Guru Honorer, antara Perjuangan dan Kesejahteraan

Oleh :
Amir Rifa’i
Dosen AIK UMM dan Pemerhati Pendidikan

Guru merupakan tiang peradaban yang memegang peran penting dalam membentuk generasi emas di masa depan. Akan tetapi, seringkali guru dipandang seblah mata karena materi yang didapatkan tidak sesuai dengan yang dikerjakan. Di Indonesia sendiri, realitasnya seorang guru tidak selalu mencerminkan penghargaan yang layak bagi dirinya, khususnya bagi guru honorer.

Walaupun memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan, gaji guru honorer masih jauh di bawah rata-rata, hal inilah yang menimbulkan tantangan besar bagi kesejahteraan dan motivasi para pendidik kini. Permasalahan yang terjadi seputar gaji guru honorer menyisakan kesan yang “horror” pula. Bagaimana tidak, mereka seringkali mengajar di sekolah-sekolah di daerah terpencil atau kota-kota kecil yang sulit dijangkau oleh guru penuh waktu. Namun, ironisnya, meskipun tanggung jawab dan dedikasi mereka tidak kalah dengan guru tetap, gaji yang mereka terima jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Guru honorer, seakan menjadi sosok tak terpisahkan dalam panorama pendidikan di Indonesia. Mereka adalah pilar utama dalam menyebarkan ilmu pengetahuan, membentuk karakter dan membuka pintu masa depan bagi generasi muda. Akan tetapi di balik kecemerlangan peran mereka, terdapat realitas yang kurang menyenangkan, yakni gaji yang terus menerus masih di bawah standar kesejahteraan. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan ketidakadilan sosial bagi para pengajar, tetapi juga berpotensi merusak kualitas pendidikan secara keseluruhan.

Oleh karena itu, marilah kita telaah bersama akar masalah yang melatarbelakangi gaji guru honorer yang terbilang ‘horor’ tersebut. Salah satu aspek utamanya adalah kurangnya pengakuan terhadap peran guru honorer dalam sistem pendidikan. Mereka sering dianggap sebagai guru pengganti atau bahkan hanya ‘pelengkap’ dalam kurikulum pendidikan. Pandangan seperti inilah yang mengakibatkan perlakuan yang kurang adil terhadap gaji dan kesejahteraan mereka.

Selanjutnya adalah kurangnya anggaran yang dialokasikan untuk aspek pendidikan. Meskipun pemerintah telah berkomitmen untuk meningkatkan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, namun alokasi dana yang tersedia masih belum mencukupi untuk memperbaiki kondisi gaji guru honorer secara keseluruan. Akibatnya, banyak diantara mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit untuk ditinggalkan.

Ada pula hal ini dikarenakan sistem rekrutmen dan pengangkatan guru honorer juga menjadi faktor yang memperburuk situasi. Banyak guru honorer direkrut melalui mekanisme yang kurang transparan dan tidak adil, seringkali melalui jalur nepotisme atau koneksi politik. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki kepastian dalam pekerjaan dan gaji yang mereka terima, serta rentan terhadap eksploitasi oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.

Maka dikarenakan ketidakpastian dalam pekerjaan inilah yang menjadikan mereka tidak memiliki jaminan akan mendapatkan kontrak kerja untuk periode selanjutnya, juga seringkali harus hidup dalam ketidakpastian apakah kontrak mereka akan diperpanjang atau tidak. Perkara tersebut dapat berdampak pada stabilitas finansial mereka, juga memengaruhi kualitas pengajaran yang dapat mereka berikan kepada murid-murid disekolah.

Bahkan stigma sosial muncul terhadap profesi guru honorer juga turut memperburuk keadaan mereka. Seringkali kita dengar di masyarakat, guru honorer dianggap sebagai “guru kelas bawah” yang kurang berkualitas dibandingkan dengan guru tetap atau bahkan guru negeri (PNS/PPPK). Stigma ini tidak hanya merugikan secara psikologis, tetapi juga dapat mengurangi motivasi dan semangat kerja para guru honorer dalam melaksanakan tugas mereka dengan baik.

Dengan mencermati berbagai keadaan tersebut, sudah seharusnya pemerintah dan semua pihak terkait mengambil langkah-langkah konkret untuk meningkatkan kondisi mereka. Dengan meningktkan anggaran pendidikan menjadi prioritas utama dalam setiap pembahasan anggaran negara. Adanya alokasi dana yang memadai, pemerintah dapat memberikan gaji yang layak bagi semua guru, tanpa kecuali guru honorer.

Sebagai contoh, beberapa waktu terakhir ini, penulis melihat beberapa postingan dari media massa yang memperlihatkan seorang guru honorer yang telah mengabdi selama sebih dari 35 tahun mengajar disekolah, namun tidak diangkat dengan gaji yang serba pas-pasan bahkan bisa dikatakan kurang, sehingga selepas mengajar sang guru tersebut harus mencari botol bekas untuk dijual Kembali demi memenuhi kebutuhanya, miris bukan.

Maka penulis berharap adanya reformasi dalam sistem rekrutmen dan pengangkatan guru honorer juga sangat diperlukan. Proses rekrutmen harus dilakukan secara transparan dan berdasarkan pada kualifikasi serta kompetensi, bukan atas dasar hubungan personal atau politik. Dengan demikian, guru honorer dapat memiliki kepastian dalam pekerjaan mereka dan merasa dihargai atas kontribusi mereka dalam dunia pendidikan.

Kesimpulanya, gaji guru honorer yang terus menerus di bawah standar kesejahteraan adalah masalah yang tidak dapat diabaikan dalam dunia pendidikan Indonesia. Secara keseluruhan, permasalahan gaji guru honorer di Indonesia membutuhkan solusi yang holistik dan berkelanjutan. Diperlukan komitmen bersama dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan semua pihak terkait untuk melakukan perubahan yang signifikan dalam meningkatkan kondisi mereka. Dengan upaya yang bersinergi, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif, adil dan berdaya bagi semua guru, termasuk guru honorer, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi maksimal dalam membentuk masa depan bangsa.

———— *** ————

Tags: