Catatan Kritis LPJ Realisasi APBD Jatim 2020

Oleh :
Lilik Hendarwati
Anggota Komisi C DPRD Prov. Jatim dari PKS

Saat ini DPRD Provinsi Jawa Timur (Jatim) sedang membahas Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) gubernur atas pelaksanaan APBD tahun anggaran 2020. LPJ ini penting untuk kita cermati sebagai sebagai bagian dari fungsi kontrol dewan atas pelaksanaan tata kelola keuangan Pemrov Jatim selama tahun 2020. LPJ ini sekaligus sebagai bahan koreksi dan evaluasi bagi eksekutif dalam tata kelola anggaran ke depan yang lebih baik.

Realisasi APBD 2020

Meskipun dalam kondisi Pandemi Covid-19, realisasi Penerimaaan daerah melampaui target yang ditetapkan. Ditargetkan Rp 30,142 triliun lebih, terealisasi Rp 31,631 triliun lebih atau 104,94%. Tahun 2020, target PAD sebesar Rp15,448 triliun lebih, terealisasi sebesar Rp 17,950 triliun lebih atau dengan tingkat realisasi sebesar 116,20 persen, yang berasal dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Sementara itu, target Belanja Daerah pada tahun anggaran 2020 ditetapkan sebesar Rp 34,565 triliun lebih, terealisasi sebesar Rp 32,286 triliun lebih atau tingkat realisasi sebesar 93,41 persen. Dengan adanya realisasi pendapatan yang lebih besar daripada realisasi belanja dan transfer, maka terdapat Defisit Anggaran sebesar 655 milyar 732 juta rupiah lebih dari perkiraan defisit dalam APBD 2020 sebesar 4 Triliun 422 milyar 89 juta rupiah lebih.

Sedangkan terkait dengan pembiayaan, pembiayaan netto sebesar Rp 4,355 triliun lebih, yang diperoleh dari realisasi Penerimaan Pembiayaan sebesar Rp 4,391 triliun lebih dikurangi realisasi pengeluaran sebesar Rp 35,751 milyar. Dengan demikian terdapat realisasi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Tahun 2020 sebesar Rp 3,700 triliun lebih.

Catatan Kritis

Terkait dengan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD Pemerintah Provinsi Jatim tahun anggaran 2020 ini, ada beberapa catatan yang dapat disampaikan, sebagai berikut; Pertama, Meskipun tahun 2020 dihantam badai pandemi Covid-19, yang berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat dan dunia usaha, akan tetapi capaian kinerja PAD 2020 bisa dikatakan cukup impresif dengan 116,20 % lebih tinggi daripada targetnya. Terkait dengan ini, penulis mendorong perlu dilakukan pencermatan terhadap potensi “anomali” PAD tahun 2020 yang tidak terpangaruh dengan adanya Pandemi Covid -19 ini. Pertanyaannya, apa sebenarnya faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pada komponen pajak daerah? Apakah penetapan target PAD (khususnya pajak) lebih rendah dari potensi yang ada?.

Kedua, Terhadap kinerja realisasi anggaran. Dalam Nota keuangan, disebutkan bahwa Defisit tidak sesuai target, menyebabkan pembiayaan netto sebesar Rp 4,355 triliun lebih hanya digunakan untuk menututp Defisit anggaran sebesar 655 milyar 732 juta rupiah lebih, sehingga terjadi Silpa sebesar Rp 3,700 triliun lebih. Terkait dengan ini, perlu kiranya dilakukan Sumber-sumber penyebab terjadinya SILPA berdasar PP 12/201, terutama pelampauan penerimaan pendapatan transfer, pelampauan penerimaan Pembiayaan, dan kewajiban terhadap pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan.

Ketiga, Terkait dengan Saldo Kas Akhir, disebutkan Saldo Akhir Kas Pemerintah Provinsi Jatim tahun 2020 sebesar Rp 3,752 lebih. Dokumen CALK LPP APBD tahun 2020, tidak menyajikan berapa Silpa tahun berjalan berdasarkan sumbernya (obyek dan rincian obyek belanja), oleh karena itu disarankan agar DPRD meminta kelengkapan data silpa 2020 (audited) dilengkapi dengan sumbernya, agar DPRD dapat mengetahui sejak dini dari total Silpa. Karena itu, penting untuk dimintakan penjelasan lebih detail Rincian Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) Berdasarkan silpa yang belum terikat penggunaannya) dan berapa besaran silpa tahun berjalan yang memang sudah terikat penggunaannya. Dari sana akan diketahui, kinerja serapan anggaran dari masing-masing OPD atau yang lainnya.

Keempat, Kinerja belanja daerah. Penulis berpendapat, kinerja belanja daerah masih belum optimal, yakni hanya 93,41% dari target. Sehingga ada selisih sebesar Rp 2,278 triliun lebih. Di tengah pandemi dan meningkatnya kebutuhan dana untuk penanganan dan pencegahan pandemi Covid-19, seharusnya optimalisasi belanja daerah bisa dilakukan melalui kebijakan rasionalisasi/perubahan target belanja dan refocusing. Hal ini sebagai respon terhadap Perppu No.1/2020, Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 119/2813/SJ dan Nomor 177/KMK.07/2020 tentang percepatan penyesuaian APBD TA 2020 dalam rangka Penanganan Covid-19, serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional. Terkait dengan ini perlu ada pencermatan lebih lanjut atas Catatan atas Laporan Keuangan Daerah (CaLK) Tahun 2020 yang telah teraudit BPK; Apakah ketidaktercapaian tersebut dikarenakan adanya kesalahan dalam penyusunan perencanaan anggaran program/kegiatan, atau karena adanya adanya ketidakakuratan dalam proses pengadaan barang (lelang)?

Kelima, terkait belum optimalnya realisasi belanja modal : 83,36 persen. Masih belum optimalnya serapan belanja modal cukup disayangkan, karena belanja Modal memiliki dampak langsung terhadap bertambahya kapasitas produksi dalam perekonomian melalui pertambahan aset-aset produktif seperti gedung, mesin, dan infrastruktur fisik maupun non-fisik. Bila aset produktif bertambah cepat, maka potensi kecepatan kenaikan produksi dalam perekonomian akan semakin tinggi. Sehingga pembiayaan APBD untuk belanja modal tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi juga akan memperkuat potensi pertumbuhan ekonomi untuk di masa depan. Karena itu, terkait dengan belanja modal, sangat disayangkan belum optimalnya serapan anggaran pada komponen belanja modal ini, tentu saja ini akan merugikan kepentingan masyarakat. Karena itu, ke depan, proporsi alokasi belanja modal harus terus ditingkatkan begitu juga dengan kinerja serapannya agar lebih dioptimalkan.

Keenam, Masalah SILPA yang sangat besar. Besaran SILPA yang mencapai Rp 3,700 triliun lebih, tidak bisa begitu saja ditafsirkan sebagai sesuatu yang positip. Di satu sisi memang baik, karena Pemprov Jatim dinilai mampu menghemat tanpa mengurangi program dan kegiatan yang sudah direncanakan. Tetapi di sisi lain, hal ini bisa dipandang sebagai perencanaan anggaran yang kurang akurat. SILPA yang terlalu besar menjadi kurang bagus, ini mengingat dampak Pandemi Covid-19 mengakibatkan trend angka pengangguran dan kemiskinan, termasuk Gini rasio di Provinsi Jatim semakin meningkat. Kondisi ini menggambarkan, mereka membutuhkan perhatian khusus berupa program kegiatan dan bantuan dana yang langsung dinikmati masyarakat, termasuk pemulihan ekonomi msyarakat (UMKM). Oleh karena itu, sangat disayangkan terjadinya sisa anggaran yang cukup besar, sementara pada saat yang sama, masyarakat sangat membutuhkan bantuan dana atau program yang langsung dirasakan.

Ketujuh, Masih besarnya SILPA, hal ini menunjukan bahwa Pemerintah Provinsi Jatim belum menemukan cara yang efektif untuk meningkatkan serapan anggaran untuk akselerasi pembangunan, sehingga potensial dana nganggur (idle money) masih cukup besar. Karena itu, besarnya besarnya SILPA tersebut perlu untuk dicermati dan dikaji lebih mendalam terkait dengan faktor-faktor penyebabnya, apakah karena faktor efisiensi belanja; tidak terlaksananya program (Program gagal dilaksanakan) atau oleh sebab-sebab administratif/prosedur lainnya? Besarnya dana nganggur sebesar ini, perlu untuk dicari akar masalahnya apakah titik lemahnya ada pada parencanaannya, ataukah pada sisi implementasinya, termasuk eksekutornya/SKPD. Ini perlu ada penjelasan yang clear.

Penulis, berharap saudara gubernur dapat menindaklanjuti dan memberikan penjelasan yang lebih clear, objektif, dan rasional. Sehingga laporan realisasi APBD ini memiliki bobot objektivitas, akuntabilitas dan transparansi yang tinggi dihadapan publik.

——— *** ———-

Tags: