andriyanto, jumlah kasus pernikahan dini atau pernikahan anak mencapai 13,32 persen. Lalu pada 2018 sebanyak 12,71 persen dan 2019 sebanyak 11,11 persen. Karena tiap tahun terus mengalami penurunan, Pemprov Jatim mendapat apresiasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

“Tren positif penurunan pernikahan anak ini mendapat apresiasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sebab di provinsi lain ada kenaikan. Seperti di Aceh, jumlah pernikahan anaknya naik dari 5 persen menjadi 6 persen. Kami tahun depan menargetkan jumlah pernikahan anak di Jatim turun di bawah rata-rata nasional,” kata Andriyanto, dikonfirmasi, Kamis (27/8).

Menurut dia, kasus pernikahan anak ini akan menjadi sorotan nasional karena memiliki dampak yang luar biasa. Setidaknya ada empat aspek dampak negatif dari pernikahan anak. Pertama; aspek kesehatan, yakni dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi hingga stunting. Kedua; aspek pendidikan dampaknya akan terjadi putus sekolah dan akibatnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia) tidak bagus.

Ketiga; aspek ekonomi dampaknya adalah anak yang nikah dini tersebut akan langsung bekerja dengan upah yang rendah. Jika demikian, dampaknya akan menambah jumlah kemiskinan. Keempat; aspek sosial yakni memunculkan kasus kekerasan dalam rumah tangga, karena emosi anak-anak masih belum stabil.

“Di Jatim bisa terjadi penurunan kasus pernikahan anak karena melakukan intervensi secara spesifik. Begitu pula pendekatan yang dilakukan berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Contohnya pendekatan di Madura berbeda dengan daerah lain. Di Jatim, daerah yang paling banyak ditemui kasus pernikahan dini di wilayah Madura,” ungkap Andriyanto.

Selain itu, lanjutnya, DP3AK Jatim juga melakukan kerjasama dengan NGO (Non-Governmental Organization) yang didanai dari USAID untuk membuat dashboard, yang isinya sosialisasi dampak pernikahan anak. Dengan begitu, masyarakat bisa mengetahui dampak negatif pernikahan anak.

“Kita juga akan melakukan pakta integritas dengan kepala daerah yang diwakili PKK dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, KB kabupaten/kota. Ibu Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa berharap, penandatanganan pakta integritas ini memberikan semangat kepada daerah untuk menurunkan kasus pernikahan dini. Seharusnya pakta integritas ini sudah dilakukan. Tapi karena pandemi Covid-19, akhirnya tertunda,” jelasnya. [iib]

Tags: