Elegi Si Miskin Dihadapan Tirani Hukum

(Kasus Hukum Petani Miskin; Satumin, Banyuwangi)

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Unmuh Surabaya, Mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial Pascasarjana FISIP Unair, sedang menulis disertasi tentang Konflik Agraria di Jatim.

Ketimpangan dan perlakuan tidak adil seringkali dipertontonkan aparat penegak hukum kita, mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan. Kasus-kasus gurem yang melibatkan kelompok kecil, hukum begitu keras dan menindas. Namun berbeda dengan kasus-kasus yang melibatkan masyarakat pemilik modal dan kekuasaan, hukum seringkali terlambat dan tertambat dengan banyak alasan yang tidak masuk akal. Masyarakat miskin kerapkali menjadi korban ketidakadilan hukum ini. Sementara orang kaya begitu mudah membeli hukum. Penegakan hukum kita laiknya pedang; tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Pernyataan preskriptif tersebut menemukan relevansinya ketika kita melihat realitas penegakana hukum di Indonesia saat ini. Bagaimana hukum bekerja atau memperlakukan pelaku yang melakukan pelanggaran hukum, yakni antara si kaya dan si miskin. Bagi si kaya hukum laiknya barang murah yang bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Sementara bagi si miskin hukum laiknya barang mahal yang sulit untuk didapat.
Elegi Hukum Si Miskin : Satumin
Satumin (43), petani miskin asal Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, yang sudah hidup puluhan tahun di wilayah hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani, tak menyangka niat baik dan kerja kerasnya untuk memanfaatkan lahan sekitar hutan untuk bercocok tanam demi kelangsungan hidup keluarga dan orang tuanya, harus berurusan dengan hukum, dan sekarang ditahan, karena dituduh merusak hutan. Sutumin menggarap lahan pertanian itu sejak 1995 dengan seijin Perum Perhutani, meskipun secara lisan. Buah dari kerja kerasnya, berbagai hasil tanaman pangan pernah diproduksi, mulai jahe dan cabai, hingga beralih buah-buahan seperti alpukat, durian, sesekali diselengi jengkol dan mahoni.
Selama puluhan tahun beraktivitas tani untuk hidupnya berjalan baik-baik saja dan cukup produktif sebagai bekal untuka menghidupi keluarga dan warga sekitar. Sampai pada Januari 2018, ketika Satumin hendak berladang dan menanam kembali lahannya, empat polisi hutan langsung menangkapnya dan dilaporkan ke pihak kepolisian. Sutamin dituduh menggarap lahan Perhutani tanpa ijin alias illegal. Sutamin terpaksa harus berurusan dengan proses hukum di kepolisian.Satumin tidak ditahan, tetapi harus menjalani wajib lapor (sejak Maret sampai Juli 2018). Sutamin dijerat pasal cukup keras dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Satumin didakwa dengan Pasal 17 ayat 2 huruf b UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), yakni terkait dengan melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin di dalam kawasan hutan. Satumin diancam hukuman. paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 93 ayat 2)
Ketika di proses di kepolisian setempat, Satumin mengaku sudah meminta maaf kepada pihak Perhutani dan kepolisian yang memeriksanya, namun niat baik keluarga Sutamin tidak digubris dan proses hukum berlanjut sampai berstatus P21 di Kejaksaan Negeri setempat dan siap disidangkan di meja hijau. Saat ini Sutamin berstatus terdakwa dan ditahan di Kejari setempat. Orang tua Satumin, Suranto (63) tak bisa menahan air matanya ketika mendengar kabar penahanan anaknya.
Mengguat Positivisme Hukum
Dalam pandangan kaum positivisme (hukum), tindakan Satumin adalah sebuah tindakan kejahatan, suatu tindakan destruktif, yang karenanya harus berhadapan dengan hukum dan mendapatkan sanksi hukum. Kata filosof, Socrates, kejahatan bukanlah sebuah keputusan. Artinya kejahatan merupakan sebuah kenaifan, pilihan keterpaksaan, hancurnya tata akal budi manusia (recta ratio). Artinya kehadiran manusia tidaklah bergandengan secara natural dengan kejahatannya. Kejahatan itu tak pernah menjadi pilihan manusia. Thomas Aquinas, sebagaimana dikutip Armada (2013), menegaskan, kejahatan berarti “kekurangan kebaikan” (deprivasi kebaikan). Dengan kata lain, “kejahatan”, apalagi yang dilakukan Satumin dan masyarakat miskin lainnya, adalah produk dari sistem lingkungan sosial-hukum yang bobrok dan tidak manusiawi.
Elegi hukum yang menimpa masyarakat miskin seperti Satumin dan sejenisnya, sungguh menampar wajah kelu penegakkan hukum di negeri ini. Dalam bahasa yang lebih keras, Armada (2011), mengatakan ranah hukum Indonesia kini terancam mendapat wajah baru, Penindas!. Betapa tidak, kasus-kasus sepele, yang menimpa kaum alit dengan kerugian yang tidak seberapa, para aparat penegak hukum begitu keras melalui seperangkat hukumnya- memperlakukan mereka. Mereka adalah satu dari sekian korban “keganasan” sistem hukum yang karut marut di negeri ini.
Praktek ketidakadilan hukum atas masyarakat miskin di Indonesia kerapkali terjadi. Para aparat penegak hukum lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, legalitas-formal, daripada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat. Menurut Budiman Tanuredjo (2011), hukum dapat dipermainkan dan diputarbalikan, terlebih lagi menimpa wong cilik. Banyak kisah-kisah anak manusia ketika berhadapan dengan hukum. Tergambar, bahwa manusia yang lemah harus berhadapan dengan hukum yang karut-marut yang hanya sekadar mencari kebenaran formal, bukan kebenaran substansial. Rakyat yang buta hukum harus berhadapan dengan penegak hukum yang fasih bicara pasal dan punya sifat yang memanfaatkan mereka yang lemah.
Prinsip atau adagium hukum equality before the law, yang ada dan terasa indah dalam di tex books hukum saja. Namun lain dalam tataran praksis. Menurut Eko Prasetyo (2015), adagium itu seolah sebuah kebenaran yang serupa dengan bumi itu bulat. Padahal adagium ini ahistoris. Batal bukan saja karena tak mencerminkan kenyataan, melainkan juga penuh dengan manipulasi. Siapa yang pernah berurusan dengan hukum dan aparatnya akan mengerti kalau pernyataan itu sesat. Persisnya, semua orang itu tak sama di hadapan hukum. Kelas sosial lebih menentukan bagaimana orang berurusan dengan hukum dan bagaimana hukum bekerja.

———– *** ————–

Tags: