Ke-semrawut-an Unas Makin Sistemik

yunus-supanto-1(Penyusupan Nama Capres Diprotes)
Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik
Dalam Situasi peringatan Hari Pendidikan Nasional, ribuan siswa SMP memperjuangkan harapan terakhir, lulus menghadapi eksekusi Unas. Siswa sudah siap, tetapi ternyata pemerintah yang tidak siap. Sebagai penyelenggara tunggal dan terpusat, Kemendikbud menuai kritik untuk memperbaiki kinerja tim  Unas. Bahkan juga desakan, agar menjelaskan penyusupan nama Capres dalam Unas. Hampir bisa dipastikan peracunan Unas dengan altar politik praktis merupakan penyusupan sistemik dan terstuktur.
Terstruktur. Karena nama Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) sebagai Capres, masuk tiga kali. Yakni, dua kali pada Unas SMA jurusan IPS, dalam materi soal Bahasa Indonesia, serta soal Bahasa Inggris. Lalu pada hari pertama Unas SMP, nama Jokowi dimasukkan lagi. Kok, bisa-bisanya? Padahal DPP PDI-P telah melayangkan surat protes atas pencantuman Jokowi. Pemerintah diminta meng-investigasi dan mengumumkan hasilnya. Kalau protes tidak ditanggapi, PDIP akan melayangkan somasi, berkonsekuensi dengan proses hukum.
Pencantuman nama Capres dalam Unas, memang sangat keterlaluan, tidak elok. Dampaknya bisa sangat serius pada tataran politik. Yakni, Jokowi akan dianggap curang, mencuri start kampanye. Itu bisa menjadi counter-branding yang merugikan Jokowi dan parpol pengusungnya. Bisa jadi pula, popularitas dan elektabilitas Jokowi (berdasarkan berbagai survei), yang semula teratas akan melorot tajam. Begitu pula Capres lain (Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie) bisa meminta namanya dimasukkan dalam Unas.
Dengan misi pendidikan politik kepada pemilih pemula, bisa saja nama Capres dimasukkan dalam Unas, atau menjadi bahan mata pelajaran (misalnya PKN). Tetapi memasukkan nama Capres pada altar pendidikan mestilah ekstra hati-hati. Diperlukan narasi lebih jujur dan adil untuk semua Capres. Seharusnya pula, kalangan pendidikan metodologi yang sistemik untuk pendidikan politik. Bukan hanya memasukkan nama Capres dalam Unas.
Tetapi sebenarnya, Unas terpusat bukan evaluasi belajar tahap akhir yang bijak. Unas, harus diakui masih merepotkan seluruh stake-holder kependidikan. Pemerintah daerah (Diknas) direpotkan problem pengawasan dan distribusi. Sekolah, juga direpotkan karena hak evaluasi hasil belajar lembaga pendidikan (berdasarkan mandatory UU Sisdiknas) “diambil-alih” oleh pemerintah pusat.
Ke-tidak adil-an Unas
Tetapi yang lebih direpotkan adalah orangtua murid, karena harus menambah bimbingan belajar (bimbel) anak-anak untuk menjamin nilai kelulusan yang baik. Maka siap atau tidak siap, harus dijalani. Toh sebenarnya, berbagai ujian serupa sudah sering dihadapi, walau istilahnya bukan Unas. Biasanya memakai istilah UTS (ujian tengah semester), atau UAS (ujian akhir semester). Bahkan, yang lebih sering dihadapi adalah ulangan harian. Dan menjelang akhir sekolah, biasa pula diselenggarakan try-out. Bedanya, berbagai ujian itu materi soal-soal dibuat oleh sekolah sendiri. Sedangkan materi Unas dibuat oleh pemerintah. Apakah ada bedanya?
Harus diakui, materi soal Unas terasa berbeda. terasa memakai “bahasa asing” berbelit-belit. Tidak sama dengan bahasa pengajaran guru di sekolah. Juga beda dengan bahasa ulangan/ujian sekolah. Bahkan liku-liku bahasanya terkesan menjebak. Banyak yang terpeleset dan salah memahami soal, sehingga jawaban yang dipilih pun salah. Namun anehnya, murid yang mengikuti belajar ekstra di bimbingan belajar (bimbel) di luar sekolah, seolah-olah terbiasa dengan bahasa Unas.
Keberadaan bimbel sebenarnya menjadi  “pesaing” guru  sekolah. Bedanya, guru mengajar dengan paradigma tugas pendidikan, berbatasan dengan jadwal waktu jam mata pelajaran serta kolektifitas kelas. Sedangkan tutor bimbel mengajar dengan paradigma “melayani majikan” (yang membayar) dan terikat dengan kemampuan individualitas. Apalagi suasana kelas di sekolah (yang berdesak-desakan dengan minimal 40 murid) terasa sangat sumpek. Sedangkan ruangan bimbel berisi maksimal 25 kursi.
Sehingga Unas terasa tidak adil. Keuntungan diperoleh murid-murid dari keluarga ekonomi kuat yang mampu membiayai anaknya belajar di bimbel (harganya antara Rp 2 juta hingga Rp 8 juta untuk SMA). Semakin mahal biaya bimbel, peraihan nilai Unas tinggi semakin tergaransi. Bahkan bimbel-bimbel termahal berani memberikan janji, jika tidak lulus tes peguruan tinggi negeri, biaya bimbel dikembalikan 100%. Apalagi jika tujuannya sekedar lulus Unas, dipastikan sepasti-pastinya akan memperoleh nilai diatas rata-rata plafon Unas.
Apa yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan menyelenggarakan Unas terpusat? Tak lain standar kompetensi. Namun Unas SMP, sekaligus sebagai persaingan memperebutkan kursi pada jenjang pendidikan lebih tinggi. Bisa masuk SMA Negeri (dan SMA swasta favorit), merupakan kebanggan seluruh orangtua. Tapi benarkah persaingan kompetensi siswa hanya melalui Unas oleh pemerintah? Seolah-olah pemerintah tak memiliki pekerjaan lain yang lebih strategis dibidang pendidikan.
Menolak Unas
Beberapa pengamat pendidikan telah merekomendasikan penghapusan Unas. Begitu pula pengamat hukum menyatakan, bahwa Unas tidak memiliki dasar hukum. Bukan amanat konstitusi. Di dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak satu pasal pun (dan tidak satu ayat pun) menyebut Unas. Sehingga Unas, yang materi soal-nya dibuat oleh pemerintah secara terpusat, boleh dikategori in-konstitusional.
UU Sisdiknas tahun 2003 itu pada pasal 58 ayat (1), secara tekstual menyatakan:  “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Klausul tentang evaluasi itulah yang dipakai sebagai dasar hukum untuk menyelenggarakan Unas. Tapi masih debatable. Apalagi jika merujuk pada pasal 1 (Ketentuan Umum UU Sisdiknas) urutan ke-21.
Tidak terdapat amanat konstitusi yang meminta agar pemerintah pusat membuat materi soal ujian sebagai bentuk evaluasi. Karena evaluasi pendidikan merupakan domain (hak) guru dan sekolah. Itu berarti Unas merupakan kerja yang menyesatkan, in-konstitusional. Satu-satunya hak pemerintah (kalaupun masih dianggap ada) dalam hal penyelenggaraan Unas, adalah menentukan waktunya yang serentak secara nasional. Bukan membuat materi soal.
Bahkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Jawa Timur tentang Sistem Penyelenggaraan Layanan Pendidikan, Unas menjadi perbincangan serius. Sudah banyak usulan agar Rancangan Perda meniadakan Unas, diganti ujian sekolah untuk semua jenjang pendidikan (SD sampai SMA). Jika benar-benar disahkan, Perda Pendidikan ini akan selaras dengan undang-undang. Dus, Jawa Timur bisa menolak Unas, berdasarkan amanat UU dan Perda.
Seharusnya pemerintah memahami frasa kata “nas” (dalam Unas) sebagai keserentakan waktu. Bukan mengambil hak tenaga pendidik untuk membuat materi soal. Sedangkan hak pemerintah pusat (Kementerian) adalah fasilitasi seluruh biaya penyelenggaraan Unas dengan segala konsekuensinya melalui alokasi APBN. Sedangkan Pemerintah Daerah (propinsi dan Kabupaten serta Kota) bisa menyokong penyelenggaraan try-out. Atau bahkan memasukkan bimbel ke sekolah-sekolah. Dengan itu peserta didik (Unas) lebih siap meningkatkan kompetensi akademiknya.

———-***———-

Rate this article!
Tags: