Cerita Nestapa Nenek Tulang Punggung Keluarga

Enja (kanan) saat bersama putera tunggalnya yang cacat (kiri). Hingga kini Enja menjadi tulang punggung di dalam keluarganya. [sawawi]

Menanggung Biaya Hidup Tujuh Orang, Cari Nafkah Sebagai Tukang Pijat
Kab Situbondo, Bhirawa
Nasib seseorang tak bisa ditebak, kadang senang dan bahagia serta sebaliknya dirundung kesusahan dan penderitaan. Termasuk peruntungan hidup yang dialami Enja, seorang wanita berusia 72 tahun yang harus menanggung hidup tujuh orang sendirian. Enja yang kini bertempat tinggal di Dusun Karang Makmur, Desa Panji Kidul, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo hanya menggantungkan hidupnya sebagai seorang tukang pijat.
Sore itu, mendung bergelayut di Desa Panji Kidul. Meski tidak hujan cuacanya membuat orang ingin rebahan. Disisi pojok Dusun Karang Makmur, Desa Panji Kidul ada sebuah rumah berdinding bambu serta berlantaikan tanah, hidup seorang nenek bernama Enja.
Di dalam keluarga Enja ini, ada tujuh orang yang semuanya ditanggung oleh nenek cekatan tersebut. “Sebagian kerabat saya tidak bisa membantu kerja karena kedapatan cacat permanen dibagian tubuhnya,” ujar Enja, dengan nada suara lirih.
Enja mengaku sebagai satu-satunya orang yang bisa menghasilkan uang dari kedelapan anggota keluarga itu. Sehari-hari, dia mengaku hanya bekerja sebagai tukang pijat. Mulai pagi hingga malam ada saja yang datang untuk meminta pijat. Meski cuaca hujan ada saja yang datang kerumah Enja. “Karena sudah langganan banyak, saya selalu melayani dengan baik. Sampai semua pelanggan selesai dipijat,” kupas Enja.
Enja menambahkan, kadang kalau hujan seluruh isi rumah tampak kebingungan mencari naungan. Maklum saja, rumah Enja hanya beratap seng tersebut selalu bocor. Anggota keluarga terkecil terpaksa dipindah ke rumah salah satu tetangga. Rumah yang ada di Dusun Karang Makmur, Desa Panji Kidul, Kecamatan Panji itu, ditinggali Enja bersama tujuh anggota keluarga lainnya. “Ibu saya sudah sepuh. Anak saya satu putera tetapi cacat. Termasuk ikut saya tiga cucu dan dua keponakan,” beber Enja.
Dari semua kerabatnya itu, Enja mengaku hanya satu satunya sebagai tulang punggung dalam keluarga miskin tersebut. Dia menerangkan, anak laki-lakinya tidak bisa bekerja karena cacat permanen. Sedangkan ibunya sudah lanjut usia. “Sampai saat ini keponakan bersama cucu masih belum bekerja karena masih kecil. Sedangkan suami sudah lama meninggal,” aku Enja.
Saat menjalani profesi sehari-hari sebagai tukang pijat ada banyak cerita yang diakui Enja penuh kesan dan lucu. Dia juga menceritakan, masih memiliki anggota keluarga lain tetapi kondisi ekonominya tidak jauh berbeda, miskin. “Karena kondisinya seperti itu, akhirnya saya sendiri yang harus bekerja mati matian,” katanya.
Disisi lain, kadang kalau hujan rumah Enja bocor. Namun beberapa hari lalu Enja mendapatkan bantuan untuk perbaikan rumahnya. Enja mengatakan, perbaikan tempat tinggalnya dibantu seorang pejabat di Pemkab Situbondo. Sebelum menyalurkan bantuan, kupas Enja, sang penjabat sempat berkunjung ke rumahnya. “Ya pejabat itu sempat datang ke sini,” urai Enja.
Enja saat ini mengaku sangat berbahagia karena mendapatkan bantuan. Kata dia sudah lama ia ingin memperbaiki rumahnya namun karena terdesak oleh kondisi ekonomi yang pas pasan, membuat Enja mengurungkan diri untuk merehab rumahnya. “Apalagi sekarang sudah musim penghujan, pasti rumah bocor terus,” katanya.
Enja mengucapkan banyak terima kasih kepada pejabat tersebut karena ia tidak menyangka rumahnya yang reot segera dibangun dengan rumah layak huni. “Kalau tidak dibantu, kami akan selalu tinggal dirumah seperti ini. Sekali lagi, saya ucapkan terimah kasih sebesar-besarnya. Semoga Allah selalu membalas kebaikan ini semua,” ujar Enja.
Disisi lain, Eko Febrianto, salah satu warga Situbondo mengatakan, awalnya dia mengetahui kondisi Enja ketika membawa anaknya pijat. Saat itu, dia terkejut melihat kondisi rumah Enja yang sangat prihatin. Eko bahkan lebih kaget lagi karena dalam keluarga Enja banyak anggota keluarga yang tinggal bersamanya. “Itu yang membuat hati saya terketuk untuk membantu Enja,” cerita Eko.
Masih kata Eko, lambat laun ia merasa terpanggil untuk menyalurkan bantuan namun bukan dari tangan Eko sendiri melainkan mencari kepihak ketiga. Karena itu, aku Eko, dirinya tidak bisa memberikan apa-apa. “Saat itu saya berinisiatif menghubungi pejabat Pemkab Situbondo. Dan saya ikut bersyukur karena mendapat respon positif. Tidak lama kemudian, bantuan rehab rumah mulai direalisasikan,” terang Eko.
Menurut pengamatan Eko kondisi ekonomi Enja sangat memprihatinkan dibandingkan warga miskin lainnya yang ada di Kota Santri. Selain kondisi dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu dan berlantai tanah, Enja juga ikut menanggung tujuh orang keluarganya. “Saat saya masuk kedalam rumah Enja, yang ada hanya sebuah lemari yang kondisinya sudahtidak bagus. Bahkan saya ikut mengelus dada karena Enja masih merawat ibu kandungnya yang sudah menua,” pungkasnya. [sawawi]

Tags: