Food Estate dan Permasalahannya di Indonesia

Oleh :
Dr Ir Abdul Hamid
Peneliti kbijakan publik bidang pertanian dan lingkungan.

Akhir-akhir ini food estate, sektor pertanian dan pangan menjadi perbincangan aktual di masyarakat. Ada yang mengatakan berhasil dan tidak sedikit yang mengatakan gagal total, bahkan banyak yang mengatakan merusak lingkungan. Itu statement banyak beredar di masyarakat.

Terlepas dari polemik politik yang terjadi akhir-akhir ini di media sosial dan sejenisnya, kami sebagai peneliti kebijakan publik bidang pertanian dan lingkungan akan membahas dari sisi ilmu silvi kultur hutan nya. Dan kebetulan Pak Jokowi pasti paham tentang risiko-risiko tropical rainforest yang rusak, termasuk akibatakibat yang ditimbulkannya karena Pak Jokowi itu alumni Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Kita terjebak dalam paradigma atau pola pikir yang menganggap bahwa food estates dengan pola monokultur yang membuka hutan itu akan biasa-biasa saja dan tidak akan merusak ekosistem hutan, sepintas kelihatannya sepele, tetapi jika program7,4 juta hektar dilakukan di Kawasan hutan ini akan menjadi masalah besar di kemudian hari.

Menurut Prof. Sumarsono, dosen Ekologi hutan tropical rainforest itu, hutan hujan tropical basah itu sifatnya fragil dan sensitif. Kemudian rawan rusak ekosistemnya. Nah kenapa? Karena bila terbuka mungkin karena angin, karena erosi, dan seterusnya terbuka, itu akan mengancam proses nutrient cycling. Bahkan dikatakan oleh Prof. Sabaruddin Saaduddin, juga dosen Fakultas Kehutanan UGM bahwa setiap 1 meter persegi lahan tropical rainforest itu mengandung 10 pangkat 6 mikroorganisme mahluk Tuhan yang harus dilindungi dan makhluk Tuhan ini sangat dibutuhkan dalam proses pembentukan bahan organik tanah..

Sebetulnya proses pemupukan itu sudah diatur oleh yang maha kuasa secara alami, kalau kita lihat klestarian sumber daya alam hutan tanah dan air ini adalah untuk kepentingan kita semua Apalagi tahun 2060, Indonesia program kita agar bebas dari emisi karbon dioksida. kalau ini kita paksakan dengan sistem buka lahan hutan untuk Food estate berarti kita tidak komit dengan janji yang kita ucapkan sendiri.

Kita tahu misalnya Surabaya itu bagus sekali penghijauan, dimana-mana ada taman, Dimana-mana ada bunga-bunga, tetapi perlu kita ketahui bahwa bunga taman itu kemampuan serap karbon dioksidnya, adsopsi CO2-nya hanya sekitar 5% saja, kalau kita mau hidup normal, maka minimal satu orang itu harus mempunyai 3 pohon dengan diameter sekitar 20 cm ke atas. Terhadap ketahanan pangan, contoh masalah bahwa Indonesia memerlukan sekitar 3,5 juta ton kedelai, setiap tahun. Namun pasokan dalam negeri hanya sekitar 500 ribu ton saja, sedang kekurangannya kita harus impor dari beberapa negara termasuk negara Brazil, Amerika. Indonesia masih jauh dari kata swasembada pangan jika kita sungguh-sungguh memprogramkan secara profesional tanpa ada kepentingan tertentu, insyaallah Indonesia itu bisa. Kita tahu kedelai merupakan tanaman golongan C4, tanaman C4 itu artinya tanaman yang membutuhkan cahaya yang banyak, cahaya yang terbuka, Pakar kita banyak yang tahu bahwa kawasan hutan masih bisa kita gunakan melalui teknologi, teknologi tertentu misalnya tanaman utamanya tidak kita tebang tapi kita pangkas saja lebih kurang sekitar 50% pangkasannya, sehingga intensitas cahaya matahari tetap bisa masuk dan tanaman utama tidak terganggu pertumbuhannya, tanaman sela dibawahnya termasuk jagung, cabai, kacang-kacangan bisa tumbuh Inilah yang kita sebut pola agroforestry. Dulu, di tahun 2005, penulis pernah melakukan riset atau penelitian kajian tanaman sela yang ditumpangsarikan dengan tanaman sengon di Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, penelitian ini sekaligus tugas akhir peneliti untuk memperoleh predikat doktor di bidang ekologi tanaman di Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa tanaman pokok yang dipangkas, sekitar 50% pangkasannya tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tanaman pokok. Jadi tidak perlu saat umur 2 tahun, umur tanaman pokok, pesangem perhutani harus keluar meninggalkan lahannya. Kenapa begitu? Disamping mereka kesulitan lahan nanti ada masalah-masalah sosial yang akan muncul, padahal ada teknologi untuk tetap model agroforestry melalui sistem pemangkasannya yang bagus, itu tadi sekitar 50% kembali lagi tentang food estate banyak sekali dapat info, terutama dari Pak Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman buka suara, Karena dia di protes dikritik gitu bahwa banyak sekali yang mengatakan food estate atau lumbung pangan di era Jokowi gagal. Menurut Menteri Pertanian itu, program lumbung pangan tidak perlu diperdebatkan karena sudah ada lumbung pangan yang berhasil, sudah 600 hektare ditanami jagung, berhasil lagi singkong juga sementara kita tanami 600 hektare, kami rawat. Ke depan bukan hanya 1200 hektare yang akan dibangun tetapi 7,4 juta hektare ungkap Amran, yang ingin kami katakan ketika membangun food estate pada kawasan hutan, ironi, Pak Jokowi ahli kehutanan dari UGM sudah mendengung-dengungkan tahun 2060 bebas emisi Dan beliau tahu persis bahwa kontribusi utama serapan karbondioksid terbesar adalah dari pohon hutan dalam proses fotosintesis. Presiden paham betul itu, jika program food estate itu di luar kawasan hutan itu langkah yang bijak apalagi ditambah dengan beberapa teknologi-teknologi masa kini maka pertumbuhan dapat tumbuh dengan baik.

Sebelumnya kita diinfokan di berbagai media masa bahwa program food estate yang dicetus oleh Pak Jokowi diserang orang banyak program sebagian besar gagal, itu harus dicari penyebabnya, kenapa sampai gagal Apakah teknik tanamannya atau karena land clearingnya, land clearing atau pembukaan lahan yang salah juga sangat berpengaruh dengan pertumbuhan tanaman jagung itu sendiri contoh, karena programnya mendesak atau kita sebut crash program, lahan hutan dibuka secara mekanis dan diborongkan kepada pihak swasta Dan harus selesai dalam jangka waktu 3 atau 5 bulan, dalam jangka waktu tertentu misalnya Si swasta kawasan tersebut didoser sedemikian rupa, sehingga pembalikan lahannya sampai tembus ke subsoil Jika ini yang terjadi, permukaan lahan didominasi oleh kandungan AL dan FE, karena itu termasuk lapisan subsoilnya muncul ke permukaan Kandungan AL dan FE muncul secara dominan Nah AL dan FE ini akan mengikat unsur P sehingga unsur P tidak tersedia bagi tanaman, padahal sangat dibutuhkan dalam pembuahan tanaman jagung, meski tidaklah semua food estate itu gagal Ada yang tumbuh baik sesuai harapan dan banyak juga yang gagal Tetapi perlu diapresiasi program food estate ini yang prinsip lebih bagus gagal daripada tidak berani mencoba.

Yang kita takutkan adalah Pelaksanaannya di tingkat bawah apakah betul-betul dilaksanakan sesuai dengan arahan teknis para ahli atau hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja. Contoh konkretnya, penyuluhan dalam pemahaman pada masyarakat di daerah tentu targetnya harus dilakukan penyuluhan selama 10 hari dengan 30 orang petugas. Kegiatan yang dilakukan hanya 5 hari saja dan atau petugasnya hanya 10 orang saja, sehingga masyarakat kurang paham Terhadap informasi yang diberikan oleh para petugas. Pemahaman melalui kegiatan penyuluhan penting sekali agar masyarakat paham. Sehingga di suatu desa itu paham, oh ini loh food estate, oh ini loh cara tanam food estate, oh ini loh cara memilih bibit food estate. Bagaimana cara pemupukan, bagaimana tidak merusak tanah, sehingga petani paham melaksanakannya, sehingga dia tidak melanggar kaedah-kaedah budidaya sesuai yang ditargetkan oleh ahli-ahlinya. Disadari program kilat ini pasti beresiko pengakuan jujur mantan Menteri Pertanian, tidak gampang, karena harus ada penyesuaian kondisi di lapangan, kondisi tanah, unsur hara tanah, bagaimana proses PH-nya, harus dicek semua, Apakah butuh dolomit karena kandungan AL dan FE tadi, atau sudah tidak butuh lagi, ini harus dicek detail. Rangkuman tulisan ini menjelaskan bahwa food estate tidak semuanya gagal, tetapi membutuhkan ketelitian pelaksanaan operasionalnya, yang gagal itu karena programnya buru-buru, food estate di lahan atau kawasan hutan perlu ditinjau kembali secara cermat, karena bisa atau akan dapat merusak ekosistem hutan Dan Pak Jokowi sekali lagi dari sisi silvi kultur paham tentang itu, rangkuman tulisan food estate dan permasalahannya ini, ada tiga pendekatan yang ingin kami sampaikan Pertama, hati-hati betul membuka kawasan hutan, hujan tropika basah, karena sifat hutan tropical rainforest itu pragil (rapuh) sedikit lahan hutan yang terbuka itu akan susah sekali untuk diperbaiki Yang kedua, kehati-hatian kita memilih lokasi, memilih lokasi itu lihat betul di dalam pembukaan kawasan itu Contoh perhutani, di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, tidak pernah land clearing perhutani itu didoser melalui bulldozer mengikis tanah 10-15 cm, sekitar 80 cm itu dipotong kayunya, akarnya itu ditinggal, kemudian ditunggu kira-kira berapa bulan, kayu-kayu sisa potongan ini bisa lapuk, kemudian hancur dan bisa menjadi sebagai bahan organik tanah. Tetapi kalau kita doser mengejar target, memang hasilnya lebih cepat, tetapi resikonya tinggi. Yang ketiga, betul-betul pada saat pemilihan itu harus diawasi jenis tanahnya, harus diawasi beli bibitnya. Bibit ini bisa direkayasa sedemikian rupa, kalau bibit unggul, hybrid-hibit Rp 50.000/kg. Tetapi kalau itu dimanipulasi, karena ini proyek, bibitnya diganti bibit lokal atau bibit yang tidak unggul, gimana dia mau tumbuh baik? harganya Cuma Rp 14.000/kg. Jika beli ratusan ton, berapa selisih keuntungan si pelaksana di dalamnya? Mohon maaf, ini bukan menuduh Karena banyak juga dana taktis harus dia siapkan, untuk kelancaran kegiatannya, yang penting kuantitasnya tercapai, ini yang harus diawasi, Pembelian bibit, kualitas bibitnya, kemudian pengolahan tanahnya juga hati-hati Kemudian pupuk, pupuk ini juga hati-hati, kalau tidak diawasi dengan cermat, bisa saja pupuk dijual ke tempat lain, laporannya di pupuk di sini, itu butuhnya pengawasan, belum lagi ada serangan hama, serangan penyakit. Itulah beberapa, problem dari food estate dan permasalahannya, solusinya, bagaimana kalau food estate ini jangan di kawasan hutan, lalu food estate ini pelaksanannya transpanan Tidak usah besar-besar, suruh karang taruna dilibatkan, keterlibatan penting memberi kegiatan mereka diajak secara bersama-sama dalam perencanaan, pengawasan dan pelaksanannya, maka food estate akan menjadi salah satu jawaban dalam mengatasi kerawanan pangan.

———- *** ————