Ada Buatan Belanda, Dilengkapi Skala Gelombang Berhias Nama Kota dengan Ejaan Lama

28-radio-kunoPuluhan Radio Kuno Dipamerkan
Kota Surabaya, Bhirawa
Weekend, waktu yang tepat untuk pelesir bersama keluarga.  Kali ini, tak perlu jauh-jauh untuk pelesir, di Surabaya Anda bisa nikmati pameran unik yakni radio kuno di Museum  House of Sampoerna (HoS)  yang digelar hingga 13 April mendatang.  Puluhan radio antik buatan 1925 hingga 1980-an yang diproduksi Belanda, Jerman, Jepang, dan Ceko bisa ditemukan di sini.
Pameran ini digelar untuk menyambut Hari Siaran Nasional yang jatuh setiap 1 April itu. Bekerjasama dengan Bentara Budaya Jogjakarta, Museum  HoS menggelar pameran radio kuno produksi berbagai negara.
“Bukan hanya kekunoan, tapi kami nilai sejarah dari radio, karena proklamasi kemerdekaan tersiar berkat radio, karena televisi belum ada, apalagi Internet dan media sosial,” kata anggota Padmaditya (Pelestari Audio Radio Jogjakarta) Iwan Gandjar Indrawan di Surabaya.
Di sela-sela pameran bertajuk ‘Layang Swara’ yang sempat disaksikan sejumlah turis dari Eropa itu, ia menjelaskan anggota komunitas yang berjumlah tujuh orang itu memiliki koleksi 400-an radio dan megaphone kuno.
“Tapi, radio yang kami pamerkan di sini berkisar 56 radio dan megaphone milik tujuh anggota komunitas itu. Kondisi puluhan radio dan megaphone kuno itu nisbi bagus atau berkisar 80 persen, karena cukup terawat,” katanya.
Dalam pameran itu Iwan sempat memperdengarkan suara radio yang dibuat pada 1925 dengan bunyi masih nisbi-bagus dan masih mampu menangkap gelombang AM dan FM. Selain itu, ada salah satu radio kuno yang dipamerkan antara lain merek Philips Aida keluaran pada 1946 pasca-Perang Dunia II. Radio buatan Eindhoven, Belanda, ini dilengkapi dengan skala gelombang radio yang dihiasi dengan nama-nama kota dengan ejaan lama seperti Batavia, Soerabaia, dan Bandoeng.
Ada pula  radio Philips Kompas yang juga diproduksi pasca-Perang Dunia II yang memiliki keunikan pada jarum gelombangnya yang mirip dengan jarum kompas. Ada pula Bence yang merupakan radio yang dipasarkan di Indonesia sekitar tahun 1950-an dan diproduksi di daerah Dinoyo, Surabaya.
Sementara itu, anggota lain dari komunitas itu, Endro Nugoroho, mengatakan dirinya tertarik dengan radio kuno, karena desain yang unik, kualitas suara yang lebih natural, dan nilai sejarah atau kelangkaan. “Suaranya lebih natural karena memakai tabung dan sifatnya analog, sehingga suara tidak diolah terlebih dulu seperti dalam alat komunikasi sekarang yang menggunakan transistor dan rekayasa digital,” katanya.
Namun, katanya, penelusuran/pelacakan radio kuno itu tidak mudah, karena dirinya harus melakukan hunting hingga ke Palembang, Malang, Kediri, Bandung, Solo, dan sebagainya. “Harganya juga nisbi-murah yakni mulai Rp 2 juta hingga Rp 15 juta,” katanya.
Apalagi, bila radio kuno itu mengalami kerusakan, maka dirinya perlu mencari komponen di pasar loak hingga berbulan-bulan. “Kalau kami memiliki dua radio kuno yang sejenis, maka akan kami jual bila ada turis yang kebetulan ke Jogjakarta dan berminat,” katanya.
Pameran radio kuno ini menarik minat pengunjung. Ratna (21) baru mengetahui jika Indonesia juga bisa memproduksi radio dan pemasarannya cukup bagus kala itu. “Hebatnya diproduksi di Surabaya. Secara umum saya salut pada para pemilik radio, mereka benar-benar merawat koleksinya. Terbukti meski  bukan produk baru, tapi radio yang mereka miliki sangat terawat,” kata mahasiwi Unair ini. [geh]

Tags: