Dana Hibah Otoritas Eksekutif, Usulannya Legislstif

Dosen Sosiologi Hukum Fisip Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Dr Umar Sholahudin

Dana Hibah Rp 7,8 Triliun Diduga Bocor 30 Persen
Surabaya, Bhirawa
Dana hibah yang digelontorkan APBD Provinsi Jatim tahun anggaran 2020-2023 sebesar Rp7,8 triliun. Besarnya anggaran ini ini diduga bocor hingga 30 persen selama dua tahun.
Kebocoran dana hibah ini terjadi karena dialokasikan untuk Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak sebesar 20 persen. Sedangkan 10 persennya lagi untuk Koordinator Kelompok Masyarakat (Pokmas). Dari kelompok ini apakah ada kebocoran lagi?.
Kalau ingin ditelusuri lebih jauh lagi, mungkin tidak hanya Wakil Ketua DPRD Jatim yang kini telah ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu akan merembet, bahkan sampai eksekutif.
Atas kondisi ini, Dosen Sosiologi Hukum Fisip Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Dr Umar Sholahudin, menyarankan perlu adanya evaluasi yang komprehensif terhadap pengajuan dan penggunaan dana hibah.
“Dalam hal ini Gubernur (Khofifah Indar Parawansa) harus mengevakuasi dana hibah. Termasuk bansos dan pengusulan penggunaan APBD. Jangan sampai terjadi kebocoran APBD karena praktik korupsi oknum-oknum legislatif maupun eksekutif,” katanya ketika dikonfirmasi Bhirawa, Rabu (21/12).
Dana hibah bansos, kata Umar, itu semua ada di anggarannya eksekutif. Otoritasnya ada di eksekutif. Meskipun sebagian ada usulan dari para anggota legislatif (aleg) via jaring aspirasi masyarakat (jasmas). “Misalnya konstituen saya minta bangun paving, nah itu bisa diajukan aleg di dana hibah,” terangnya.
Masyarakat Jatim, kata Umar, tentu merasa prihatin lantaran masih ada praktik korupsi dalam penggunaan dana APBD, khususnya dana hibah. “Masyarakat pasti kecewa, karena hibah itu adalah milik rakyat dan di korupsi,” ujarnya.
Umar membeberkan, dana hibah ini domainnya eksekutif. Dimana, pengusulnya sebagian dari para anggota legislatif via kegiatan jasmas. Mustinya, lanjut dia, dana hibah ini full untuk kemanfaatan Masyarakat.
“Tidak ada potongan, termasuk dari Aleg. Aleg hanya mengawal dan memastikan dana hibah untuk Masyarakat tepat sasaran dan sesuai penggunaan dengan nominal yang sesuai pengusulan, tak ada sunat-sunatan,” terang Umar.
Pihaknya pun sangat menyayangkan adanya praktik korupsi dan sistem ijon. “Dana hibah jadi bancaan oknum dan para tengkulak proyek,” imbuhnya.
Padahal, tambah Umar, dana hibah bagus dan sangat membantu kondisi masyarakat, jika penggunaannya tepat sasaran dan bermanfaat langsung ke masyarakat. “Adanya kasus ini (korupsi dana hibah, red), pakta integritas di legislatif dan eksekutif perlu ada pengawasan yang ketat,” pungkasnya.
Diungkapkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak sebelumnya bahwa Pemprov Jatim mengalokasikan Rp 7,8 triliun selama tahun anggaran 2020-2021 untuk dana hibah. Setelah KPK menangkap Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak, penyidik menemukan praktik permintaan fee 30 persen dari angka anggaran tersebut.
“Dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp7,8 triliun kepada badan, lembaga, organisasi masyarakat yang ada di Pemerintah Provinsi Jawa Timur,” kata Johanis dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan beberapa hari lalu.
Johanis mengatakan pihaknya sedang mendalami siapa-siapa saja pihak yang menikmati dana hibah itu, selain Sahat.
“Ini sangat menarik, dana yang digelontorkan Rp7,8 triliun, kalau kami ambil 20 persen untuk fee sistem ijon, kemudian 10 persen sebagai kepala pokmasnya, tentunya kualitas dari uang itu turunnya tinggal 70 persen. Belum nanti oleh kelompok-kelompok ini apakah ada kebocoran-kebocoran dan ini sangat menarik,” jelas dia.
Seperti diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak sebagai tersangka kasus suap pengelolaan dana hibah. Dalam kasus ini, KPK juga menetapkan tiga tersangka lainnya, yakni Rusdi selaku Staf Ahli Sahat, Abdul Hamid selaku Kepala Desa Jelgung sekaligus selaku Koordinator Pokmas, dan Ilham Wahyudi alias Eeng sebagai koordinator lapangan pokmas.
KPK menduga Sahat Tua Simanjuntak telah menerima suap Rp 5 miliar terkait pengelolaan dana hibah. Atas perbuatannya, Sahat dan Rusdi selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara Abdul Hamid dan Eeng selaku pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. [geh]

Tags: