Indonesia Darurat Utang

Oleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Akhir-akhir ini, sorotan terhadap utang pemerintah semakin tajam. Berbicara soal utang memang selalu menjadi bahan perbincangan yang menarik perhatian khalayak, apalagi berbicara seputar utang pemerintah baik utang luar negeri (ULN) maupun penerbitan surat berharga negara (SBN) yang terus meningkat sejak pemerintahan dijalankan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sorotan masyarakat terhadap peningkatan utang pemerintah dalam tiga tahun di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi merupakan hal yang wajar karena faktanya memang demikian. Pemerintah justru harus melihat dari sisi positif sebagai sebuah peringatan supaya arah kebijakan pengelolaan utang senantiasa berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian, dan jangan sampai pengalokasiannya melenceng dari sektor produktif.
Utang negara
Merujuk data dari BI tercatat total ULN saat ini mencapai USD343,1 miliar, bila dikonversi dalam rupiah sebesar Rp4.631 triliun. ULN yang terdiri atas utang publik (pemerintah dan bank sentral) dan swasta tumbuh sekitar 4,5 persen bila dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. ULN pemerintah dan bank sentral tumbuh sekitar 8,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Detailnya, ULN swasta naik tipis sekitar 0,6 persen dibandingkan periode sama pada 2016. Komposisi ULN dilihat dari jangka waktu didominasi ULN jangka panjang sekitar 86,2 persen dari total ULN dengan pertumbuhan sekitar 3,4 persen pada akhir kuartal ketiga 2017 dibandingkan kuartal ketiga 2016. Disusul ULN jangka pendek yang meningkat 11,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dilihat dari sektor ekonomi, posisi ULN swasta berfokus pada empat sektor, yakni keuangan, industri pengolahan, listrik, gas, air bersih (LGA), dan pertambangan.
Utang komersial tercatat sekitar 86 persen dari total utang pemerintah yang meliputi pinjaman luar negeri, pinjaman dalam negeri, dan penerbitan SBN. Selebihnya dari Bank Dunia sebesar 7 persen, Jepang sekitar 5 persen, Asia Development Bank (ADB) 3 persen, dan lainnya tercatat 4 persen. Dari tahun ke tahun, rasio utang terhadap PDB terus mencatat peningkatan walau naiknya tidak signifikan, mulai 2013 sebesar 24,9 persen, lalu 2014 sedikit turun menjadi 24,7 persen, kemudian naik lagi menjadi 27,4 persen pada 2015, dan sebesar 28,3 persen pada 2016 lalu.
Setelah melihat data yang demikian, dapat terartikan bahwa meningkatnya utang pemerintah berarti juga semakin memberatkan posisi APBN karena utang itu harus dibayar beserta bunganya. Penarikan pinjaman luar negeri baru akan berdampak pada meningkatnya stok pinjaman luar negeri. Sebelum public dan kita saling menyalahkan, perlu kita pahami bersama bahwa hal tersebut tidak terlepas dari tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat, karena bagaimanapun juga meningkatnya ULN pemerintah seiring dengan meroketnya kebutuhan pembiayaan untuk proyek infrastruktur.
Selama ini penulis perhatikan sikap pemerintah terhadap utang, selalu mendua. Pengalaman buruk dengan ketergantungan pada utang luar negeri membuat kita alergi terhadap utang ini. Selama puluhan tahun, utang telah menyandera kedaulatan kita sehingga Indonesia harus tunduk kepada kekuasaan asing dalam pengelolaan ekonomi dalam negeri, pemanfaatan sumber daya ekonomi, termasuk di sektor-sektor yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. Utang dianggap menjadi instrumen penjajahan terselubung.
Melihat kenyataan yang demikian, wajar adanya jika selama ini desakan untuk menghentikan kecanduan akan utang tak pernah berhenti disuarakan, terutama dari kalangan masyarakat madani. Sebaliknya, sebagian kalangan menganggap penggunaan utang tidak masalah selama untuk tujuan produktif menggenjot pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Menjadi masalah ketika ternyata sebagian utang diselewengkan seperti sering terjadi selama ini.
Dilema utang
Paradigma kita dalam melihat utang mungkin juga perlu diubah. Utang sekadar sebagai pelengkap dalam pembiayaan pembangunan hanya akan jadi slogan jika pertumbuhan ekonomi semakin menggantungkan pada utang, sementara kita alpa menggali sumber pendanaan di dalam negeri sendiri, baik perbankan maupun nonperbankan, atau dana warga negara Indonesia yang diparkir di luar negeri.
Lebih fatal lagi jika pola pikir kita hanya berhenti melihat rasio utang. Mindset tersebut bisa menyesatkan dan meninabobokan. Ingat, kita bukan AS, Jerman, Jepang, atau negara maju lain yang memiliki kemewahan yang memiliki rasio utang hingga ratusan persen dari PDB, tetapi tak kesulitan membayar utang. Rasio utang mungkin bukan masalah seandainya kapasitas kita untuk membiayai utang juga mendukung.
Idealnya, kemampuan membayar utang tergantung dari kemampuan menggenjot penerimaan. Kondisi gali lubang tutup lubang menunjukkan, kalaupun belum lampu merah, utang luar negeri sudah lampu kuning. Bukan hanya swasta yang harus berhati-hati, melainkan juga pemerintah. Ketatnya likuiditas di dalam negeri dan perkiraan peningkatan suku bunga global akan membuat pemerintah dihadapkan pada situasi berat peningkatan beban utang, antara lain karena meningkat pula imbal hasil (yield) surat utang yang diterbitkan pemerintah (SBN).
Lebih-lebih dengan kepemilikan asing yang terus meningkat, mencapai Rp 459,9 triliun (37,8 persen) saat ini. Peningkatan porsi kepemilikan asing atas surat utang pemerintah membuat kita sangat rentan terkena gejolak ekonomi global. Jika tak hati-hati, utang bisa menjadi pisau bermata banyak: menekan APBN, menguras cadangan devisa, serta mengancam rupiah dan ekonomi secara keseluruhan. Di sini pentingnya mitigasi risiko, pengelolaan yang hati-hati, penggunaan utang yang bertanggung jawab, dan mengakhiri rezim pertumbuhan ekonomi yang terlalu bertumpu pada utang.
Saya kira, teknokrat, politikus, dan kaum birokrat Indonesia sejak era reformasi tidak belajar dari krisis multidimensional pada tahun 1997 dan 1998. Jika mereka belajar dengan baik dan mencintai negeri ini dengan sepenuh hati, disertai kuatnya semangat mengangkat harkat martabat bangsa, mereka tidak akan menciptakan utang luar negeri baru. Bahkan, sudah sepatutnya mereka yang memperoleh amanah konstitusi untuk melakukan “3 R” (restrukturisasi, reskedul, rekondisi) guna tegaknya kedaulatan ekonomi.

———— *** ————-

Rate this article!
Indonesia Darurat Utang,5 / 5 ( 1votes )
Tags: