Sekolah “Perang” PPDB

Ribuan spanduk dan baner PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) tahun ajaran baru 2024-2025, sudah dimulai ditebar. Sekolah swasta harus berupaya memperoleh calon murid sebanyak-banyak-nya. Bagai berburu murid, bertarung dengan sekolah negeri. Karena proses PPDB, dianggap belum adil. Ujungnya, ke-gaduh-an PPDB bukan sekadar “permainan” sekolah negeri. Melainkan juga kecurangan wali murid, yang memalsukan domisili calon peserta didik kelas 1, kelas 7, dan 10.

Namun sesungguhnya, “akar masalah” terletak pada biaya Pendidikan. Karena sekolah negeri lebih murah (dan bermutu), sehingga menjadi perburuan orangtua murid. Ke-gaduh-an menjadi perhatian seksama kalangan parlemen. Komisi X DPR-RI, sampai perlu mengundang Menteri Pendidikan. Padahal tatacara PPDB telah diberlakukan sejak tahun ajaran baru 2017. Tetapi terasa masih terdapat permasalahan. penerbitan sehingga perlu diterbitkan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB jenjang TK, SD, SM, SMA, dan SMK.

Realitanya, sampai PPDB tahun 2024 masih ricuh, berkait persyaratan masuk sekolah kelas I, kelas VII, dan kelas X. Sekolah negeri bagai “sapu bersih” calon murid Sampai masif tuduhan sekolah negeri “bermain” dalam seleksi penerimaan siswa baru. Persyaratan yang sering menjadi perselisihan, diantaranya zonasi, prestasi, dan usia. Serta kuota jumlah siswa baru. Panitia PPDB menggunakan ukuran zonasi berdasar aplikasi google maps (yang biasa berpatokan pada lintas jalan utama).

Sedangkan orangtua murid menggunakan “jalan tikus” (yang biasa dilalui masyarakat golongan ekonomi bawah). Perbedaan panjang jalan sangat mempengaruhi persaingan perolehan bangku sekolah. PPDB wajib berdasar Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Dalam pasal 12 ayat (2) diatur 4 jalur penerimaan siswa baru. Yakni, zonasi, minimal 50% daya tampung (kecuali SD 70%). Jalur kedua, afirmasi (jatah keluarga miskin, dan penyandang disabilitas) sebesar 15%.

Serta masih terdapat jalur perpindahan tugas orangtua, sebesar 5%. Sisanya untuk jalur prestasi. Jalur zonasi menjadi prioritas, dengan menyebut kata “minimal.” Sehingga sebenarnya, panitia PPDB bisa menerima lebih banyak. Tetapi daya tampung rombel (rombongan belajar), bagai simalakama. Di kawasan perkotaan, PPDB sekolah negeri dianggap “sapu bersih.” Sehingga sekolah swasta hanya menerima sedikit murid baru. Bahkan di perkotaan, banyak SD swasta menerima murid kurang dari 10 anak.

Tetapi di perdesaan, SD (dan Madrasah Ibtidaiyah, MI) swasta memperoleh murid cukup memadai. Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2023, penyelenggaraan sekolah swasta menjadi tulang-punggung utama kependidikan nasional. Mencapai rata-rata sekitar 92%, terutama diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan ber-altar keagamaan. Jumlah sekolah (SD hingga SLTA) sebanyak 399.376 unit.

Swasta sangat berjasa dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun sekolah swasta memili problematika yang tidak bisa dianggap sepele. Saat ini, Lembaga (Yayasan) kependidikan, Bagai “tambang penghasilan.” Harus diakui, realitanya, pendiri, dan Pembina Yayasan Pendidikan minta jatah gaji. Padahal berdasar UU Nomo2 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, dilarang menggaji pendiri, pembina, dan pengurus Yayasan.

Pemerintah daerah (sebagai penanggungjawab Pendidikan Dasar), perlu meningkatkan mutu penyelenggaraan pengajaran. Terutama tambahan guru (untuk semua jenjang). Serta sokongan gaji guru swasta. Beberapa Pemerintah Kabupaten dan Kota, telah menyokong penghasilan guru swasta. Walau masih sangat minimalis, tunjangan profesi sangat bermakna. Karena masih banyak guru dihonor sebesar Rp 200 ribu per-bulan!

UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, meng-amanatkan penghasilan guru yang pantas dan memadai. Tercantum pada pasal 40 ayat (1) huruf a, bahwa guru berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.

——— 000 ———

Rate this article!
Sekolah “Perang” PPDB,5 / 5 ( 1votes )
Tags: