Pendidikan dan Pondasi Peradaban Bangsa

Dr Lia Istifhama

Oleh :
Dr Lia Istifhama
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Terpilih 2024-2029

“Scientia potentia est”, pengetahuan adalah kekuatan. Sebuah pepatah Latin yang ditulis Sir Francis Bacon, menjadi salah satu kalimat yang sangat melekat dalam sebuah peradaban bangsa.

Sejarah pun menunjukkan, bahwa kemajuan sebuah peradaban bangsa, ditentukan dengan kemajuan pengetahuan. Dinasti Abbasiyah misalnya, yang dikenal sebagai pusat peradaban dan pengetahuan pada Abad 8 dan 9 M. Tepatnya, puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Al- Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M), dimana negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah dan keamanan terjamin.

Kejayaan Abbasiyah tentu jauh sebelum kejayaan kerajaan Eropa di masa Abad Pencerahan (Aufklarung) pada abad ke-17 dan ke-18, dimana pada saat itu, muncul gelombang gerakan intelektual dan filosofis yang berfokus pada nilai kebahagiaan manusia, pencarian pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran akal dan cita-cita ideal seperti kebebasan, kemajuan, toleransi, pemerintahan konstitusional, dan pemisahan gereja dengan negara.

Namun yang pasti, baik masa kejayaan peradaban kerajaan Islam di era Abbasiyah maupun kerajaan Eropa di era Aufklarung, bahwa identitas pendobrakan peradaban adalah pengetahuan yang berkembang signifikan. Pun yang terjadi di Indonesia, dimana setidaknya ada dua momentum yang menjadi puncak pendobrakan pendidikan yang mengangkat Indonesia pada peradaban yang jauh lebih unggul.

Pertama, adalah lahirnya gerakan emansipasi wanita dalam hal pendidikan melalui rangkaian surat dan tulisan yang disuarakan oleh RA Kartini. Diantaranya adalah yang dikirim kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901: “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.

Dan kedua adalah yang berafiliansi dengan Hari Pendidikan Nasional yang kita peringati sebagai Hardiknas 2 Mei, yaitu hari lahirnya Ki Hajar Dewantara, tepatnya 1889 silam. Ki Hajar merupakan seorang kolumnis di berbagai surat kabar waktu itu, dimana salah satu tulisannya yang berjudul Als Ik Een Nederlander Was (Sekiranya Aku Seorang Belanda) di Surat Kabar De Expres,13 Juli 1913), membuat pejabat Hindia Belanda marah besar dan mengasingkan Ki Hajar ke Pulau Bangka.

Selama menjalankan pengasingan di Belanda, Ki Hajar belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi kala itu dan kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan. Sepulang ke Tanah Air, ia kemudian mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Desain pendidikan inilah yang banyak mengilhami sistem pendidikan nasional sejak dari dulu sampai kini.

Selain dua tokoh tersebut, tentu masih banyak tokoh bangsa lainnya yang berperan dalam pendobrakan peradaban melalui pendidikan. Salah satunya adalah sang Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, yang memiliki mahakarya, diantaranya Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim, dengan salah satu pesan utamanya: “Kejarlah Ilmu ke mana pun dia pergi. Belajarlah kepada orang yang betul betul memahaminya. Sebab dalam ilmu terdapat obat penyembuh bagi hati yang buta.”

Peradaban dan pendidikan, memang dua hal yang tidak akan terpisahkan. Kesadaran akan melekatnya kedua hal tersebut, telah berlangsung sejak dulu.

Itu sebabnya, mengapa pasukan Mongol saat menghancurkan dinasti terakhir Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, mereka bukan hanya membunuh dengan keji semua penduduk saat itu, melainkan juga menghancurkan pusat perpustakaan, membakar setiap buku-buku sejarah, kedokteran dan astronomi di dalamnya dan menennggelamkan buku-buku yang telah tercampur dengan noda darah para cendekiawan muslim, ke sungai Tigris yang disebabkan banyaknya jumlah buku bertinta hitam itu, maka sungai Tigris pun berubah menjadi hitam. Tentu, tujuan Mongol saat itu adalah ingin menutup masa kejayaan Islam yang lekat dengan pengetahuan.

Hal sama juga diperlihatkan oleh Jepang, yang mana sesaat setelah negeri sakura tersebut diluluhlantakkan oleh Amerika Serikat (AS) melalui jatuhnya bom atom di penghujung Perang Dunia II, Kaisar Hirohito langsung berkata: “Berapa jumlah guru yang tersisa?”

Dari semua catatan sejarah itu, maka melekatnya pendidikan dan peradaban, adalah hal yang tak dapat terpisahkan. Dalam agama pun, Islam misalnya, ilmu atau pendidikan, adalah keutamaan bagi manusia. Sebuah hadis menerangkan bahwa Dari Sayyidina Ali ra, Nabi saw bersabda: “Pernah saya bertanya kepada Jibril tentang orang – orang yang berilmu, maka dia menjawab: “Mereka adalah pelita – pelita umatmu di dunia dan akhirat, Beruntunglah orang – orang yang mengenal mereka dan celakalah orang yang mengingkari dan membenci mereka.”

Kemudian hadis lain seperti yang tertuang dalam Kitab Durratun Nasihin, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tegaknya dunia itu dengan 4 perkara. Dengan ilmu para ulama dengan keadilan para pemimpin negara, dengan kedermawanan orang orang yang kaya, dan dengan doa orang orang fakir.”

Maka, ilmu atau pendidikan memang harus terus mendapatkan atensi utama karena berkaitan dengan kelangsungan generasi bangsa. Bagaimana moral terjaga, tak lain disebabkan seberapa dalamnya kecintaan anak bangsa terhadap ilmu. Namun sayangnya, di momentum Hardiknas kali ini, kita harus menyadari bahwa tidak banyak generasi bangsa yang mau membaca.

Seperti diketahui, dilansir dari data UNESCO, hanya 0,001% masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca. Hal itu berarti, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang suka dan aktif membaca. Hal ini tentu patut disayangkan karena membaca ataupun dunia literasi yang berkaitan dengan pendidikan, sejatinya obat utama menangkal dampak negatif perkembangan digital, dimana revolusinernya digital terkadang memacu stress. Hal ini disebabkan pilihan bertransformasi teknologi di era digital bila tidak diimbangi dengan kemampuan dan ketrampilan yang bijak, pasti sangat rentan memacu problema psikis akibat perdebatan yang muncul di tengah interaksi digital, baik interaksi sosial maupun interaksi dengan alat digital.

Akhir kata, pendidikan harus terus menempati posisi kasta tertinggi dalam segala aspek sebagai bentuk konsistensi menjaga peradaban bangsa yang luhur dan cerdas membaca segala realitas perubahan. Perkembangan digital tanpa ditunjang pondasi pendidikan yang kuat, tentu sangat tidak mungkin menjadi sebuah perkembangan yang mampu memajukan peradaban bangsa.

———– *** ————

Tags: