Budaya Rokok dan Iklan

Siti AisyahOleh :
Siti Aisah
Peneliti Budaya Indonesia di Bina Qalam Indonesia  

Sudah menjadi kebenaran umum bahwasanya rokok itu berbahaya bagi kesehatan. Anehnya, meski rokok menjadi musuh nyata bagi kesehatan manusia namun masih banyak orang yang tetap setia mengkonsumsinya. Parahnya lagi, konsumen rokok tidak hanya berasal dari kalangan pria dewasa, perempuan bahkan anak-anak dibawah umur.
Akan sangat memprihatinkan jika dari sekian banyak konsumen rokok ternyata berasal dari kalangan anak-anak. Kita mungkin masih ingat fenomena balita bernama Ardi Rizal yang kecanduan rokok. Fakta itu sontak tidak hanya menyedot perhatian Indonesia, namun juga internasional. Betapa tidak, balita tersebut mampu menghabiskan 40 putung rokok dalam sehari sejak usia dua tahun. Mungkin tidak hanya Ardi Rizal saja yang kecanduan rokok, akan tetapi ada banyak anak-anak tak terkecuali pelajar yang terbiasa merokok.
Rokok harusnya tidak hanya dipandang sebagai permasalahan kesehatan saja. Ada faktor lain yang menyebabkan rokok tetap menjadi jajanan utama masyarakat. Bagi beberapa kalangan, rokok sudah menjadi budaya. Ada semacam mitos di kalangan pria dewasa bahwa setelah makan tidak merokok rasanya kurang lengkap. Mitos lain yang seringkali muncul adalah kumpul bareng teman kurang akrab kalau tanpa dibarengi rokok.
Tidak mengherankan jika tim kreatif dari perusahaan rokok mencoba melibatkan budaya tersebut melalui tampilan iklannya di media massa. Mereka seakan menvisualisasikan karakter para penggemar rokok melalui desain gambar dan tagline bahasa yang digunakan. Dan hasilnya seperti yang kita lihat di televisi atau baliho yang bertebaran di pinggir jalan. Tampilan gambar serta pesan yang disampaikan sangat cocok alias klik dengan insight sasaran.
Sebuah rokok akhirnya tidak hanya dilihat sebagai benda berukuran kecil dan dihisap saja, namun lebih dari itu. Di dalamnya tersimpan nilai atau simbol-simbol tertentu yang dilekatkan untuk para perokok. Entah itu simbol maskulinitas, keberanian, jiwa petualang, nilai kebebasan dan nilai keakraban. Faktanya, pada hampir seluruh iklan rokok yang kita lihat di media massa selalu memasukkan salah satu nilai tersebut. Seorang remaja gaul mungkin juga pernah nyeletuk ‘ini iklan gue banget’ ketika melihat iklan rokok di televisi.
Jika dibandingkan dengan iklan bahaya merokok yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun pihak terkait, hasilnya terlihat kurang mengena. Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengakui kekurang efektifan iklan rokok Pemerintah terhadap perubahan perilaku masyarakat. “Iklan antirokok tidak membuat masyarakat takut untuk merokok. Contohnya iklan yang dibuat Kemenkes itu (tentang pengakuan korban kanker faring) sebagai sesuatu anomali tidak merubah perilaku,” kata Amirsyah [Burhani : ed]. Tidak hanya menyajikan iklan yang menarik, perusahaan rokok juga melengkapinya dengan strategi marketing lain. Dalam dunia periklanan dikenal dengan istilah brand activation. Yaitu dengan menciptakan event-event bergengsi atau melalui bantuan beasiswa pendidikan.
Di Indonesia sendiri muncul perdebatan mengenai rokok. Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan perbedaan pandangan mengenai hukum rokok antara MUI (Majelis Ulama Indonesia) dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dimana Majelis Ulama Indonesia memberikan fatwa haram merokok di tempat umum dan bagi anak-anak serta dewasa. Disisi lain, Organisasi masyarakat PBNU mengatakan bahwa rokok itu hukumnya makruh. Artinya jika dikerjakan tidak masalah namun jika ditinggalkan mendapat pahala. Tentunya pengeluaran fatwa tersebut didasarkan pada argumentasi masing-masing pihak dengan disertai perujukan dalil yang digunakan.
Permasalahan rokok tidak bisa dianggap sepele. Pemerintah dan elemen terkait harus mengkaji secara komprehensif. Karena industri rokok itu sendiri melibatkan banyak elemen. Disamping itu, pasti akan ada yang harus dikorbankan dari masing-masing kubu. Baik menyangkut mata pencaharian petani tembakau dan pegawai perusahaan atau kesehatan masyarakat pada umumnya.
Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai hukum merokok, satu hal yang perlu diperhatikan adalah jika kita ingin melakukan gerakan anti merokok, kita patut belajar dari indusrti rokok. Pertama, kita belajar bagaimana mereka mampu membangun kebutuhan masyarakat terhadap rokok itu sendiri. Langkah awal yakni dengan menciptakan kesadaran alias imaji negatif  bagi perokok.
Bila perlu, pemerintah membangun brand tandingan. Sebuah iklan anti rokok yang mengandung image tertentu di pikiran masyarakat tentang para perokok. Sebagaimana ungkapan sang jurnalis Amerika-Walter Lippmann, dengan gagasannya yang terkenal ‘The picture in our head’. Kedua, untuk menciptakan efek perubahan perilaku maka dibutuhkan upaya lebih dari sekedar kampanye melalui iklan.
Caranya yakni dengan mengadakan kegiatan langsung yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Jika sudah mencapai tahapan ini, maka besar kemungkinan masyarakat akan sadar betul dan muncul tindakan untuk mengurangi kecanduan pada rokok. Mereka secara perlahan namun pasti akan meninggalkan rokok dan mulai beralih ke yang lain. Mengunyah permen setelah makan misalnya. Intinya, jangan hanya melarang, namun berikan edukasi dan beragam alternatif solusi dari permasalahan yang dialami para pecandu rokok.

                                                                                                                    ————– *** ————–

Rate this article!
Budaya Rokok dan Iklan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: