Jaringan Pornografi Sesama Jenis Libatkan Anak Terbongkar, Calon Senator Ini Singgung Hukuman Mati

Dr Lia Istifhama

Surabaya, Bhirawa
Miris, baru-baru ini publik dikagetkan dengan terbongkarnya jaringan pornografi anak sesama jenis. Hal ini diungkap Aparat Kepolisian Resor Kota (Polresta) Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), bahwa Polda Metro Jaya berhasil membongkar jaringan internasional penjualan video pornografi anak sesama jenis melalui aplikasi layanan pengiriman pesan Telegram.

“Jadi ada lima pelaku yang diamankan dengan peran yang berbeda-beda. Ada peran yang membuat konten merekam, menyiapkan fasilitas, kemudian ada peran orang dewasa yang sebagai pelaku dalam video itu,” ujar AKBP Ronald Fredy Christian Sipayung Wakapolresta Bandara Soetta dilansir Antara pada Sabtu (24/2/2024).

Informasinya, kata Ning Lia, pelaku merupakan orang dewasa dengan melibatkan anak sebagai korban dalam video. Kemudian menjadi konten yang diperjualbelikan atau didistribusikan kepada orang-orang yang memang mencari dari konten pornografi itu.

Adapun untuk korban dari kasus ini, terdapat sebanyak delapan orang anak yang berstatus di bawah umur dengan rentang usia 12 sampai 16 tahun.

Ia juga mengatakan, atas hasil penjualan konten pornografi anak ini, pelaku mendapat perolehan keuntungan kurang lebih hingga mencapai Rp100 juta.

Kejadian tersebut menjadi atensi banyak pihak. Tak terkecuali calon senator Dr Lia Istifhama, yang selama ini seringkali menyuarakan tentang hukuman kebiri.

“Kejahatan pornografi sesama jenis yang lagi-lagi menjadikan anak sebagai korban, level hukumannya bukan lagi kebiri, tapi hukuman mati,” tegas calon DPD RI yang saat ini masih memiliki kans kuat lolos ke Senayan.

Bukan tanpa alasan, keponakan Gubernur Jatim periode 2019-2024 Khofifah Indar Parawansa tersebut menyinggung terbunuhnya mental dan masa depan anak-anak yang menjadi korban.

“Kejahatan ini sangatlah pedih, sangat memprihatinkan dan terlalu sangat miris. Ini tentang terbunuhnya masa depan anak-anak. Mereka yang seharusnya bermain dan berpola pikir sesuai umurnya, harus terbunuh gara-gara kejahatan keji tidak bermoral para pelaku. Anak-anak berhak bahagia, tertawa ceria dan bermain sesuai usia mereka. Jangan renggut kebahagiaan dan mental anak-anak,” katanya.

Secara tegas, aktivis perempuan tersebut menyinggung pemberlakuan Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000.

“Sebenarnya kan di negara kita ada Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, dimana ada beberapa contoh kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti pembunuhan, pemusnahan, kekerasan seksual, penganiayaan, perampasan kemerdekaan, dan lain sebagainya. Kemudian dijelaskan pada Pasal 37, bahwa Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dapat dipidana dengan pidana mati,” ungkapnya.

“Dan karena kejahatan pornografi kepada anak sangat kompleks bentuk kejahatannya, yaitu membunuh masa depan anak, melakukan kekerasan seksual, merampas kemerdekaan masa bermain anak-anak, maka tidak ada kata lain selain hukuman mati. Saya sangat sangsi pelaku bisa tobat atau insyaf, karena pelaku kejahatan kemanusiaan, sejatinya sudah diragukan sisi kemanusiaannya,” tegasnya.

Ditambahkan olehnya, dirinya kini lebih komitmen hukuman mati ketimbang kebiri.

“Dulu saya sering mencoba speak up pemberlakuan hukuman kebiri. Saya mencoba memakai landasan PP No. 70 Tahun 2020. Bahwa terlalu kejamnya kejahatan seksual pada anak, maka seharusnya menjadi starting point mengapa vonis kebiri harus dijatuhkan kepada pelaku kejahatan seksual. Namun sepertinya mental karena ada saja pihak yang menolak kebiri,” katanya.

“Maka dari itu, sekalian saja hukuman mati. Toh yang dibunuh oleh pelaku, adalah masa depan anak bangsa. Mereka ini pembunuh masa bahagianya anak-anak. Mereka juga secara langsung membunuh hati dan kebahagiaan keluarga ataupun orang-orang dekat korban. Kejahatan predator anak sejatinya pembunuhan massal,” ungkapnya.

Ning Lia juga menyinggung agar masyarakat tidak melupakan beragam kasus kejahatan kemanusiaan yang menimpa anak-anak.

“Sebut saja, di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pria berinisial HCP (26) ditetapkan buron setelah melakukan kekerasan seksual terhadap 30 anak laki-laki. Terlalu menyedihkan dan pedih. Karena saya sendiri pernah melakukan riset terhadap korban pelecehan seksual dan itu kisah traumatis mereka, bagi saya yang hanya menerima info, sudah sangat miris rasanya,” katanya.

“Jadi mari kita yang sudah dewasa, sama-sama menjaga hak anak-anak. Hak anak untuk bermain, tumbuh kembang secara baik, dan dilindungi, sebagaimana UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah kewajiban kita semua,” pungkasnya. [iib]

Tags: