Cegah Rupiah Terpuruk

Nilai kurs rupiah makin terperosok sepanjang bulan April, hingga menyentuh Rp 16.255,- per-US$. Padahal neraca perdagangan masih berlanjut surplus (selama 47 berturut-turut), menjadi sebesar US$ 4,4 milyar. Diperlukan penghematan pengeluaran rupiah, dengan cara menaikkan suku bunga, sehingga masyarakat lebih suka menabung. Juga tidak belanja komoditas impor. Terutama belanja elektronik, terutama HP (handphone). Serta menghemat BBM (bahan bakar minyak).

Efek yang makin turun drastis, adalah bertambahnya utang pemerintah. Posisi utang pemerintah tercatat berada di angka Rp 8.319,2 triliun (per-29 Februari 2024). Jumlah ini naik dari posisi akhir Januari, yang senilai Rp 8.253,09 triliun. Bertambah Rp 66,13 triliun dalam kurun waktu satu bulan. Karena merosotnya nilai tukar rupiah, maka nilai APBN juga merosot di hadapan investor asing yang biasa berbicara dengan hitungan dolar Amerika.

Tanpa dicuri, tanpa di-korupsi, APBN sudah “kehilangan” nilai sebesar 9,9%. Asumsi makro ekonomi yang tergambar pada APBN 2024, nilai kurs rupiah dihitung pada rata-rata Rp 15 ribu per-US$. Bahkan sejak disahkan (21 September 2023) nilai kurs rupiah tidak pernah mencapai Rp 15 ribu. Saat ini nilai APBN 2024 susut sebesar 9,9% terhadap dolar Amerika. Total belanja negara sebesar Rp 3.325,1 trilyun. Jika ditimbang dengan dolar Amerika, berdasar kurs saat ini susut sekitar Rp 300-an trilyun.

Nilai APBN 2024 (di hadapan US$) mengecil, menjadi hanya Rp 3 ribu trilyun saja. Namun penurunan nilai uang bukan hanya dialami rupiah (IDR), melainkan juga Ringgit (Malaysia) susut 0,18%, Baht Thailand (minus 0,07%). Dolar Amerika juga men-depresiasi Yen Jepang, sampai 0,53%. Rupiah (IDR) merosot paling tajam. Secara year to date, depresiasi rupiah dicatat Bank Indonesia hanya sebesar 5,07%.

Walau rupiah terpuruk, namun konon berdasar kalkulasi Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, keseluruhan portofolio utang, masih “aman.” Karena seluruh utang (sebesar 72%) dalam local currency (rupiah). Tercatat dari outstanding utang yang mencapai Rp 8.319 triliun, sebesar 71,92% diantaranya dalam rupiah, sementara sisanya dalam bentuk valas sebesar 28,08%. Sehingga dampak dari pergerakan kurs “dapat dikelola.”

Jumlah utang pemerintah saat ini tercatat tertinggi sepanjang sejarah. Setara dengan 39,06% produk domestik bruto (PDB). Nampaknya seluruh investor sangat berhati-hati pada masa resesi sejak tahun 2022 hingga tahun (2024) ini, perekonomian dunia masih “remang-remang.” Selain perang Rusia – Ukraina, sekarang disusul perang liar di Gaza, Palestina. Amerika akan mengeluarkan banyak ongkos. Dolar Amerika makin banyak keluar, menjadi makin bernilai mahal terhadap semua mata uang.

Namun secara umum perekonomian nasional sedang “baik-baik saja” walau hampir seluruh Eropa dibayangi resesi. Sehingga otoritas moneter negara-negara maju meningkatkan suku bunga. Terutama Inggris, Jerman, dan kawasan Eropa lainnya. Juga China yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi signifikan. Nilai Yuan, merosot sebesar 5,88% selama tahun 2023. Akibatnya, masyarakat (terutama investor) di negara maju lebih berhemat. Memilih menyimpan uang di bank dengan bunga lebih menarik.

Penghematan serupa juga dilakukan investor yang telah berusaha di negara berkembang. Tidak menambah investasi karena faktor potensi risiko resesi. Sehingga mata uang negara berkembang tidak menarik. Termasuk rupiah. Namun konon, ada pula paradigma yang berbeda. Yakni, penurunan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dianggap sebagai winfall profit (“durian runtuh”).

Kalkulasinya, setiap penurunan 100 poin (dibanding asumsi makro dalam APBN), akan menaikkan pendapatan negara. Bertambah minimal sebesar Rp 3,8 triliun. Mendatangkan berkah dalam kalkulasi APBN

——— 000 ———

Rate this article!
Cegah Rupiah Terpuruk,5 / 5 ( 1votes )
Tags: