Harga Beras Naik, Pakar Unair Sebut Paleo Diet Jadi Alternatif

Surabaya, Bhirawa
Kenaika harga beras yang terjadi sejak lima bulan terakhir hingga menyentuh angka Rp 14.000 per kilogram untuk beras medium dan Rp 18.000 per kilogram untuk beras premium dinilai yang tertinggi dalam sejarah. Harga tersebut bahkan membuat masyarakat cukup resah. Karena beras menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat Indonesia.

Pakar Paleoantropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Airlangga, Prof Dr Phil Toetik Koesbardiati DFM PA(k) menyebut kenaikan harga beras tidak hanya menjadi permasalahan ekonomi, tetapi juga memiliki implikasi yang mendalam dalam konteks sosiologi budaya. Beras, sebagai salah satu komoditas pangan utama yang memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat Indonesia, memiliki makna simbolis dan nilai budaya yang mendalam.

“Fenomena ini dapat mencerminkan dinamika sosial yang kompleks yang ada pada masyarakat. Bahan pokok beras menjadi semacam nilai bahwa jika tidak makan beras sama halnya dengan ketidakmampuan ekonomi,” ujar dia, Rabu (13/3).

Menurutnya beras menduduki tingkat paling tinggi dalam urutan bahan pokok karbohidrat. Sehingga jenis penggunaan dan pengelolaan pun mencerminkan kelas sosial.

Ia menambahkan sejarah domestikasi makanan pokok mencatat bahwa biji-bijian seperti gandum, sorgum, jewawut, dan jagung telah dikenal sejak zaman kuno, dengan kultivasi awal dilakukan oleh masyarakat Mesir dan Mesoamerika. Sementara itu, padi, sebagai sumber karbohidrat utama, didomestikasi di mainland Asia, terutama di China, Thailand, dan Vietnam sekitar 10-11 ribu tahun yang lalu.

Pengaruh dari budaya Austronesia yang menyebar dari Asia Timur, termasuk melalui Taiwan dan Filipina. Dari sini, pengetahuan tentang kultivasi padi menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat Austronesia juga membawa pengaruh tanaman karbohidrat lain seperti jagung dan biji-bijian lain. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah terbiasa dengan jenis sumber makanan karbohidrat non beras seperti sagu dan umbi-umbian.

Guru Besar FISIP UNAIR mengungkapkan, konsumsi beras dalam sejarah Indonesia mencerminkan upaya menuju swasembada beras yang sering menjadi fokus pembangunan jangka panjang. Meskipun berhasil beberapa kali, pencapaian swasembada tidak berlangsung lama. Beras juga menjadi simbol hubungan sosial, menjadi simpati di masa duka dan kompensasi dalam konteks administrasi negara. Lebih lanjut, ketergantungan pada beras, menurutnya menciptakan rasa tidak nyaman jika persediaan berkurang. Oleh karenanya kepanikan atas kenaikan harga beras menjadi hal yang dapat dimengerti. sekalipun kesadaran memanfaatkan bahan pokok alternatif selain beras sudah banyak didengungkan, namun kesadaran untuk memanfaatkan bahan pokok pengganti beras tampaknya kurang diminati.

“Maka perlu diapresiasi ketika sekelompok etnis menyerukan kembali konsep paleo diet, yaitu mengadaptasi pola makan manusia pada zaman dulu tanpa harus memerlukan beras. Bisa dengan pengelolaan bahan minim lemak, tanpa harus digoreng maupun proses memasak yang lama seperti biji-bijian dan umbi-umbian,” paparnya. [ina.why]

Tags: