Fasilitasi Sertifikat Halal

Pemerintah daerah patut segera mem-fasilitasi sertifikasi produk halal, terutama pada kalangan usaha mikro dan ultra-mikro (UMUM). Kontribusi UMUM pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur, mencapai 59,18%. Mayoritas. Namun umumnya usaha ultra-mikro dan mikro, tidak mampu mengurus sertifikasi produk halal. Banyak persyaratan menyulitkan, harga mahal, dan waktunya sangat lama. Maka Pemda bersama stake-holder terkait (Kementerian Agama), bisa ber-sinergi me-mudah-kan usaha “wong cilik.”

Sekitar 1,1 juta pelaku UMKM berhasil masuk program digitalisasi. Termasuk di dalamnya banyak yang berstatus “UMUM.” Seluruhnya sudah tercatat by nama by address. Pendataan dan digitalisasi UMKM akan berlanjut sambil menunggu SOP Kemenkop UKM. Antara lain berkait program baru rezim pemerintahan baru. Namun harus diakui, masih banyak pula pelaku UMUM yang masih tertinggal di belakang, karena berbagai keterbatasan (modal, dan akses digital).

UU Nomor 33 Tahun 2013 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH), seharusnya telah berlaku sejak tahun 2015. Tetapi hampir satu dekade, belum terlaksana secara baik. Bahkan masih banyak perusahaan besar (bidang obat dan makanan), belum mengurus sertifikasi halal. Termasuk berbagai vaksin yang beredar di Indonesia, belum ber-sertifikat halal. Padahal seharusnya, setiap produk makanan, minuman, dan obat-obatan, wajib mencantumkan label “halal.”

Kini sudah terdapat logo “halal” yang baru. Tanda produk “halal” dengan logo baru, wajib di-cantum-kan pada setiap produk makanan dan minuman. Termasuk obat, dan vaksin. Seluruh prosedur regulasi (Peraturan Pemerintah sampai Peraturan Menteri) telah diterbitkan. Begitu pula mengurus sertifikasi “halal” dijamin mudah, dan transparan, antara lain melalui online. Ke-halal-an, dulu menjadi domain MUI (Majelis Ulama Indonesia), tetapi kini menjadi tanggungjawab pemerintah (Kementerian Agama). Walau penelitian ke-halal-an tetap dilaksanakan MUI sebagai penguji.

UU Nomor 33 Tahun 2013 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH), meng-amanat-kan jaminan produk halal dilaksanakan oleh Menteri. Berdasar UU JPH pasal 5 ayat (3) Kementerian Agama telah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Label logo “halal” menjadi mandatory (kewajiban) berdasar UU JPH. Pada pasal 37, BPJPH diberi hak penetapan label halal yang berlaku selingkup nasional. Selama ini logo lama bukan dibuat oleh BPJPH.

Pemerintah (melalui BPJPH) kini mengubah logo “halal” dengan aksen lebih “mem-bumi.” Bentuk logo menggunakan artefak budaya yang memiliki ciri khas unik, dan berkarakter kuat. Serta me-representasi-kan Halal Indonesia. Logo berbentuk gunungan wayang kulit. Bisa pula nampak sebagai surjan (baju laki-laki khas Jawa). Bentuk gunungan tersusun berupa kaligrafi huruf arab yang terdiri dari Ha, Lam-alif, dan Lam. Ketiga huruf tersusun dalam satu rangkaian membentuk kata “halal.” Lebih indah dibanding logo lama.

Logo baru juga memiliki warna utama ungu, dan warna sekunder hijau toska. Penggunaan logo baru sekaligus menggantikan logo lama, berdasar Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. UU Tentang JPH pada pasal 39, menyatakan “Pencantuman Label halal … harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.” Terdapat frasa kata “mudah dilihat dan dibaca” sebagai perlindungan awal konsumen (tidak ragu tercampur bahan haram).

Ke-halal-an produk konsumsi menjadi urusan tanggungjawab negara terhadap rakyatnya. Pemerintah (melalui Kementerian Agama) memiliki kewenangan tunggal sertifikasi “halal.” Itu sebagai upaya perlindungan konsumen terhadap seluruh produk makanan dan minuman, serta berbagai jenis obat-obatan. Termasuk bahan vaksinasi, dan imunisasi. Bahkan rumah potong hewan, dan jasa keuangan (perbankan dan asuransi) juga tak luput dari sertifikasi halal (berdasar syariah).

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: