Wajib Damai TNI-Polri Muda

TNI Vs PolriSangat mencemaskan, hubungan antara anggota TNI dan Polri (muda). Sudah sering terjadi bentrok, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Prajurit tewas, tetapi bukan di medan laga. Polisi meninggal tapi bukan saat melaksanakan tugas ketertiban. Melainkan korban meninggal karena tersulut emosi, lalu berkelahi bertaruh nyawa. Jika belum puas, akan “terkerahkan” teman se-asrama menyerbu musuh. Dengan menenteng senjata pula.
Melihat serombongan anak muda berseragam, berlencana dan bersenjata menuju “target” serangan, bagai pasukan menuju medan laga. Tetapi yang ingin akan diserang, sebenarnya bukan musuh. Melainkan korps sesama penegak keamanan dan ketertiban. Kedua korps, TNI dan Polri, merupakan “saudara” yang disebut dalam satu pasal (satu ayat pula) pada konstitusi. Kedua korps (yang hanya beda warna seragam dan topi), seharusnya bersatu-padu.
UUD pasal 30 ayat (2), tekstualnya berbunyi, “Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.” Tidak ada dua institusi negara yang disebut dalam satu pasal sekaligus satu pasal dalam konstitusi. Hanya TNI dengan Polri.
Penembakan (sampai tewas saat dibawa ke rumahsakit) terhadap anggota Batalyon Infanteri 721 Kodam VII Wirabuana merupakan tragedi ulangan. Di daerah Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar), juga sudah yang ketiga kali. Sebelumnya (Juli 2015) terjadi pembunuhan terhadap anggota Polres Gowa. Berselang sepuluh hari, terjadi pembunuhan terhadap prajurit TNI, di lapangan Syeh Maulana Yusuf, Gowa. Pelakunya, di-duga-kan kepada sesama personel berseragam.
Di daerah lain, di Sumatera, dan di Jawa, hal serupa juga terjadi berulang-ulang. Sangat sering terjadi kontak senjata, yang diawali oleh rasa ke-tersinggung-an. Emosi darah-muda, agaknya, lebih menonjol. Inilah yang mesti di-investigasi oleh pimpinan TNI dan pimpinan Polri. Mengapa kedua pihak anak muda, sangat mudah tersulut (yang seharusnya bahu-membahu)? Harus digali benar akar masalahnya.
Bentrok TNI dengan Polri (muda) sudah terjadi sejak zaman orde-baru, ketika TNI dan Polri sama-sama “satu atap” dibawahkan oleh Panglima TNI. Sehingga bisa dianalisis, akar masalahnya bukan dari perbedaan tingkat kesejahteraan. Juga bukan karena kewenangan tupoksi sebagai pengemban unsur keamanan dan ketertiban. Keduanya memiliki “medan” (dan ladang) masing-masing sebagaimana diamanatkan UUD pasal 30 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
Agaknya, tawuran generasi muda berseragam dan bersenjata, lebih disebabkan mentalitas. Banyak yang tidak siap menjadi gagah perkasa dan berhak membawa senjata pula. Lalu bersikap bagai  “Rambo.” Pada sebagian personel juga mengarah pada rasa sombong, dan over acting. Bahkan pada zaman orde baru, banyak personel TNI (dan Polisi) menyalahgunakan seragam gagahnya untuk men-zalimi masyarakat. Banyak anggota masyarakat ditangkap, dibawa ke markas, lalu di-intimidasi  dan dipukuli.
Mengusut tuntas kasus tawur korps (berujung korban meninggal) terhadap korps Hankam, memang sangat penting. Namun merumuskan akar masalah, merupakan “komando” lebih penting. TNI dan Polisi dengan perangai buruk, lebih berbahaya dibanding preman pasar. Syukur pada masa kini pemahaman terhadap HAM (Hak Asasi Manusia) di kalangan TNI dan Polisi semakin baik. Namun tidak seluruh personel TNI maupun Polisi telah berubah (menjadi baik).
Boleh jadi, permasalahannya dirunut sejak rekrutmen awal, sejak tes psikologi ke-prajurit-an, TNI maupun Polri. Mestilah ditanyakan, mengapa bangga menjadi tentara (dan polisi)? Inilah yang mesti diurai detil dan antisipatif. Boleh jadi, banyak pemuda ingin menjadi tentara karena terobsesi oleh tokoh Rambo. Begitupun banyak yang bercita-cita menjadi polisi karena terobsesi oleh film-film detektif dan Sherif.

                                                                                                               ——– 000 ———

Rate this article!
Tags: