Hasil Riset Tak Berharga di Negeri Sendiri

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menjadi key noter speaker dalam wisuda Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Minggu (3/4). [adit hananta utama/bhirawa]

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menjadi key noter speaker dalam wisuda Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Minggu (3/4). [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Pengembangan hasil riset peneliti tanah air hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia. Ada banyak hasil riset yang tidak berharga di negeri sendiri, namun justru laku keras di negara lain.
Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa menyoroti hal itu saat menjadi keynote speaker dalam wisuda ke-85 Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Minggu (3/4) kemarin. “Dana riset dan development kita belum sampai 1 persen,” kata dia. Artinya, satu persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia membutuhkan dana sekitar Rp 110 triliun. “Kita belum sampai segitu, atau baru nol koma sekian,” lanjutnya.
Khofifah mengatakan, penghargaan terhadap hasil riset tidak hanya mengandalkan dana APBN. Dibutuhkan peran serta private sector. Di China, Malaysia, maupun beberapa negara lain, mewajibkan private sector menyediakan anggaran tertentu untuk penguatan penelitian. “Ini masih terus kita dorong. Karena itulah yang bisa memberikan improvement dari seluruh produk-produk kita ketika berkompetisi di lini manapun,” ungkap mantan anggota DPR RI ini.
Kondisi Indonesia saat ini, lanjut Khofifah, masih jauh dari capaian Pemerintah Malaysia yang sudah mengalokasikan dana riset 5 persen dari PDB. Itu tidak cuma dari pemerintah, namun juga banyak perusahaan.
Enam belas tahun lalu, lanjut Khofifah, China sudah mencapai 10 persen pendapatan dari produk hasil penelitian dan pengembangan anak negerinya. “Saya sering temukan banyak elemen bangsa ini belum siap berkompetisi. Ketika siap ruang belum nyambung dengan kerja nyata. Saat produk penelitian ditawarkan ke instansi tidak ada respon,” katanya prihatin.
Sehingga produk riset itu dibeli luar negeri. Penghargaan Indonesia pada keilmuan, sains murni maupun terapan belum ada dan belum menjadi referensi untuk berbagai kebijakan. “Seluruh kementerian, lembaga, privat sektor harus didorong memberi apresiasi produk keilmuan,” tuturnya.
Dalam Masyarakat Ekonomi ASENA (MEA), jarang sekali menyebut trans pacific partnership agreement (TPPA). Padahal itu lebih luas lagi dibanding MEA. Ini mengharuskan bangsa Indonesia melakukan persiapan terus-menerus. Tidak hanya secara kualitas sumber daya manusia (SDM), tapi juga investasi-investasi yang masuk. “Kita harus berpikir bagaimana menjadi bagian penguatan dari seluruh proses interaksi tidak hanya lingkup ASEAN maupun pasifik, melainkan ke tingkat global,” pungkasnya. [tam]

Tags: