Lingkaran Setan Produk Tembakau

Oryz-SetiawanOleh :
Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah memberlakukan larangan terhadap iklan dan sponsor produk tembakau (rokok) di ruang public termasuk iklan di layar kaca. Sebelumnya sponsor dan iklan rokok masih diberikan toleransi mumcul di televise antara pukul 2200 hingga pukul 05.00. Ternyata kondisi tersebut tak mampu membendung konsumsi rokok di Indonesia bahkan kini Indonesia masuk salah satu smoker baby country (Negara dengan konsumsi rokok anak-anak).
Berdasarkan survey dan penelitianmenunjukkanbahwakelompokusia 10-14 tahun adalah masa pancaroba dan masa coba-coba sehingga disebut sebagai golden moment sebelum memilih merokok sebagai atribut perilaku. Di sisi lain, kebiasaan merokok sudah dipandang sebagai sebuah aspek budaya yang turun temurun dan mendarah daging di negeriini. Berbagai momen acara masyarakat hampir dapat dijumpai kelompok perokok yang terkadang abai terhadap etika orang lain (non perokok) terutama kelompok beresiko yang tanpa sengaja terhirup asap rokok. Oleh karena itu pantaslah bila industry rokok berkembang pesat dan pemiliknya tak pernah turun dari daftar orang terkaya di dunia.
Realitas tersebut kian nyata bila kita lihat sehari-hari di lingkungan sekitar bahwa generasi perokok anak dan remaja kian meningkat, sungguh fenomena yang ironis. Di kala pemerintah menggalakan Visi-Misi yang tertuang dalam “NawaCita” dimana didalamnya pembentukan karakter generasi bangsa menuju Indonesia tangguh, beradab dan bermartabat di sisi lain justru terdapat kelompok generasi muda yang dininabobokan oleh buaian asap rokok. Adanya peringatan “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin” dalam setiap kemasan rokok. Namun demikian bagi penggemar dan penikmat rokok, peringatan yang dapat mengancam kesehatan sebagai investasi hidup tersebut seakan kebal dan mengacuhkan ‘ancaman kesehatan’ berbahaya. Kenikmatannya melebihi resiko penyakit yang terkandung dalam sebatang rokok. Olehk arena itu setiap setiap tahun masyarakat internasional setiap tanggal 31 Mei memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day).
Memang eksistensi rokok tak kalah dengan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) yang sangat vital di berbagai sisi kehidupan sehinggaupayapelarangan yang bersifat revolusioner berpotensi mengancam sendi-sendi bangsa. Upaya yang paling mungkin adalah upaya yang bersifat “pembatasan” atau pengurangan jumlah perokok yang bersifat mempersempit ruang gerak perokok yang secara bebas dapat mengganggu masyarakat yang tidak merokok terutama seperti kelompok rentan (ibu hamil, bayi, balita dan anak-anak).
Semua orang tahu banyak dampak rokok sangat berbahaya bagi kesehatan, namun apa daya, terjadi tarik menarik berbagai kepentingan terhadap eksistensi rokok. Setidaknya ada social cost yang harus “dibayar” ketika Negara tak dapat mengambil sikap tegas terhadap produk tembakau tersebut antara lain berupa kemiskinan, kebodohan, hilangnya produktivitas dan tentu saja ancaman penyakit, biaya kesehatan yang membumbung hingga kematian. Tak mudah memang, namun keputusan harus diambil dengan berbagai konsekuensi dan risiko serta dampak sosial yang timbul.
Tak dapat dipungkiri bahwa eksistensi rokok dalam ranah public dan struktur ekonomi masih begitu kuat walaupun berbagai kebijakan untuk meminimalisasi dampak rokok terus berlangsung masif. Angka kematian akibat merokok terus meningkat, dalam sebuah laporan terbaru yang dilansir oleh World Lung Foundation (WLF) mencatat, kematian akibat merokok melonjak hampir tiga kali lipat dalam satu dekade terakhir. WLF dan American Cancer Society mengatakan, jika kecenderungan ini terus berlanjut, maka satu miliar orang akan mati akibat penggunaan tembakau pada abad ini atau satu orang akan meninggal setiap enam detiknya. Konsumsi rokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia (semulanomor 5), setelah China dan India. Ironisnya lebih dari 60 juta orang membelanjakan uangnya untuk membeli rokok. Mereka rata-rata menghabiskan 11 batangrokok per hari. Parahnya, jumlah perokok aktif justru didominasi dari kelompok keluarga miskin (70%). Hasil survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas – 2006) mencatata lokasi belanja bulanan untuk rokok pada keluarga perokok menempati urutan kedua (9%) setelah beras (12%). Pengeluaran bulanan setara dengan 15 kali biaya pendidikan dan 9 kali biaya kesehatan. Lebih mencengangkan bila kelompok keluaga termiskin mempunyai proporsi belanja rokok yang lebih besar12 persen dari pada kelompok keluarga terkaya yang hanya 7 persen.
Hasil penelitian lain dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) menyebutkan bahwa banyak rumah tangga termiskin atau berpenghasilan rendah mengeluarkan biayarumah tangga untuk rook kada 57 persen atau enam diantara 10 rumah tangga termiskin. Di sisi lain temuan terkini di Indonesia tren perokok aktif anak-anak dan remaja juga meningkat pesat atau baby smoker.
Saat ini, ada 69 persen remaja di Indonesia menjadi perokok aktif. Para remaja tersebut sudah tinggal dalam lingkungan dan keluarga perokok. Ada sisi yang menarik bahwa jika seseorang menghabiskan rokok dalam rentang waktu sepuluh tahun, dengan asumsi sehari menghabiskan satu bungkus. Satu bungkus rata-rata sepuluh ribu sehingga hitung-hitungannya adalah 1 bungkus x 365 hari x 10 tahun x harga 10.000 per bungkus = 36.500.000 jika dikonversikan biaya yang dikeluarkan dapat digunakan untuk melaksanakan ibadah haji. Makna yang terkandung sangat jelas bahwa biaya membeli dan membakar rokok selama satu dasawarsa ternyata dapat dipergunakan untuk kegiatan yang bermanfaat apalagi untuk kebutuhan menunaikan ibadah yang jelas-jelas sisi pemanfaatannya. Jangan biarkan anak cucu kita terjerumus dalam generasi rokok, semoga.

                                                                                                            —————- *** —————–

Rate this article!
Tags: