Tuduhan Palsu

foto ilustrasi

Oleh :
Heru Patria

Jam 4 pagi.
Tarmijah sudah sibuk di dapur guna mempersiapkan makan pagi bagi keluarga majikannya yang saat itu masih terlelap di balik selimut tebal. Sambil menunggu matangnya nasi, Tarmijah tidak tinggal diam. Tangannya sibuk memasak sayur dan menggoreng lauk. Sekali-kali ia mencicipi masakannya, takut jika kurang garam atau malah kelebihan yang bisa membuat majikannya naik pitam.
Jujur sebenarnya Tarmijah kurang betah bekerja di keluarga ini. Karena Nyonya rumah yang bernama Nelly cerewetnya setengah mati. Tarmijah salah sedikit saja, memarahinya bisa lebih dari dua jam. Tapi mau bagaimana lagi? Tarmijah terdesak oleh kebutuhan. Suaminya yang hanya seorang guru honorer, honornya tak cukup buat menutupi kebutuhan. Apalagi sekarang anaknya sudah mulai masuk SMP. Jadi betah tidak betah, Tarmijah mencoba tetap bertahan.
Selesai masak dan mempersiapkan makan pagi, Tarmijah menyapu lantai dan lantas mengepelnya pula. Ketika keluarga majikannya sarapan, Tarmijah masih harus menyeterika baju seragam anak majikannya. Anak majikannya ada dua. Yang satu kelas 6 SD dan yang satu kelas 2 SMA.
Tepat jam 06.45, semua keluarga itu berangkat ke tempat tugas masing-masing. Kini Tarmijah tinggal sendirian. Namun bukan berarti ia bisa istirahat. Setumpuk piring bekas makan pagi dan seember baju kotor sudah menanti untuk dicuci. Sedang perutnya sama sekali belum terisi.
Ketika jam di dinding berdentang 9 kali, Tarmijah baru saja selesai menjemur cucian. Saat itulah ia baru berniat untuk sarapan. Ia pun segera ke dapur. Mengambil nasi, sayur, dan lauk seperlunya saja. Yang penting bisa menambah tenaganya.
Namun ketika Tarmijah baru menelan sesendok nasi, tiba-tiba panggilan Nyonya Nelly sudah terdengar keras.
“Tarmijaaah!!”
Pembantu itu buru-buru meletakkan piringnya dan langsung berjalan tergopoh-gopoh menemui majikannya.
“Iya, saya Nyonya. Kok tumben jam segini Nyonya sudah pulang? Ada apa Nyonya?”
“Iya, ada sesuatu yang ketinggalan. Kamu tadi menyapu kamar saya, kan?” balik tanya majikannya tanpa melihat sang pembantu.
“Iya, Nyonya.”
“Nah, kau pasti tahu di mana cincinku berada? Tadi aku letakkan di meja rias.”
“Tapi Nyonya, saya benar-benar tidak tahu cincin itu.”
“Jangan bohong! Atau kau sengaja mencurinya, ya?” tuduh sang majikan pula.
“Ya Alloh, Nyonya. Saya memang miskin, tapi pantang bagi saya mengambil barang yang bukan hak saya.”
“Allaa … ngaku saja! Di rumah ini yang ada kan cuma kamu. Jadi kau mengaku saja lah, kau sembunyikan di mana cincin itu?” Sambil berkata begitu Nyonya Nelly mendorong tubuh Tarmijah ke dinding. Lalu dengan kasar tangannya menggeledah seluruh tubuh Tarmijah yang kini menangis sesenggukan.
Karena tak menemukan cincin yang dicari, Nyonya Nelly semakin naik pitam.
“Dasar pembantu tak tahu diuntung! Cepat katakan, dmana cincin itu kau sembunyikan? Kalau tidak, aku laporkan ke polisi kamu!!”
“Ampun Nyonya … saya benar-benar tidak mengambilnya. Saya benar-benar tidak tahu. Ampun Nyonya, jangan bawa saya ke polisi. Ampuun.”
“Akh!!!”
Nyonya Nelly menepis tangan Tarmijah yang hendak memeluk kakinya dengan kasar dan keras. Tarmijah terhempas ke lantai. Tapi Nyonya Nelly tak peduli. Ia melangkah ke kamar Tarmijah yang ada di sisi kanan dapur. Diacak-acaknya semua barang milik Tarmijah hingga berserakan ke lantai. Bahkan ada yang hampir masuk tempat sampah.
Tarmijah hanya bisa menangis pilu. Sampai akhirnya datanglah dua orang polisi yang telah ditelepon Nyonya Nelly. Tarmijah ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi.

**

Di kantor polisi, Tarmijah tetap menyangkal semua yang dituduhkan sang majikan. Tapi Nyonya Nelly tetap ngotot dengan tuduhannya.
“Pak Polisi, jebloskan saja pembantu sialan ini ke dalam penjara. Biar kapok. Lagi pula mana ada maling yang mau mengaku??”
“Tenang Nyonya, kita harus ikuti prosedur hukum. Polisi tidak mau memenjarakan seseorang dengan tuduhan yang belum ada bukti dan saksinya.”
“Mau bukti apa lagi Pak Polisi? Sudah jelas hanya dia yang ada di rumah, mau siapa lagi yang mencuri kalau bukan dia.”
“Jadi cuma Nyonya dan Bu Tarmijah ini yang tinggal di rumah?”
“Tidak, Pak Polisi. Masih ada suami dan dua anak saya.”
“Baiklah, untuk sementara Nyonya boleh pulang, tapi sewaktu-waktu akan kami panggil lagi untuk dimintai keterangan.”
Tanpa menyahut Nyonya Nelly pergi, meninggalkan kantor polisi.

**

Dua hari kemudian. Siang itu Tuan Hendra suami Nyonya Nelly, baru saja keluar dari sebuah restoran mewah tempat ia meeting bersama klien bisnisnya. Begitu masuk mobil, tiba-tiba HP-nya berbunyi. Ternyata bapak Kepala Sekolah SMA Harapan yang meneleponnya. Meminta agar Tuan Hendra saat itu juga datang ke sekolah. Karena Alya putrinya sedang terkena suatu masalah.
Tuan Hendra pun segera meluncur ke SMA Harapan. Di sana ia buru-buru menuju ke ruang Kepala Sekolah. Begitu ia masuk, Bapak Kepala Sekolah sudah menunggu. Alya juga ada di situ. Juga dua orang polisi yang entah sedang apa.
“Selamat siang, Pak. Apa yang terjadi dengan Alya putri saya?” tanya Tuan Hendra tampak cemas.
“Duduklah dulu, Tuan Hendra. Biar Pak Polisi saja yang menjelaskan semuanya.”
Polisi yang ditunjuk oleh Kepala Sekolah menganggukkan kepala dan kemudian langsung menjawab.
“Begini Tuan Hendra … ketika anak-anak sekolah ini sedang melaksanakan upacara kami sengaja datang ke sekolah untuk melakukan razia pada tas anak-anak. Karena kami sinyalir bahwa di sekolah ini ada peredaran narkoba.”
“Lalu apa hubungannya dengan Alya?”
“Hubungannya jelas, Tuan. Dari tas Alya, kami temukan 10 butir pil haram dan sejumlah uang yang kami duga dari hasil transaksi obat-obatan terlarang itu, Tuan ….”
“Tidak mungkin, Pak Polisi. Ini pasti salah. Lagi pula dari mana Alya punya uang sebanyak itu?”
“Soal itu, silakan Tuan tanya sendiri pada Alya.”
Tuan Hendra menghampiri anaknya yang duduk menunduk dengan wajah pucat pasi. Belum sempat Tuan Hendra bertanya, Alya sudah bersimpuh seraya merangkul kedua kaki papanya dengan tangis membuncah.
“Maafkan Alya, Pa. Maafkan Alya. Alya selama ini sudah salah pergaulan. Alya terjebak hingga jadi pemakai narkoba.”
“Jadi … semua ini benar, Alya?”
Ditanya begitu, tangis Alya semakin menjadi-jadi.
“Lalu dari mana kau dapatkan uang-uang itu?”
“Maafkan Alya … Pa! Alya terpaksa mengambil dan menjual cincin mama, karena Alya terjerat hutang pada pengedar, Pa …,” kata Alya masih dalam isak tangisnya.
Tuan Hendra langsung lemas. Tak menyangka bahwa ia dan istrinya yang selama ini sibuk bekerja, justru melupakan perhatian untuk anaknya, hingga terjadi hal yang serumit ini.

**

Braakk!
Tuan Hendra meradang. Tangannya yang mengepal menggebrak meja dengan cukup keras. Wajah lelaki perlente itu merah padam akibat menahan amarah yang menghujam. Terlebih saat matanya menatap sosok istrinya yang sedang duduk sembari menangis sesenggukan.
“Ma, dari awal aku sudah bilang kalau aku gak percaya pada apa yang Mama tuduhkan ke Mbok Tarmijah, tapi Mama tetap saja ngoto membawa Mbok Tarmijah ke kantor polisi. Harusnya Mama itu mikir dulu kalau Mbok Tarmijah itu gak mungkin berbuat sehina itu. Dia sudah cukup lama bekerja pada kita, Ma. Dan selama itu tidak pernah sekali pun bertindak serendah itu. Sekarang sudah ketahuan kalau yang nyuri cincin Mama itu adalah Alya, anak kita sendiri. Mau ditaruh di mana muka kita di depan Mbok Tarmijah, Ma!” Tuan Hendra memuntahkan kekesalan hatinya dengan suara berat.
“Habisnya itu kan cincin mahal, Pa. Ya wajar dong kalau aku emosi ketika cincin itu hilang,” bantah istrinya sambil mengusap air mata.
“Emosi ya emosi, tapi bisa kan dibicarakan baik-baik. Tak perlu pakai mecat dan lapor polisi segala. Kalau sudah begini, kita juga kan yang repot.”
“Bodo amat! Cari pembantu baru kan gampang!” Nyonya Nelly belum juga mau disalahkan.
“Sadarlah, Ma! Sadar! Sekarang lagi masa pandemi, mencari pembantu tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi mencari yang jujur dan rajin seperti Mbok Tarmijah.”
Kali ini Nyonya Nelly terdiam. Mau tak mau ia harus mengakui kebenaran kata-kata suaminya. Pembantunya yang dulu-dulu juga sering berbuat ulah. Bertindak sembrono bahkan pernah ada yang berani bersikap genit dan menggoda suaminya. Makanya tak pernah ada seorang pembantu yang betah bekerja di rumahnya. Selalu saja ada perkara yang tercipta.
Ketenangan dalam keluarganya baru tercipta setelah datangnya Mbok Tarmijah. Perempuan setengah baya yang selalu berpenampilan sederhana dan tak banyak tingkah.
Menyadari hal itu, sungguh ia teramat menyesal atas sikapnya yang semena-mena. Namun mau bagaimana lagi, ibarat nasi telah menjadi bubur. Ia sendiri yang telah menciptakan jurang perseteruan akibat gelap mata.
Terlebih jika ia mengingat perubahan sikap Alya yang sejak pulang dari kantor polisi seminggu yang lalu jadi seluru murung. Mengurung diri di dalam kamar tanpa mau bertemu dengan siapa-siapa. Di suruh makan atau minum, susahnya juga minta ampun. Setiap saat yang disebut dan ia panggil hanya satu nama, Mbok Tarmijah.
“Aku gak mau tahu, pokoknya Mama harus secepatnya meminta maaf pada Mbok Tarmijah. Papa gak tahu lagi bagaimana nasip Alya seandainya Mbok Tarmijah terlanjur sakit hati dan tak mau lagi kembali bekerja di sini.”
“Yaa, maafkan aku, Pa.”
“Maaf saja tidak cukup. Sore ini juga aku akan antar Mama ke rumah Mbok Tarmijah.”
“Tapi Pa ….”
“Tidak ada tapi-tapian. Aku tidak mau tahu, demi Alya, Mama harus bisa membujuk Mbok Tarmijah supaya mau bekerja kembali. Bagaimanapun caranya.”
Nyonya Nelly mengangguk pasrah.

**

Tarmijah sedang duduk di bangku bambu depan rumah kecilnya ketika Tuan Hendra dan Nyonya Nelly keluar dari mobil dan menghampirinya. Sebab sejak perseteruan dengan majikannya soal cincin itu, Tarmijah memutuskan berhenti kerja. Ia terlanjur sakit hati, meski tuduhan itu tak terbukti. Ia tak rela harga dirinya terinjak-injak.
“Mbok Tarmijah … atas nama keluarga saya minta maaf. Terutama atas apa yang telah di lakukan oleh istri saya. Sebab ternyata, cincin itu yang mengambil dan menjual adalah Alya. Sekarang ia berurusan dengan polisi karena masalah narkoba. Istri saya sekarang sedih banget. Jadi saya mohon Mbok Tarmijah mau kembali kerja di rumah saya.” Tuan Hendra berkata dengan hati tulusnya.
“Iya Mbok, sungguh saya minta maaf. Sekarang saya mohon Mbok Tarmijah kembali ke rumah saya. Karena Alya hanya dekat dengan Mbok Tarmijah. Jadi saya mohon, Mbok mau bantu saya. Saya janji hal seperti kemarin tak akan terulang lagi. Kalau perlu gaji Mbok Tarmijah akan saya naikkan dua kali lipat …. Tolonglah Mbok, demi Alya …,” sambung Nyonya Nelly memelas.
Dan Tarmijah yang terlanjur sakit hati, tak tergiur lagi oleh janji-janji manis Nyonya Nelly. Rasanya cukup sekali itu ia berurusan dengan polisi. Ia tak mau harga dirinya terinjak- injak lagi. Makanya dengan tegas Tarmijah menolak..
“Tidak! Saya tidak bisa!” ujar Tarmijah langsung masuk rumah. Seolah tak mau lagi melihat Nyonya Nelly yang telah menggoreskan luka di hatinya.
Tarmijah bertekad, lebih baik ia jadi pembantu di luar negeri saja. Karena di negeri ini yang namanya majikan selalu bertindak sewenang-wenang. Padahal mereka sama-sama orang Indonesia yang mengerti Pancasila. Sehingga harusnya tercipta satu sinergi di mana antara majikan dan pembantu harus saling mengerti dan memahami, bahwa mereka saling membutuhkan. Bukan saling menjatuhkan!
Karena pembantu juga manusia!

Tentang Penulis :
Heru Patria
Nama pena dari Heru Waluyo seorang guru SD yang telah menerbitkan 28 novel, 2 buku puisi, dan 14 buku kumpulan cerpen. Novel terbarunya berjudul Antara Kau, Aku, dan Bekas Pacarmu. Ia juga jadi mentor cerpen dan novel di FLP Blitar. Ia tinggal di Kec. Talun Kab. Blitar.

——— *** ———–

Rate this article!
Tuduhan Palsu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: