Waspada “Jual-Beli” Penghargaan Nasional dan Internasional

Mencabut Lencana Penghargaan Koruptor

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior pegiat dakwah sosial politik

Bagai pepatah, “karena nila setitik rusak susu sebelanga.” Perjalanan karir politik Nurdin Abdullah (Gubernur non-aktif Sulawesi Selatan), sudah habis. Terkikis operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang semula berprestasi, menjadi terjebak kasus suap dan gratifikasi. Jebakan korupsi disebabkan biaya politik sangat tinggi dalam pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dengan beban mengembalikan modal cukong.
Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korusi) me-warning keras 270 Kepala Daerah yang baru dilantik, agar menghindari Tipikor (Tindak pidana korupsi). KPK tidak membedakan ke-partai-an, dan latarbelakang “target” yang akan dijerat melalui OTT. Termasuk tidak mempertimbangkan segala prestasi (akademis, profesi, dan kekayaan) yang dicapai pelaku korupsi. Bahkan yang memperoleh penghargaan bintang tanda jasa kenegaraan (Maha Putra), juga bisa ditangkap.
Profesor, jenderal, dan konglomerat, bisa menjadi “target” yang akan ditangkap KPK. Realitanya, Rutan (rumah tahanan) KPK, dan Pengadilan Tipikor, sudah menghadirkan berbagai orang dengan klasifikasi “high performance.” Termasuk hakim Mahkamah Konstitusi, dan orang terdekat, pembantu Presiden (belasan Menteri). Seperti OTT terbaru yang dilakukan terhadap Gubernur Sulawesi Selatan, yang sebelumnya memilki prestasi gemilang.
Hasil pilkada serentak tahun 2020, sudah dilantik sebanyak 170 Kepala Dearah (Gubernur, serta Bupati, dan Walikota), dan akan menyusul 80 lagi setelah usai perselisihan di MK (Mahkamah Konstitusi). Serta sesuai batas masa tugas Kepala Daerah sebelumnya. Seluruhnya bisa terjebak kebiasaan gratifikasi, dan perburuan rente melalui commitment fee proyek pemerintah daerah. Juga “jual beli” jabatan birokrasi eselon II, dan eselon III. Korupsi dengan berbagai modus dan muslihat, berakibat rusaknya tatanan sosial, tatanan infrastruktur, dan tatanan perekonomian.
Seluruh dunia mendendam sengit terhadap korupsi. Sampai diterbitkan konvensi (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION), tahun 2003. Pada mukadimah konvensi dinyatakan: “Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.”

Godaan Commitment Fee
Men-rea (mental) perburuan rente menjadi gerbang korupsi, dengan modus membagi proyek pemerintah kepada cukong yang menjadi tim sukses. Realita ini disampaikan Bupati terpilih (Pilkada tahun 2015) di hadapan siding majelis hakim Tipikor (Tindak pidana korupsi). Peburuan rente menjadi modus paling sering dilakukan. Namun hanya sebagian yang apes, ter-intai KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Yang tidak apes, dapat dijadikan “tambang” uang.
Modus fee proyek juga menjadi titik balik prestasi Gubernur non-aktif Sulawesi Selatan. Prestasi gemilang selama 13 tahun sebagai Kepala Daerah (10 tahun menjadi Bupati, dan 3 tahun menjadi Gubernur), hilang. Berubah menjadi aib besar, dan berakhir tragis di dalam tahanan KPK. Perubahan prestasi menjadi aib besar, juga dialami Bupati Sragen (dua periode, 2001 hingga 2011). Tergolong memiliki modus “cerdas.”
Kejaksaan mendakwanya telah mengalihkan kas daerah ke berbagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sejak tahun 2003. Padahal selama menjadi Bupati Sragen, mencatat banyak prestasi gemilang. Kesohor, sudah kaya sebelum menjadi Bupati, yang diraih dari profesi pengusaha. Kekayaannya mencapai puluhan milyar rupiah. Juga berprestasi dalam tatakelola pemerintahan daerah. Salahsatu, adalah penghargaan dalam Indonesian Open Source Award (IOSA) 2010. Tetapi setelah lengser jabatan, malah dijemput Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.
Di Jawa Tengah, kota Tegal, juga terdapat perempuan berprestasi, sejak usia muda, sebelum menjadi Walikota. Terutama urusan kecantikan. Diantaranya, juara “kepribadian,” yang diselenggarakan majalah perempuan. Serta runner-up putri ayu, yang diselenggarakan oleh produsen kosmetika nasional. Sebagai anak orang kaya, juga berprestasi akademik, menyelesaikan studi di luar negeri perhotelan di Amerika, dan Jerman.
Dalam Pilkada 2013, terpilih sebagai Walikota Tegal. Namun segera memperoleh kritisi karena proses mutasi jabatan dianggap tidak sesuai kebiasaan. Toh, luput dari interpelasi DPRD Kota Tegal. Kepemimpinannya berlanjut. Tahun 2016, meraih penghargaan kategori Best Performing Executive of The Year 2016. Tetapi pada Agustus 2017, tidak bisa luput dari OTT KPK. Divonis 5 tahun penjara, plus denda Rp 200 juta oleh Pengadilan Tipikor Semarang.
Kepala Daerah yang cantik, tetapi terkena OTT KPK, juga terjadi di kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar, Kalimantan Timur). Alumni perguruan tinggi luar negeri (bergelar PhD setara Strata 3), juga meraih tanda kehormatan negara. Lencana Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha, atas Kinerja Kepala Daerah Terbaik. Lencana disematkan Presiden Jokowi, 28 April 2015. Tanda kehormatan negara menjadi bekal memenangi pilkada yang kedua (Desember 2015).

Me-mulia-kan Prestasi
Jabatan periode kedua hanya dijalani selama 20 bulan. Pada sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Bupati Kukar didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 110 milyar. Juli 2018 divonis 10 tahun penjara, denda Rp 600 juta, dan dicabut hak politiknya selama 5 tahun setelah menjalani vonis. Terbukti, korupsi menghentikan karir (politik) cemerlang yang dibangun dengan susah payah.
Berbagai penghargaan tidak diperoleh secara gratis. cuma-cuma. Melainkan terdapat pertimbangan teknis, serta pembiayaan. Bahkan terdapat kelembagaan (non-pemerintah) khusus. Termasuk oleh berbagai yayasan, dan LSM (nasional dan internasional). Tujuannya mengatur branding, pencitraan individu sebagai pemimpin daerah. Calon penerima penghargaan harus memberikan kontribusi. Tetapi pemimpin sekaliber Walikota Kupang, NTT, berai menolak penghargaan abal-abal.
Presiden perlu membina Kementerian dan Lembaga Negara yang mengeluarkan berbagai penghargaan. Begitu pula Kementerian Hukum dan HAM, patut membina berbagai yayasan, dan LSM nasional yang akan menerbitkan penghargaan. Termasuk organisasi profesi, dan ormas, yang gemar memberikan penghargaan kepada Kepala Daerah, dengan memungut kontibusi. Kemenkumham bisa bekerjasama dengan BPK, dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).
Begitu pula Kepala Daerah (Gubernur serta Bupati, dan Walikota) yang akan menerima penghargaan, wajib melapor kepada Kementerian Dalam Negeri. Tujuannya, untuk menghindari penghargaan abal-abal. Sekaligus perlu dinyatakan pakta integritas pencabutan penghargaan manakala terlibat kasus tindak pidana korupsi. Serta mencabut gelar penghargaan tertinggi kenegaraan (Maha Putera) yang bersifat personal.
Mengikis korupsi tidak harus menunggu kinerja KPK. Melainkan bisa dengan menegakkan integritas sebagai pertahanan harga diri. Pemerintah juga perlu menegakkan undang-undang (UU) tentang Pilkada, yang bisa menjerat pasangan calon Kepala Daerah sebelum menjadi pemimpin korup.

——— 000 ———

Tags: