Belajar dari Bu Risma

Hary Wahyudi

Hary Wahyudi

Oleh :
Dr Hary Wahyudi
Widyaiswara Badan Diklat Jatim dan Dosen Universitas Pelita Harapan Surabaya.
Kegaduhan politik mengenai mundurnya  wali Kota Surabaya Tri Rismaharini,  kini mulai surut. Sebelumnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Saleh Ismail Mukadar, mengatakan menerima pesan lewat BlackBerry Messenger yang mengabarkan bahwa Risma akan mundur dari jabatannya sebagai kepala daerah.  Dinamika politik menjadi hangat bahkan memanas.
Risma dikabarkan tidak setuju dengan terpilihnya Whisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota menggantikan Bambang Dwi Hartono yang mengundurkan diri Agustus tahun lalu. Sikap Risma makin mengundang pertanyaan karena tak hadir dalam prosesi pelatikan wakilnya,  selama lima hari ia tidak masuk kantor sehingga Whisnu yang baru dilantik sulit menemuinya.  Namun Risma mengatakan ia sakit tenggorokan dan butuh istirahat. Bahkan ketika menjadi bintang tamu acara Mata Najwa di Metro TV juga menyinggung mengenai  langkah politiknya, tak lama kemudian Risma bertamu atau diundang oleh wakil ketua DPR RI Priyo Budi Santoso untuk memperbincangkannya.
Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seorang Kepala Daerah boleh mundur. Pada pasal 29 ayat (1) dinyatakan: Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena: meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Hingga saat ini, sudah banyak Kepala Daerah atau Wakilnya yang berhenti sebelum berakhirnya masa jabatan.
Mantan Wali Kota Surabaya juga pernah diberhentikan, berdasarkan pasal 29 ayat (2) huruf b. Yakni, dianggap tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan. Pada saat itu Wakil Wali Kota Bambang DH, secara konstitusi menggantikan sebagai Wali Kota, sampai tahun 2005. Lalu Bambang DH memenangi pilwali tahun 2005 untuk menjabat Wali Kota periode 2005-2010.
Pada pilwali 2010, Bambang DH tak dapat lagi mencalonkan diri sebagai Wali Kota. Berdasarkan rekom DPP PDIP, Bambang DH tetap maju sebagai calon wawali (karena diyakini elektabilitasnya cukup tinggi). Karena itu konon, Bambang DH merekomendasi nama Tri Rismaharini kepada DPP PDIP untuk ditunjuk sebagai calon Wali Kota dan akhirnya mBenar, pasangan yang diusung PDIP memenangi Pilwali 2010.
Kontestasi dan kompetisi politik lokal kota Surabaya yang semula, di tataran publik tiada yang mengenal Risma. Di jajaran Pemkot Surabaya, cukup banyak perempuan yang memimpin SKPD. Sehingga dalam Pilwali 2010, Risma bagai “mengikut” Bambang DH yang ingin tak boleh lagi menjadi calon Walikota. Namun publik (politik) Surabaya ternyata lebih memperhatikan Walikota. Ternyata, Tri Risma seorang pekerja keras. Pendek kata, Risma berkibar, sedangkan Bambang DH mulai tegerser oleh popularitas dan ekspektasi yang disematkan kepada Risma.
Tetapi popularitas Risma, tidak menciptakan rasa nyaman kalangan sejawat politisi. Konon, karena Risma dianggap terlalu lurus dan kaku pendirian. Hanya dalam tiga bulan, pasangan pemimpin Surabaya, sudah menunjukkan ketidakharmonisan. Sampai pada saat menjadi Calon Gubernur Jawa Timur (2009), Bambang DH mengajukan pengunduran diri secara prosedural.
Hal yang sama juga terjadi pada wacana mundurnya Wali Kota Tri Rismaharini. Risma belum pernah menempuh pengunduran sesuai prosedur undang-undang. Hanya berupa sinyal, dengan kata-kata. Tetapi menjadi wacana yang menyita perhatian publik cukup luas.
Bahkan oleh survey yang dilakukan oleh Laboratorium Psikologi UI memposisikan  Risma sebagai figur pendatang baru dalam blantika politik nasional  sebagai pemimpin nasional yang potensial,baik sebai capres atau cawapres.
Suasana Setelah Megawati Soekarnoputri dan Jokowi datang ke kampus Universitas Surabaya, wacana Wali Kota mundur bagai memudar. Sebenarnya, secara normative mundurnya Kepala Daerah, sama sekali bukan wewenang pimpinan parpol. Juga tidak bergantung pada Kepala Daerah lain.
Politik Hasta Brata
Menilik dinamika kepemimpinan politik wali kota Surabaya, ada baiknya menelisik  khasanah budaya Jawa kuno, sedikitnya ada empat ajaran filsafat kepemimpinan. Keempat ajaran tersebut adalah; Ilmu Hasta Brata, Wulang Reh, Tripama, dan Dasa Darma Raja. Ulasan mendalam tentang keempat ajaran tersebut dapat dibaca antara lain dalam buku yang ditulis oleh Pardi Suratno berjudul “Sang Pemimpin”. Dari keempat ajaran tersebut, Hasta Brata merupakan yang (relatif) paling lengkap dan sangat ideal sehingga menarik untuk dikaji menggunakan pendekatan konteks kekinian (kontemporer).
Hasta Brata adalah ilmu tentang delapan (hasta) sifat alam yang agung. Pemimpin yang menguasai ilmu Hasta Brata ini akan mampu melakukan internalisasi diri (pengejawantnhan) kedalam delapan sifat agung yakni : Pertama  sifat bumi; adalah memberikan tempat hidup bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Dalam konteks kekinian, sifat Bumi ini dapat diterjemahkan menjadi sifat seorang yang suka memberikan perhatian kepada fakir miskin, dan kaum lemah. Seorang pemimpin yang menguasai sifat Bumi akan mengarahkan kekuasaannya untuk mensejahterakan rakyat dan mengentaskan kemiskinan. Kedua, sifat matahari; adalah menjadi sumber energi yang memberi kekuatan untuk menyokong kehidupan. Matahari memberikan kekuatan pada makhluk hidup yang ada di bumi. Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin yang menguasai sifat Matahari dapat memberikan inspirasi dan semangat kepada rakyatnya untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Pemimpin yang menguasai sifat Matahari adalah ia yang siap membela rakyatnya yang tertindas. Ketiga, sifat bulan; adalah menjadi sumber cahaya bila malam tiba. Dengan demikian, hakekatnya Bulan adalah sang penerang mahluk hidup dari kegelapan di bumi. Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin yang menguasai sifat Bulan adalah ia yang mampu menjadi penuntun dan memberikan pencerahan kepada rakyatnya. Keempat, sifat samudra; adalah luas dan lapang sebagai simbol dari kelapangan dada dan keluasan hati. Dalam konteks kekinian seorang pemimpin yang menguasai sifat Samudra akan mampu menerima kritikan dengan lapang dada, siap diberi saran sekalipun itu oleh bawahannya. Ia tidak akan melihat siapa yang berbicara, tetapi apa yang dibicarakan. Ia akan menyediakan waktu dan selalu terbuka untuk menampung keluhan rakyatnya.
Sifat Samudra ini juga tercermin dalam praktek  kepemimpinan raja-raja Mataram dengan memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk mengajukan protes kepada Raja melalui budaya pepe, yaitu berjemur di alun-alun sampai Raja menemui dan mendengarkan keluhan mereka.
Kelima, sifat bintang; adalah melukiskan posisi yang tinggi. Pemimpin yang menguasai sifat Bintang dalam konteks kekinian adalah pemimpin yang memiliki kepribadian mulia sehingga menempati posisi yang terhormat dan dihormati. Singkat kata, rakyat mencintainya sedangkan lawan menyeganinya. Keenam, sifat angin; adalah dapat masuk (menyusup) ke segala tempat. Sifat Angin dalam khasanah filsafat Jawa ini diartikan sebagai suatu bentuk ketelitian dan kehati-hatian. Dan dalam konteks kekinian pemimpin yang menguasi sifat Angin adalah ia yang selalu terukur bicaranya (tidak asal ngomong), setiap perkataannya selalu disertai argumentasi serta dilengkapi data dan fakta. Dengan demikian pemimpin yang menguasai sifat Angin ini akan selalu melakukan check and recheck sebelum berbicara atau mengambil keputusan. Ketujuh, sifat api;  adalah membakar apa saja, tanpa pandang bulu. Besi sekalipun bisa leleh dengan Api. Dalam khasanah filsafat Jawa, Api dimaknai secara positif sebagai simbol dari sifat yang tegas dan lugas. Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin yang menguasai sifat Api adalah ia yang cekatan dan tuntas dalam menyelesaikan persoalan. Juga selalu konsisten dan objektif dalam menegakkan aturan, tegas tidak pandang bulu dan objektif serta tidak memihak. Kedelapan, sifat air berbeda dengan Samudra yang lebih mewakili sifat luas (lapang) hati, Air memiliki sifat yang selalu mencari tempat yang rendah. Begitu pula pemimpin yang menguasai sifat Air, ia akan selalu rendah hati dan tidak sombong apalagi semena-mena kepada rakyatnya.
Meskipun tergolong tua, ilmu Hasta Brata adalah salah satu dari sekian banyak ajaran-ajaran filsafat kepemimpinan Jawa.Selain itu juga terdapat generasi filsafat kepemimpinan Jawa yang tergolong baru, yaitu Trilogi Kepemimpinan-nya Ki Hajar Dewantara; Ing Ngarso Sungtulodo, Ing Madyo Mangunkarso dan Tut Wuri Handayani. Meskipun demikian, (hampir) semua ajaran filsafat kepemimpinan Jawa tersebut bersumber dari Ilmu Hasta Brata. Sebab ajaran Hasta Brata adalah (dapat dikatakan) satu visi kepemimpinan yang relatif paling ideal dalam konsepsi ajaran filsafat kepemimpinan Jawa. Saking idealnya sehingga seakan-akan tidak mungkin ada seorang pemimpin dapat menguasai kedelapan sifat alam tersebut. Oleh karena itulah kemudian para filsuf mencoba menurunkannya menjadi beberapa generasi ajaran filsafat kepemimpinan yang lebih spesifik. Lantaran itu, sudah selayaknya para pemegang kepeimpinan, tidak saja memahami filosofi kemimpinan, tetapi juga melaksanakannya sampai tuntas, tidak berhenti semaunya berhenti ditengah jalan.

Rate this article!
Belajar dari Bu Risma,5 / 5 ( 1votes )
Tags: