Hukum dan Keadilan untuk Arsyad

Umar SholahudinOleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FH Unmuh Surabaya, Penulis Buku :; Hukum dan Keadilan Masyarakat (2011)

Ketimpangan dan perlakuan tidak adil seringkali dipertontonkan aparat penegak hukum kita, mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan. Kasus-kasus gurem yang melibatkan kelompok kecil menjadi trend penegakan hukum, baik di tingkat pusat maupun di tingkat Jawa Timur. Berbeda dengan kasus-kasus yang melibatkan masyarakat pemiliki kekuasaan dan kekuasaan seringkali terlambat dan tertambat dengan banyak alasan yang tidak masuk akal. Masyarakat miskin masih menjadi korban ketidakadilan hukum ini. Mereka adalah kelompok rentan yang tidak cukup memiliki akses terhadap keadilan. Hukum bagi masyarakat miskin menjadi kepastian tanpa keadilan hukum.
Salah satu kasus hukum yang menjadi sorotan publik adalah kasus Muhammad Arsyad. Arsyad yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang sate secara mendadak ditangkap di rumahnya dan kemudian langsung ditahan, karena diduga telah melakukan tindak pidana; mem-bully Persiden Jokowi dengan gambar porno melalui media sosial. Polisi mentersangkakan Asryad karena melanggar UU pornografi dan UU ITE, pasal 27 dengan ancaman 5 tahun. Kasus ini efek dari “perang di  medsos” pada saat Pilres lalu.
Kasus ini langsung mendapat respon publik ; ada sebagian pihak sangat menyayangkan tindakan “pro aktif” aparat kepolisian dalam memperlakukan Arsyad. Karena ada ribuan kasus yang serupa pada saat Pilpres lalu tidak ada tindakan apapun. Alasan lain, mengapa kasus sepele dan dilakukan orang miskin yang tidak tahu hukum seperti Arsyad, hukum begitu kerasnya. Sementara sebagian berpendapat, tindakan Arsyad tidak dibenarkan secara hukum, dan karenanya layak untuk dihukum agar dapat menimbulkan efek jera. Bagaimanapun juga tindakan Arsyad tidak dibenarkan secara hukum, tapi apakah hukum harus memperlakukan Arsyad seperti itu?. Bagi kaum positivist (hukum), hukum harus ditegakkan dan karenanya siapapun itu yang melanggar hukum, termasuk Arsyad harus diproses secara hukum (equality before law).
Sementara, bagi kaum non-positivist (hukum), perspektif sosiologi hukum, kasus sepele seperti Arsyad mirip dengan kasus-kasus serupa semisal; nenek minah dengan kakaonya, Kholil dan Basar semangka dengan, kasus sandal cepit, dan kasus kecil lainnya yang menimpa kelompok masyarakat marginal, tidak perlu diproses secara hukum. Ada alternative solusi yang lebih soft, berkemanfaatan, dan berkeadilan, yakni melalui mekanisme restorative justice. Justru ketika, kasus-kasus seperti itu diselesaikan melalui jalur hukum (positif) akan menimbulkan image ketidakadilan.
Kasus Arsyad dan kasus-kasus yang serupa dengan Arsyad, menimbulkan pertanyaan “provokatif”, bolehkah atau haruskah hukum diskriminatif.  Apakah  maknanya  equality  before  the  law,  persamaan  di  hadapan  hukum?  Apakah itu  berarti  tidak  ada  perbedaan  sama  sekali  dalam  hukum?  Apakah  hukum  tidak boleh  diterapkan  untuk  orang  yang  berbeda?  Mantan Wakil Menhukham, Deny Indrayana, pernah mengatakan,  persamaan  dihadapan hukum bukan berarti hukum harus berlaku sama bagi setiap orang. Persamaan di hadapan hukum justru mensyaratkan perlakuan hukum yang berbeda kepada setiap orang, dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Jelasnya, hukum tidak jarang harus diperlakukan berbeda, diberlakukan diskriminatif,  justru agar hukum itu menjadi  adil.  Itulah  yang  dikenal  dengan  konsep  diskriminasi  positif  (affirmative actions)
Tanggung Jawab dan Peran Negara
Dalam perspektif, HAM, Negara memiliki setidaknya dua  peran dan tanggung jawab primer, yakni pertama, tanggung jawab dan kewajiban untuk memenuhi (to fulfill). Dalamkonteks ini, negara bertanggung jawab dan berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, adminsitratif, judicial, dan kebijakan praktis untuk memastikan hak-hak yang menjadi kewajibannya dapat terpenuhi sehingga pencapaian maksimal.  Kedua, tanggung jawab dan kewajiban untuk melindungi HAM juga mensyaratkan tindakan aktif dari negara, namun berbeda dengan apa yang disebut dalam point satu, yaitu negara berwajiban memastikan tidak terjadinya pelanggaran HAM, khususunya terkait dengan ketidakadilan terhadap masyarakat msikin (Pusaham UII, 2012; 23).
Mengenai perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk dalam hal ini adalah warga miskin yang berhadapan dengan hukum, UU No. 39 tahun 1999 memuat pokok-pokok berikut : (a). menetapkan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat rentan behak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhusussannya (pasal 5 ayat (3)), dan bahwa yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah, orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, perempuan hamil, dan disfable (penjelasan pasal 5 ayat (3)). Karena itu, dalam konteks penegakkan hukum terhadap kelompok rentan tersebut, diperlukan affirmative action/policy. Kelompok rentan/miskin harus diperlakukan berbeda dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan alasan yang positif. Hal ini diperlukan agar perbedaan yang mereka alami tidak terus menerus terjadi. Dan memang dengan sifat dan karakter kemiskinannya, apalagi tindak kejahatan yang dilakukan (baca: pidana ringan) tidak didasarkan pada motif kriminal dan memperkaya diri (baca: contoh mencuri), tindakan mereka lebih karena faktor keterpaksaan kebutuhan (criminal by need).
Dalam situsi dan kondisi semacam itu, tindakan afirmatif ini  membolehkan negara secara lebih dan “diskriminatif” kepada kelompok tertentu atau warga miskin. Bahkan menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara untuk secara pro aktif untuk memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang berkeadilan. Karena bagaimanapun juga, orang miskin yang melakukan pelanggaran pidana tersebut, lebih karena faktor kemiskinannya. Dan kemiskinan mereka lebih karena produk dari kemiskinan struktural, yang mana di sana ada pelanggaran negara dalam memberikan perlindungan dan jaminan kesejahteraan masyarakat.
Jika perspektif HAM tersebut kita tempatkan sebagai dasar filosofis dan paradigma berhukum dalam menangani kasus-kasus hukum (ringan) yang menimpa kelompok masyarakat miskin, maka paradigma berhukum negara harus dikembangkan tidak sekedar berhukum dengan peraturan, legalistik-positivistik, namun berhukum juga harus mengikutsertakan segala potensi diri yang dimiliki manusia. Meminjam pemikirannya Satajipto Raharjo (2009) tentang hukum progresif, Hukum Progresif: Aksi, bukan Teks, menyebutkan bahwa hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum yang bersifat non-linear, oleh karena adanya faktor aksi dan usaha manusia yang terlibat di dalamnya; keterlibatan manusia ini menyebabkan cara berhukum tidak melulu berkaitan dengan mengeja teks, melainkan penuh dengan kreatifitas dan pilihan-pilihan. Bagi hukum progresif; “hukum bukan untuk hukum” sebagaimana yang dimaknai oleh kaum positivis, tetapi adalah “hukum untuk manusia”. Hukum tidak sepenuhnya otonom, melainkan senantiasa dilihat dan dinilai dari koherensinya dengan manusia dan kemanusiaan, serta kondisi masyarakat yang menaunginya.
Berhukum tidak sekedar membaca dan menerapkan peraturan, cara berhukum (progresif) adalah perpaduan dari berbagai faktor sebagai unsurnya; misi hukum, paradigma yang digunakan, pengetahuan hukum. Pemahaman peraturan per-UU-an, sampai kepada hal-2 keperilakuan dan psikologis, ; komitmen, keberanian (dare), determinasi, empati serta rasa perasaan. Keterpurukan hukum kita yang berakibat pada praktik ketidakadilan hukum, tak lepas dari cara berhukum kita yang masih lebih didominasi “berhukum dengan peraturan” daripada “berhukum dengan hati nurani dan akal sehat”.
Berhukum dengan peraturan adalah berhukum minimalis, yaitu menjalankan hukum dengan cara menerapkan apa yang tertulis dalam teks secara mentah-mentah. Ia berhenti pada mengeja undang-undang. Jiwa dan roh (conscience) hukum tidak ikut dibawa-bawa. Sedangkan menurut Sosiolog Soetandyo (2008) dalam tulisannya, “Nenek Minah Tak Curi Cokelat”, mengatakan Hukum yang berkeadilan adalah hukum nasional yang dalam terapannya dari kasus ke kasus mampu menyapa kaidah-kaidah moral yang berlaku di masyarakat lokal,, yang mash diyakini kebenarannya oleh mayarakat setempat.

                                                                                         ———————— *** ———————–

Rate this article!
Tags: