Formulasi Pemerasan sebagai Tindak Pidana Korupsi

Oleh :
Moch Choirul Rizal
Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syariah IAIN Kediri

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 1946 menentukan pemerasan sebagai kejahatan. Afpersing, istilahnya dalam hukum pidana, dirumuskan dalam Pasal 368 KUHP 1946. Pasal tersebut terdapat padanannya dalam Artikel 317 Wetboek van Straftrecht (W.v.S.). Lalu, formulasinya berkembang. Muncul Pasal 423 KUHP 1946. Merupakan pasal sisipan, sehingga tidak ada padanannya dalam W.v.S (Andi Hamzah, 2010: 90).

Menurut Andi Hamzah (2010: 90), Pasal 423 KUHP 1946 adalah perpaduan antara penyalahgunaan wewenang (Pasal 421 KUHP 1946) dengan pemerasan (Pasal 368 KUHP 1946). Knevelarij, begitu nama tindak pidana ini dalam bahasa Belanda, lalu diterjemahkan, salah satunya, sebagai tindak pidana pemerasan dalam jabatan.

Pasal 423 KUHP 1946 perlu ditetapkan (sebagai pasal sisipan) oleh pemerintah kolonial Belanda. Pasalnya, penguasa pribumi dipandang sering memeras rakyat (Andi Hamzah, 2010: 90). Dengan pasal ini, rakyat tidak lagi menjadi korban (yang pasrah dan terbiasa), sehingga mendapatkan pelindungan hukum (P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2011: 143-144).

Pemerasan sebagai Tindak Pidana Korupsi
Melalui Pasal 43B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 423 KUHP 1946 dinyatakan tidak berlaku. Tapi, rumusannya diacu oleh Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001, “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar sesuatu, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri”.

Unsur yang pertama, “pegawai negeri atau penyelenggara negara”. Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 memberikan kualifikasi “pegawai negeri”, salah satunya, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. Sementara itu, “penyelenggara negara”, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudisial dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Unsur yang kedua, “dengan maksud”. Istilah lain untuk menyebut adanya kesengajaan. Artinya, pelaku mempunyai kehendak dan pengetahuan bahwa perbuatan yang dilakukan (dalam ruang lingkup Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001) adalah melawan hukum. Konsekuensi diletakkannya unsur ini pada urutan yang kedua adalah perbuatan yang dirumuskan setelahnya haruslah dilakukan dengan sengaja.

Unsur yang ketiga, “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”. Dalam doktrin, menguntungkan artinya menambah kekayaannya semula, baik diri sendiri atau orang lain (P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, 2011: 104). Keuntungan itu tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang, termasuk hak (Adami Chazawi, 2018: 76).

Unsur yang keempat, “melawan hukum” atau “menyalahgunakan kekuasaannya”. Sifatnya adalah alternatif. Unsur “melawan hukum” dalam kebijakan hukum pidana korupsi di Indonesia menganut ajaran melawan hukum secara formil. Artinya, untuk menentukan ada atau tidaknya melawan hukum, cukup melihat di dalam peraturan perundang-undangan. Pilihan ajaran yang demikian dapat dijumpai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006.

Sementara itu, unsur “menyalahgunakan kekuasaannya” bukan merupakan perbuatan, tetapi cara dalam melakukan perbuatan memaksa. Menyalahgunakan kekuasaan adalah menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara secara menyimpang dari tata laksana yang seharusnya (Adami Chazawi, 2018: 207-208).

Unsur yang terakhir, “memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar sesuatu, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri”. Memaksa adalah perbuatan (aktif) dengan menekan kehendak (psikis) orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang yang ditekan itu sendiri. Pemenuhan atas pemaksaan tersebut pada akhirnya dilakukan dengan terpaksa (tidak sukarela) (Adami Chazawi, 2018: 205-207).

Unsur tersebut di atas yang membedakan antara pemerasan dengan penyuapan dalam konstruksi tindak pidana korupsi. Dalam pemerasan, inisiatif ada pada pemaksa (pemeras), sehingga yang dipaksa (diperas) tidak dapat dipidana. Sementara itu, dalam penyuapan, inisiatif ada pada penyuap dan yang disuap menghendakinya, sehingga pemberi dan penerima suap dapat dipidana (lihat, Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).

Perbuatan memaksa tersebut harus dihubungkan dengan perbuatan “memberikan sesuatu, membayar sesuatu, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri” secara alternatif. Dalam perbuatan “memberikan sesuatu”, sesuatu itu harus telah beralih kekuasaannya pada orang yang menerimanya (Adami Chazawi, 2018: 213). Peralihan tersebut dapat dimungkinkan dilakukan melalui perantara (Adami Chazawi, 2011: 56).

Perbuatan “membayar sesuatu” artinya menyerahkan sejumlah uang untuk suatu tujuan tertentu atas adanya paksaan dari yang memaksa. Adami Chazawi (2018: 214) mengungkapkan, formulasi pemerasan sebagai tindak pidana korupsi ini dimaksudkan untuk menghindari pembayaran oleh orang yang tidak wajib membayar karena terpaksa oleh adanya tekanan dari pegawai negeri atau penyelenggara negara.
.
Perbuatan “menerima pembayaran dengan potongan” maksudnya adalah tidak ada kewajiban hukum si penerima pembayaran agar jumlah penerimaannya dikurangi (Adami Chazawi, 2018: 214-215). Dengan kata lain, tidak ada hak bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk mengurangi jumlah uang yang seharusnya dibayarkan kepada si penerima pembayaran.

Perbuatan “untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri”, menurut Adami Chazawi (2018: 215), diperlukan beberapa syarat. Orang yang dipaksa tidak mempunyai kewajiban hukum untuk mengerjakan sesuatu yang diminta oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Di samping itu, kepentingan dikerjakannya sesuatu secara terpaksa tersebut hanya ditujukan untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Melihat rumusan perbuatan-perbuatan di atas, seharusnya Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 termasuk sebagai tindak pidana dengan perumusan materiil. Artinya, perbuatan tersebut harus sudah selesai dan menimbulkan suatu akibat tertentu (Moch. Choirul Rizal, 2021: 125-126). Hal tersebut juga mengingat unsur-unsur Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 mengacu pada Pasal 423 KUHP 1946 yang dirumuskan secara materiil.

Namun, pemerasan sebagai tindak pidana korupsi oleh UU No. 31 Tahun 1999 dirumuskan dengan tegas sebagai tindak pidana dengan perumusan materiil. Penegasan tersebut tidak diubah dengan adanya UU No. 20 Tahun 2001. Artinya, meskipun belum ada perbuatan yang mengakibatkan adanya peralihan sesuatu, misalnya, pegawai negeri atau penyelenggara negara sudah dapat dipidana apabila telah dipenuhinya unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang”.

Belum selesainya perbuatan yang dimaksud di atas dapat dikualifikasikan sebagai percobaan, sepanjang memenuhi syarat Pasal 53 ayat (1) KUHP 1946. Mulai dari sudah adanya niat, permulaan pelaksanaan, hingga pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Dengan begitu, menurut Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999, setiap orang yang melakukan percobaan pemerasan sebagai tindak pidana korupsi dapat dipidana.

Kasus Terkini
Beberapa waktu terakhir, publik disuguhkan dugaan pemerasan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri, terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Menurut keterangan Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Ade Safri Simanjuntak, kasus tersebut sedang dalam penyidikan. Artinya, memang ada tindak pidana.

Namun, dugaan tindak pidananya bukan saja pemerasan, tetapi ada juga gratifikasi. Itulah salah satu tugas penyidik dalam penyidikan, yaitu membuat terang tindak pidana apa yang diduga dilakukan melalui alat bukti dan barang bukti yang dikumpulkan. Baru kemudian menetapkan siapa yang tersangkanya.

Apabila perbuatan terlapor mengarah pada pemerasan dalam ruang lingkup tindak pidana korupsi, maka unsur-unsur dalam Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 harus terpenuhi. Dengan begitu, pelapor tidak dapat dipidana. Atau, justru merupakan tindak pidana penyuapan? Kita tunggu.

———– *** ————-

Tags: