Uji Materi “Kesaktian” DPR

Yunus-SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik
UUD memberikan mandat kepada DPR untuk membuat rancangan undang-undang. Tetapi mandat itu ternyata, tidak dapat dilakukan semau gue, dengan merancang klausul yang bertentangan dengan UUD. Apalagi hanya untuk memulihkan citra ke-DPR-an yang terus merosot. Terbukti, klausul yang “melebihkan” status hukum anggota DPR dibanding masyarakat lain, segera akan di-judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi).
UUD pasal 21 ayat (1) secara tekstual mengamanatkan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.” Amanat ini digunakan oleh DPR-RI periode 2009-2014 untuk merevisi UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (atau disebut UU MD3). Beberapa pasalnya berubah, diantaranya tentang formasi kepemimpinan di DPR serta “kelebihan” status hukum anggota DPR. Yakni dengan adanya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang fungsinya mirip (dulu) Badan Kehormatan DPR.
Klausul aturan “kelebihan” DPRD dalam hal status hukum, tertulis dalam UU MD3 tahun 2014 pada BAB III, Bagian Keenam belas. Aturan yang kontroversial itu terdapat pada pasal 245 ayat (1). Secara tekstual dinyatakan: “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”
Satu ayat itu dianggap sebagai langkah mundur dalam hal HAM (Hak Asasi Manusia), serta penghalang dalam upaya pemberantasan korupsi. Bagian tentang penyidikan anggota DPR dengan izin MKD itu dibatasi sampai 30 hari (pasal 245 ayat ke-2). Melebih batas itu penegak hukum boleh melaksanakan tugas tanpa izin. Tetapi rentang waktu 30 hari dikhawatirkan bisa digunakan untuk menghilangkan barang bukti, atau melarikan diri.
Timbangan sebagai langkah mundur terhadap peraturan tersebut terutama terhadap UUD 1945 pasal 27 ayat (1). Yakni prinsip Yang menjadi timbangan MK, adalah UUD pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Itulah prinsip equality before the law, perlakuan yang sama di depan hukum untuk seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali anggota DPR. Pasal 245 dalam UU MD3 2014 sebenarnya merupakan metamorfose klausul serupa dalam UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU Parlemen (yang lama) itu, pada pasal 220 ayat (1) menyatakan, “Pemanggilan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.”
Kemunduran Regulasi
Bedanya, hanya pada persetujuan tertulis dari presiden (UU lama), dengan UU baru menggunakan institusi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pada masa lalu persetujuan tertulis dari presiden menjadi “permainan.” Setiap anggota DPR yang terkena kasus pidana menjaga dirinya dengan cara mencegat surat  permohonan, mulai dari penegak hukum sampai di Setneg.
Diperkirakan, lebih dari seratus permohonan izin presiden untuk memulai penyidikan maupun penyelidikan dugaan kasus korupsi. Bahkan jika pintar, tersangka koruptor bisa memboikot izin tersebut sebelum dibaca presiden. Jadi, izin presiden takkan pernah muncul. Sebab, Kepolisian tak mungkin “mengawal” permintaan izin itu setiap saat. Dus, sangat berpotensi untuk menilep kasus-kasus korupsi, sampai lenyap.
Sekilas, permintaan izin presiden seolah-olah menjadi keharusan. Tetapi sebenarnya, klausul “kelebihan” status hukum itu sudah tidak berlaku secara analogis. Yakni, ketika MK (Mahkamah Konstitusi) mengabulkan permohonan ICW (dan beberapa perorangan lain) terhadap UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Kepala Daerah. Pasal 36 ayat 1 UU 12 tahun 2008 menyatakan, “Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadapa kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik.”
Namun ternyata, pasal ini tergolong zalim, menyimpang dari UUD 1945 pasal 27 ayat (1). Dalam bahasa hakim MK, persetujuan tertulis presiden tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup. Sehingga tidak mengikat, tidak berlaku. Analogisnya, persetujuan tertulis dari presiden maupun Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) juga tidak diperlukan. Klausulnya harus dihapus. Sehingga manakala dilakukan uji materi ke MK, pasti akan dikabulkan, dan klausul tersebut pasti dihapus.
UU MD3 yang baru berisi  428 pasal. Selain kontroversi pada “kesaktian” dewan, juga dianggap tidak konsisten dalam hal penentuan pimpinan dewan. Bahkan dianggap menjegal parpol pemenang pemilu, agar tidak dapat lagi menduduki kursi jabatan pimpinan dewan. Alat kelengkapan (termasuk pimpinan dewan) diatur pada pasal 83. Selain pimpinan DPR juga terdiri dari Banleg, Banggar, Bamus, BKSAP, BURT, MKD, Pansus, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan.
Secara khusus pada pasal 84 diatur tentang tatacara pemilihan pimpinan dewan. Itulah yang dituding sebagai akal-akalan untuk menghadang parpol pemenang pemilu agar tidak otomatis menjadi Ketua DPR. Sehingga PDIP (bersama mitra koalisinya, PKB dan Hanura) memilih walk-out. Tetapi rapat pengesahan UU MD3 tahun 2014 dinyatakan kuorum. Maka Rancangan UU MD3 bisa disahkan, walau tanpa tiga fraksi (139 kursi). Pada posisi lain terdapat koalisi besar terdiri Gerindra, Golkar, PD, PKS, PAN, dan PPP meliputi 395 kursi.
Gertakan Parlemen
Jika koalisi PDIP gagal menjadi pimpinan di DPR, maka jabatan Ketua dan empat Wakil Ketua akan menjadi milik koalisi merah-putih. Ketua DPR akan diduduki kader Golkar. Sedangkan 4 Wakil Ketua berturut diduduki oleh kader Gerindra, PD, PKS dan PAN. Pada UU MD3 yang baru (tahun 2014), tatacara memilih pimpinan DPR diatur pada pasal 84, berisi 5 ayat.
Yang dianggap “menghadang” parpol pemenang pileg 2014, adalah pasal 84 ayat (2). Secara tekstual UU tersebut dibuat berbunyi “Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.” Terdapat frasa yang berbunyi “satu paket yang bersifat tetap.”  Satu paket pastilah berkonsekuensi logis dengan koalisi. Artinya, parpol pemenang pemilu (dan koalisinya) bisa “dihabisi” oleh kelompok koalisi lainnya.
Inilah gertakan awal parlemen (diakhir periode) terhadap koalisi parpol yang mengusung pasangan Capres dan Cawapres Jokowi-Jusuf Kalla. Ekses lainnya, walau Jokowi menjadi Presiden, juga akan kerepotan menghadapi koalisi mayoritas (72% kursi parlemen). Seluruh menteri akan berhadapan secara diametral vis a vis dengan komisi-komisi di DPR. Tentu, hal itu bisa menghambat pengesahan berbagai UU, termasuk “penyanderaan” terhadap Rancangan APBN.
Perubahan kepemimpinan DPR tidak se-sepele dugaan awal. Sebab, pada ranah kelengkapan dewan (Komisi-komisi, BK, Banggar, Bamus, dan Banleg) akan diberlakukan metode serupa. Bisa terjadi asas “sapu bersih” koalisi mayoritas, termasuk pada kepemimpinan di MPR-RI. Hal yang sama di jajaran eksekutif (pemerintah), anggota kabinet akan diisi 100% dari mitra koalisi Presiden dan Wakil Presiden.
Kecuali jika terdapat perubahan peta koalisi. Yakni, beberapa parpol berbelok koalisi mendukung Jokowi. Misalnya, andai Golkar akan “balik-kanan” mendukung Jusuf Kalla. Lagi-lagi, akan menjadi problem sistem kenegaraan presidensiil harus mengarah pada parlementer. Presiden terpilih harus nego dengan parpol-parpol untuk memperkuat posisi, agar tidak “diganggu” selama memerintah. Bahkan dampak “gangguan” itu bisa berujung pada pemberhentian presiden, sebagaimana diatur UUD 1945 pasal 7A dan 7B.
Pemberhentian presiden dapat dilakukan oleh DPR melalui pengajuan kepada MK. Syaratnya juga mudah, cukup dengan 2/3 dari anggota DPR yang menghadiri paripurna dengan kuorum sebanyak 374 orang. Jadi, cukup dengan suara lantang 250 orang anggota DPR, sudah bisa menggulingkan presiden. Tetapi UUD pasal 7B ayat (1), disyaratkan harus terbukti, bahwa presiden bersalah melakukan “… pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.”
Mungkinkah hal itu akan dilakukan DPR? Boleh jadi, karena DPR periode 1999-2004 sudah pernah mencoba, dan sukses bisa mengganti presiden. Walau saat itu (Presiden Gus Dur) tidak tahu, mengapa ia diberhentikan. Wallahu a’lam bis-shawab.

—————— *** ——————

Rate this article!
Tags: