Janji Tanah Kerinci

Oleh :
Maya Alfina Meilati

Suara bising gergaji mesin memecah hening di pagi hari, mengalahkan kokok ayam yang bertugas membangunkan tiap kepala untuk menyambut hari. Burung-burung yang tengah nyaman bertengger di pohon bergegas terbang. Risau dengan kebisingan yang tak diketahui. Rupa-rupanya para penghuni hutan pun ikut terusik. Satu demi satu menghindari sumber suara dan bergegas masuk ke dalam hutan. Jauh di kedalaman hutan, sang Raja yang berkuasa tengah menahan amarah. Menunggu dan terus memerhatikan para pengunjung yang tak diundang.

***

Proyek pembangunan lahan kelapa sawit belum usai. Telah seminggu proyek ini berjalan, tapi perluasan lahan belum juga selesai. Alat-alat berat masih bolak-balik mengangkut kayu hutan. Suara gergaji mesin masih mengaum, membabat pohon-pohon rindang dan perlahan masuk ke wilayah hutan yang lebih dalam.

Awang memperhatikan pohon-pohon yang tumbang di kejauhan. Pemandangan ini telah menjadi tontonannya selama seminggu terakhir. Menemani ia yang tengah sibuk mengasah pisau untuk menyadap tiap pagi. Tangannya dengan lihai bergerak memutar, menajamkan pisau andalannya. Sesekali matanya melihat kembali pohon-pohon yang tumbang itu. Suara gergaji mesin yang terdengar di telinganya bagai musik pengiring menyambut pagi.

Suara panggilan nenek terdengar di belakang, menyuruhnya masuk untuk makan apabila sudah selesai mengasah pisau. Ia menyahut dan mengiyakan. Bergegas menyelesaikan asahannya, lalu melilitkan sepotong kain untuk menutupi pisau yang tajam. Tak lupa membereskan bekas asahan lalu mencuci tangannya.

Makanan yang disiapkan nenek pagi ini sangat lezat. Tempoyak ikan patin dengan rasa asam pedas manisnya yang khas. Rasanya lebih segar karena tempoyak buatan nenek menggunakan durian asli yang difermentasi. Makan bersama sambil duduk di lantai menambah kenikmatan yang dirasakan.

Sembari makan, nenek sesekali melihat ke jendela, mungkin melihat pohon-pohon yang tumbang itu juga. Alisnya mengerut, matanya menajam. Ia menghela napas lalu menggelengkan kepalanya.

“Para penebang pohon itu tak tahu aturan,” katanya, lalu memasukkan sesuap nasi lagi ke dalam mulut. Setelah beberapa saat ia melanjutkan, “Mereka sama sekali tak takut dengan hukuman yang akan diberikan oleh para Cindaku! Berani kali mereka melanggar perjanjian yang sudah kita jaga sejak turun temurun. Tak kenal takut!”

“Mereka mungkin tak tahu hal ini, Nek. Lagi pula, kisah tentang Cindaku hanya mitos belaka,” Awang menanggapi.

Mata nenek melotot, ia mencondongkan tubuhnya, jari telunjuknya bergerak naik turun dengan penuh tekanan. “Kisah tentang Cindaku itu nyata! Anak keturunan Tingkas masih ada hingga kini. Mereka menjaga hutan, dan perdamaian di antara orang-orang Kerinci dan para harimau!” katanya, lalu duduk dengan tegak lagi.

Tingkas adalah nenek moyang Kerinci, seorang manusia yang dapat menjelma menjadi harimau. Pada saat Tingkas berubah menjadi harimau, maka disebutlah ia sebagai Cindaku. Sosok yang menjaga perdamaian antara orang-orang Kerinci dan para harimau. Sosok yang membantu menjaga kelestarian hutan. Masyarakat Kerinci percaya bahwa Tingkas telah membuat janji damai dengan para harimau untuk tidak mengganggu satu sama lain. Apabila manusia melanggar, maka Cindaku sendiri yang akan menghabisi si pelanggar. Apabila ada harimau yang melanggar maka ia akan mendapat hukuman tersendiri.

Usai makan, Awang bergegas mengemasi perlengkapan untuk menyadap. Pisau sadap, sepotong asahan, cuka getah, bekal makan siang, dan air minum. Setelah lengkap, ia melaju dengan sepeda motor bututnya menuju kebun karet.

Seperti biasa, Awang berjumpa dengan Zaki di persimpangan kebun, sahabatnya yang juga sesama penyadap karet. Mukanya agak redup tak bersinar seperti biasa. Kurasa, usahanya untuk menentang perluasan lahan sawit tak berjalan lancar. Dua hari lalu, ia menjadi perwakilan masyarakat untuk mengeluh pada kepala desa terkait perluasan lahan sawit yang nampak melampaui batas hutan. Hutan yang telah susah payah mereka jaga rusak begitu saja. Selain itu, banyak masyarakat Kerinci juga masih percaya akan mitos tentang Tingkas, sosok Cindaku sang Penjaga Hutan. Mereka tak mau kena batunya.

“Bagaimana hasil percakapanmu dengan kepala desa kemarin, Zak?” Awang bertanya.

“Meski aku sudah menyampaikan keluhan masyarakatnya, kepala desa hanya meminta kami untuk bersabar. Ia bilang tak bisa berbuat apa-apa. Keputusan pemerintah daerah sudah bulat. Mereka hanya mementingkan keuntungan tanpa peduli dengan hutan kita, Wang. Hutan kita telah rusak!” katanya dengan suara berat dan amarah yang terpancar dari matanya yang tajam.

“Haruskah kita temui Bang Rison? Dia yang jadi mandor proyek itu. Mari kita bujuk dia untuk berhenti sementara, aku pun khawatir. Belakangan rasanya aku dengar suara harimau, Zak,” usul Awang.

“Marilah kita coba, bisa gawat bila si Raja Hutan itu sudah bertindak,” Zaki mengiyakan.

***

Awang dan Zaki mendatangi lokasi proyek keesokan harinya. Bertanya pada salah satu pekerja di mana keberadaan Bang Rison. Ia membawa mereka ke pangkalan tempat istirahat para pekerja. Di sana, Bang Rison terlihat sedang menikmati segelas kopi, di antara jarinya terselip sebatang rokok yang menyala.

“Oi, ada apa Zaki dengan Awang kemari? Marilah duduk dulu minum kopi ini,” sambutnya ketika mereka sampai.

Duduk di sampingnya, mereka pun menceritakan masalah dan kekhawatiran yang dirasakan masyarakat. Tentang kerusakan hutan yang dirasa sudah terlalu besar dan tentang kemungkinan sang Raja Hutan yang mulai terusik. Bang Rison mendengarkan mereka bercerita sambil sesekali menghisap rokoknya.

“Masalahnya, tugasku di sini hanya sebagai mandor. Mengawasi dan mengarahkan para pekerja. Soal menghentikan proyek itu bukan jadi wewenangku,” katanya dengan santai.

“Tapi hutan kita sudah rusak, Bang. Abang sendiri warga Desa Kerinci, harusnya Abang sudah tahu bagaimana kita sering bertindak,” ujar Zaki kepada Bang Rison.

“Baru-baru ini rasanya aku mendengar auman harimau, Bang. Bahaya, sebaiknya proyek ini dihentikan saja,” tambah Awang.

“Kalau dirasa bahaya dan mengancam keselamatan pekerja, baru aku akan menghentikan kegiatan ini untuk sementara. Jika untuk menghentikan proyek ini secara permanen, maaf saja aku tidak bisa.”

Tak mengejutkan mendengar jawaban Bang Rison. Masalah ini memang bukan tanggung jawabnya. Pemerintah daerahlah yang berwenang menangani. Namun, mereka tak bisa diharapkan.

Awang berbasa-basi dengan Bang Rison. Zaki sedari tadi diam. Awang memperhatikan tatapan matanya yang mengarah ke perbatasan hutan yang tengah ditebangi. Sorot matanya seakan menembus jauh ke dalam hutan. Awang menyenggol tangannya, Zaki menanggapi dengan lambat. Mereka pun tak berlama-lama tinggal dan segera kembali pulang.

***

Malam hari yang biasanya tenang berubah jadi mencekam. Harimau masuk desa. Dari kejauhan terdengar suara auman agung yang saling bersahutan. Tak hanya satu ekor. Ada dua. Dari kepala hingga ujung ekor, panjangnya hampir dua meter. Hampir setinggi manusia. Mereka berjalan dari perbatasan hutan langsung menuju desa. Di tengah malam. Saat orang-orang tengah terlelap. Suara auman membangunkan hampir seluruh penduduk desa.

Orang-orang desa yang terbangun ketakutan. Tak berani keluar. Apalagi hanya mengintip lewat jendela. Begitu pun Awang dengan neneknya. Mereka duduk bersama di tengah rumah. Resah. Awang tak tahu lagi apakah mereka akan selamat dengan dua ekor harimau yang berkeliaran di luar. Apakah ia bisa melihat hari esok lagi dengan aman dan bisa mengasah pisau sadapnya dengan santai?

Tiba-tiba suara dering ponsel terdengar. Mengagetkan Awang dan neneknya yang sudah tegang. Awang merogoh ponsel jadulnya dari dalam saku. Panggilan suara berasal dari Nita, istri Zaki. Suara cemas Nita terdengar setelah panggilan terhubung, ia menanyakan keberadaan Zaki. Pasalnya, Zaki tak kunjung pulang setelah ia pergi bersamanya siang tadi. Awang tak tahu keberadaan Zaki, ia berkata kepada Nita, mereka pulang pukul tiga sore dan berpisah di persimpangan jalan. Awang menenangkan Nita dan berdoa semoga suaminya itu baik-baik saja.

Suara auman si Raja Hutan entah sejak kapan berhenti. Malam kembali hening seperti sebelumnya. Rasa mencekam masih tertinggal di hati setiap orang. Mereka tak berani keluar untuk mengecek keadaan. Untuk melanjutkan tidur pun tak ada yang berani.

Setelah pagi menjelang, pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kerinci dan kepolisian sudah berdatangan. Mereka menenangkan orang-orang yang resah, mulai menelusuri jejak kedua harimau, lalu memeriksa apakah terdapat korban serangan si Raja Hutan. Tentunya, keberadaan Zaki yang tak diketahui juga dilaporkan oleh Awang. Semoga sahabatnya itu masih hidup dan tak jadi korban serangan sang Raja Hutan.

Sepanjang hari penelusuran dan pemeriksaan dilakukan. Jejak harimau hanya berkeliaran di pemukiman pinggir desa, lalu masuk lagi ke dalam hutan. Orang-orang tidak menurunkan kewaspadaannya. Dari jauh, salah satu pekerja proyek kebun sawit lari mendekati polisi. Mukanya pucat. Napasnya cepat. Dengan suara bergetar, ia melaporkan, “Bang Rison mati! Ngeri kali kondisisnya, cepat tengok, Pak!” katanya sambal menunjuk arah rumah Bang Rison. Setelah itu, ia duduk bersimpuh. Raganya masih bergetar. Tubuh Bang Rison yang tergolek bersimbah darah masih terbayang dalam benak si pekerja.

Kematian Bang Rison yang mengenaskan mengejutkan warga desa. Tubuhnya penuh dengan cabikan cakar harimau. Isi perutnya terburai, sementara wajahnya tak bisa dikenali lagi. Tidak ada yang tahu bagaimana harimau itu masuk ke dalam rumah Bang Rison. Pintu dalam keadaan terkunci. Tak ada jejak harimau di sekitar rumahnya. Seakan-akan, harimau itu muncul begitu saja dalam rumah.

Akibat kejadian ini, proyek kebun kelapa sawit harus dihentikan untuk sementara waktu. Suara gergaji mesin untuk sementara menghilang dan alat-alat berat diistirahatkan. Beruntungnya, Zaki selamat tak kurang satu anggota badan pun. Dia ditemukan tak sadarkan diri dekat hutan, dengan tubuh telanjang, tepat pada jalur perlintasan kedua harimau itu. Polisi bilang ia mabuk berat. Kondisinya agak linglung dan tak bisa ditanyai. Saat sadar sepenuhnya, ia bilang tak ingat apa pun. Kepalanya sangat pusing dan tubuhnya serasa mau hancur.

Zaki memang kurang ajar. Di saat sang istri mengkhawatirkannya ia malah sibuk mabuk-mabukkan dan ditemukan dengan kondisi yang memalukan. Untungnya, ia tak masuk dalam perut si Raja Hutan.

———– *** ————

Tentang Penulis :
Maya Alfina Meilati
Lahir di Jambi, 7 Mei 2003. Studi di Sastra Indonesia FBSB UNY. Aktif di Lembaga Pers dan Penerbitan Mahasiswa Kreativa.

Rate this article!
Janji Tanah Kerinci,5 / 5 ( 1votes )
Tags: