Kemitraan Guru, Orang Tua, dan Sekolah

Asri Kusuma DewantiOleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP
Universitas Muhammadiyah Malang

Tahun ajaran baru 2016/2017 dimulai senin (18/7). Bagi siswa baru, hari pertama sekolah menjadi momen istimewa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun lalu mengimbau agar para orang tua mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Imbauan itu makin giat dikampanyekan. Bukan asisten rumah tangga, tetapi orang tua sendiri yang mengantar anak-anak guna menjalin interaksi dengan sekolah. Kehadiran orang tua di sekolah memiliki makna penting.
Pertama, menjaga kemitraan antara guru, orang tua, dan sekolah. Diharapkan komunikasi pihak sekolah dengan orang tua berjalan baik untuk mengikuti perkembangan siswa.
Kedua, orang tua menitipkan anakanak kepada sekolah untuk dididik dengan perasaan nyaman. Tentu, orang tua membawa kepercayaan kepada sekolah agar anak mendapat pendidikan baik, aman, dan mencerdaskan.
Ketiga, keterlibatan orang tua sebagai pendidik karena pendidikan tak hanya di sekolah. Keluarga memiliki peranan besar bagi tumbuh kembang siswa. Interaksi guru dan orang tua bisa membicarakan sifat-sifat positif dan negatif siswa. Katakanlah tentang hobi. Guru bisa memberitahu orang tua untuk memberikan ruang mengasah potensi. Menyangkut kenakalan anak-anak, misalnya tentang bullying, bisa diantisipasi secara tepat.
Diharapkan dalam satu tahun ajaran terjadi tiga kali tatap muka antara orang tua dan guru di sekolah. Pertama saat mengantarkan anak-anak hari pertama masuk, terima rapor semester gasal, lalu terima rapor kenaikan kelas. Dari proses tatap muka itu, aktivitas siswa di sekolah tersampaikan secara jernih kepada orang tua. Maka, interaksi hari pertama sekolah mestinya semua itu terus berlanjut hingga hari-hari berikutnya untuk memahami problem siswa.
Melalui komunikasi tersebut untuk membicarakan ketika orang tua atau guru memiliki masalah dalam mendidik anak. Harapannya semua itu, orang tua menjadi pemicu semangat anak-anak menuntaskan pembelajaran, membentuk anak berperilaku positif, dan terjadi tatap muka antara guru dan orang tua.
Belajar dari kasus-kasus yang sudah-sudah seperti yang menimpa Angelina di Bali, kasus kekerasan seksual di sekolah internasional di Jakarta, atau cubitan guru terhadap siswa di Jawa Timur yang berujung pada proses hukum menjadi pelajaran berharga. Pengawasan terhadap siswa tidak hanya diserahkan kepada sekolah. Orang tua yang menyerahkan kepercayaan kepada sekolah tidak lantas berdiam diri sepenuhnya. Elemen pendidik tidak hanya sekolah, tetapi juga orang tua. Kita sebagai orang tua harus mampu menyinergikan pilar-pilar pendidikan yang ada.
Pilar-Pilar Pendidikan
Pola pendidikan di Indonesia setidaknya sudah diimplementasikan dalam tiga pilar pendidikan. Diantaranya adalah pilar pendidikan sekolah, pilar pendidikan keluarga dan pilar pendidikan lingkungan. Melalui tiga pilar tersebut setidaknya kita bisa bijak bahwa keberhasilan peserta didik tidaklah mutlak dari sekolah. Sekolah adalah sebuah “kawah penggodokan”, tetapi harap maklum ia hanya salah satu dari tiga pilar pendidikan selain orangtua dan lingkungannya. Oleh sebab itu, kesadaran ini setidaknya bisa diterima oleh semua para orang tua.
Dinamika dan tuntutan kehidupan saat ini tak menutup kemungkinan para orang tua saat ini disibukkan oleh dunia kerja dengan penuh kesibukkannya. Orang tua susah payah mengumpulkan uang, bekerja hingga larut malam, demi anak.Anak juga dikursuskan di berbagai tempat. Kebanggaan orangtua terletak saat anaknya ranking teratas, nilai-nilainya 10 semua. Namun, kita sebagai orang tua setidaknya tidak lupa bahwa sekolah hanya mengisi 30 persen dari ruang belajar anak. Dengan demikian, sekalipun mendapat nilai 10 dari sekolah, kalau nilai pendidikan dari orangtua dan lingkungan nol, anak hanya mendapat nilai setara 3,3.
Berbeda dengan anak tetangga yang nilai sekolahnya biasa-biasa saja, sebut saja 6, tetapi orangtua aktif mengajak jualan di warung. Ia bisa dapat nilai 8 dari orangtua (karena dibina langsung) dan 9 dari gemblengan lingkungan sehingga rata-rata jadi 7,67. Maka, anak yang di sekolah biasa-biasa saja bisa jadi sarjana hebat, ilmuwan gigih atau wirausahawan hebat. Sementara anak sekolah yang diberi predika genius hanya bisa memajang ijazah, jadi “penumpang” dalam kehidupan.
Jadi, kalau kemarin bahkan sekarang kita masih mempersalahkan K-13 (kurikulum 2013) hanya sepertiga dari seluruh kurikulum kehidupan. Sebenarnya, penyederhanaan mata ajar bukanlah musibah, melainkan tuntutan untuk memberi ruang anak mengasah kreativitas dan cara berpikir yang lebih simple agar lebih siap menerima edukasi orangtua dan lingkungan. Masalahnya, sudahkan orangtua dan lingkungan mendidik anak-anaknya.
Bangsa besar tak akan membiarkan generasi penerusnya dibesarkan dalam lingkungan kacau. Karena itulah, sejak Confusius, bangsa-bangsa Asia percaya keluarga adalah alat pendidikan yang penting. Jadi tidak bijak dan arif ketika ketidakberhasilan seorang anak atau generasi itu mutlak pilar pendidikan sekolah karena kita masih punya peran keluarga dan lingkungan.
Pendidikan keluarga dan sekolah bisa saja sudah mengajarkan dan menanamkan sikap dan budi pekerti yang luhur kepada anak. Namun bagaimana dengan peran pendidikan lingkungan ? Ini yang sering kali menjadi masalah ditengah-tengah keluarga, sehingga tak sedikit para orang tua mengeluhkan sudah merasa mendidik anak yang baik tapi karena pengaruh lingkungan pergaulan anak menjadi ikut-ikutan atau kurang baik.
Satu hal yang kita anggap hiburan justru memberikan kontribusi yang negative pada anak-anak adalah Penetrasi televisi, gadget dan internet demikian kuat, sehigga sudah saatnya Pemerintah memberi aturan yang jelas dan tegas dalam kaidah bagi dunia pertelevisian dan internet. Setidaknya gambaran anak-anak  sekolah, pergaulan remaja dalam sinetron di televisi, dalam skala minimal anak-anak dapat diselamatkan dari pengaruh buruk hiburan di telivisi, gadget dan internet tersebut.
Jadi kalau dapat kita simpulkan bahwa pendidikan sekolah, keluarga dan lingkungan sudah saatnya kooperatif dalam memberikan sinergi keseimbangan dalam kehidupan social sehingga tidak terjadi saling menyalahkan tiga pilar pendidikan yang ada karena bagaimanapun juga hal tersebut menjadi tanggujawab kita semua dalam mengatarkan anak didik kita menjadi generasi yang jujur dan berbudi pekerti. Baik bagi agama, keluarga, lingkungan, negara dan  bangsanya.
Jujur harus menjadi koreksi kita bersama bahwa program pendidikan karakter kita selama ini belum optimal pelaksanaannya dan belum ada hasil signifikan terhadap pembinaan karakter peserta didik. Orientasi kurikulum pendidikan kita masih mengedepankan hegemoni materialistik dan belum menyentuh hakikat dan ruh pendidikan yang utuh.
Sudah semestinya kita harus memiliki kesadaran bersama bahwa peran pendidikan dan pembinaan orang tua di rumah dan juga di lingkungan masyarakat selama ini pun dirasakan masih sangat kurang kurang kita koreksi, sehingga harus ada link and match antara pemerintah dan masyarakat secara luas agar cita-cita bangsa dalam UUD 1945 yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan akhlak mulia dan budi pekerti dapat terwujud.

                                                                                                                  ———– *** ———–

Tags: