Isra’ Mi’raj Penglipur Lara

isra-mirajNEGARA secara resmi rutin menyelenggarakan peringatan Isra’ Mi’raj, sejak dekade awal kemerdekaan (tahun 1950). Berbagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, juga menyelenggarakan hal yang sama. Hal itu menandakan, bahwa peringatan Isra’ Mi’raj memiliki makna (urgensi) strategis. Sebagai penglipur spiritual soaial. Yakni, meningkatnya pengharapan dalam situasi sulit. Hari esok yang lebih baik, menjadi doa utama Nabi Muhammad SAW pada masa sulit.
Amul Huzni (masa paling sulit), pernah dialami kanjeng Nabi SAW, sekitar tahun 619 masehi (9 tahun dari masa kenabian). Pada setahun itu, Khadijah r.a. (istri Nabi SAW) dan Abu Thalib r.a. (paman sekaligus wali asuh Nabi SAW) meninggal dunia. Padahal, istri dan paman beliau SAW, merupakan pelindung utama secara fisik, moral, sosial, dan spiritual. Sejak itu, kebencian dan serangan kepada Nabi SAW makin gencar dan terang-terangan.
Ahli tarikh (sejarah Islam), meyakini bahwa agama Islam saat itu pada situasi kritis. Sampai suatu malam, tanggal 27 bulan Rajab (tahun 620 masehi), Nabi Muhammad SAW pasrah merebahkan diri di sisi Ka’bah. Saat itulah malaikat Jibril datang atas perintah Allah. Tujuannya, membawa Nabi SAW melaksanakan isra’ (perjalanan dari Mekkah ke Yerusalem). Lalu berlanjut mi’raj  menghadap Allah sang Maha Pencipta.
Nabi Muhammad SAW, merasa berbahagia, karena bertemu nabi-nabi utusan Allah terdahulu. Sekaligus menerima tutorial dari para “senior,” sejak nabi Adam a.s., sampai nabi Isa al-masih. Tutorial nabi-nabi pendahulu sangat penting. Masing-masing nabi dan rasul Allah berkewajiban (dakwah) membimbing umatnya. Disesuaikan dengan waktu dan adat bangsa tertentu. Sedangkan bimbingan oleh Nabi Muhammad SAW, akan meliputi seluruh dunia dan sampai berakhirnya dunia.
Selama tutorial di langit (mi’raj), diberikan percontohan perilaku berbagai umat terdahulu, beserta akibat dan cara menyelesaikannya. Maka gairah berdakwah menyampaikan ajaran Al-Quran, pulih dan meningkat setelah isra’ dan mi’raj. Walau peristiwa isra’ dan mi’raj pada awalnya dianggap sebagai sihir. Sebab (saat itu), tidak mungkin perjalanan Mekkah – Yerusalem bisa ditempuh dalam semalam.
Hanya sayydina Abubakar r.a., dan sahabat terdekat lainnya yang percaya. Namun kelak (saat ini), perjalanan Mekkah – Yerusalem, lazim ditempuh hanya dalam waktu 2 jam. Peristiwa isra’ dan mi’raj, menjadi “garis batas” keimanan. Yang mempercayai akan memperoleh berbagai pengajaran dan hikmah. Sebagian muslim (yang setengah hati) malah menjadi murtad.
Hikmah dari isra’ dan mi’raj, adalah sikap sabar dan melaksanakan kewajiban shalat. Para ahli tafsir menyatakan, bahwa isra’ dan mi’raj, merupakan “buah” dari kesabaran Nabi Muhammad menghadapi kaumnya. Begitu pula setelah peristiwa mi’raj, Nabi SAW memilih melaksanakan perintah hijrah. Agar kaumnya (penduduk Mekkah) tidak tertimpa azab (karena mengusir Nabi SAW).
Perintah shalat, merupakan hadiah paling istimewa dari Tuhan Maha Pencipta. Dalam surat Al-Baqarah ayat ke-45 (QS 2:45), difirmankan, “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat…” Firman ini diulang lagi pada surat Al-Baqarah ayat ke-153. Namun dalam Al-Quran juga diakui, bahwa shalat, memang berat. Kecuali orang yang khusyuk.
Dalam QS 2:46, dinyatakan, “orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya,” adalah orang khusyuk dalam shalat. Karena itu para ahli sufi menyatakan, bahwa setiap orang bisa mi’raj, ketika shalat. Awal dialog antara Allah SWT dengan Nabi Muhammad SAW dalam mi’raj, diabadikan sebagai bacaan shalat pada posisi tahiyat.
Peneguhan isra’ dan mi’raj, mestilah dipahami sebagai pengharapan sosial: bahwa para pemimpin akan meneladani sifat Nabi SAW : berbuat benar, dapat dipercaya, cerdas (menguntungkan rakyat), dan selalu hadir melindungi.

                                                                                                               ———   000   ———

Rate this article!
Tags: